Ad Code

Vita Consecrata-Postulat Stella Maris Malang-Hendrikus Dasrimin

HIDUP BAKTI: LAMBANG PERSAUDARAAN DAN PERSEKUTUAN DALAM GEREJA (Seri Vita Consecrata-V)

 


Tuhan Yesus Kristus selama di dunia memanggil para murid yang dikehendaki-Nya, untuk menyertai Dia dan mendidik mereka menurut teladan-Nya bagi Bapa dan perutusan yang telah diterima-Nya dari Bapa ( Mrk 3:13-15). Ia memulai keluarga baru bagi mereka yang siap menjalankan Kehendak Allah (Mrk 3:32-35). Setelah Ia naik ke surga, terbentuklah rukun hidup persaudaraan di sekitar para rasul yang berhimpun sehati sejiwa dalam doa dan puji-pujian (Kis 2:42-47; 4:32-35). Persekutuan jemaat perdana rasuli ini menjadi pola acuan hidup Gereja di sepanjang sejarah.
            Hidup bakti berjasa menghidupkan kewajiban persaudaraan sebagai bentuk kesaksian akan Allah Tritunggal dalam Gereja melalui hidup bersama dan cinta kasih persaudaraan. Hidup bakti menunjukkan bahwa ikut serta dalam persekutuan Tritunggal dapat mengubah hubungan-hubungan manusiawi dan menciptakan corak baru solidaritas. Para anggota hidup bakti hidup bagi Allah dan dari Allah menampilkan keindahan persekutuan persaudaraan serta memberi kesaksian akan kuasa rahmat yang mendamaikan, yang mengatasi kecenderungan untuk terpecah belah dalam hati manusia dan masyarakat pada umumnya.

Hidup Bakti Membangun Hidup Persaudaraan Dalam Cinta Kasih
            Dasar biblis hidup sebagai murid Kristus menurut Injil dengan melaksanakan Perintah Baru Tuhan, yaitu saling mengasihi seperti Ia mengasihi kita (Yoh 13:34). Cinta kasih mendorong Kristus menyerahkan Diri sampai menjadi kurban termulia di Kalvari. Teladan Kristus mendorong para murid-Nya memberikan cintakasih timbal balik tanpa syarat. Mereka dituntut melayani sesama, siap siaga menampung sesama seperti apa adanya tanpa menilai mereka (Mat 7:1-2), mengampuni tanpa batas (Mat 18:22), hidup berbagi dalam segala sesuatu dalam semangat sehati sejiwa dan dalam cintakasih yang tercurah dari Roh Kudus.
            Hidup persaudaraan sebagai hidup bersama dalam cinta kasih menjadi lambang persekutuan gerejawi. Corak hidup persaudaraan dipraktekkan secara khas dalam Tarekat religius dan Serikat hidup apostolik dimana hidup komunitas beroleh relevansi khusus. Dimensi persaudaraan juga terdapat pada institut sekular bahkan juga perorangan sekalipun. Dimensi persaudaraan dihayati para pertapa eremit, para perawan dan janda yang ditakdiskan dalam kesatuan dengan persekutuan gerejawi.
            Hidup berkomunitas dalam semangat persaudaraan bagaikan ruang yang disinari oleh Allah untuk mengalami kehadiran tersembunyi Tuhan yang bangkit mulia (Mat 18:20). Hidup persaudaraan ini dipupuk melalui sabda dan ekaristi, dimurnikan dalam sakramen tobat dan ditopang oleh doa. Persekutuan hidup komuniter yang menjadi sumber hidup persaudaraan dijiwai Roh Kudus untuk membimbing jiwa mengalami persekutuan dengan Bapa, Putera dan Roh Kudus (1 Yoh 1:3). Roh Kudus lah yang membimbing komunitas hidup bakti dalam menunaikan misi pelayanan mereka kepada Gereja dan segenap umat manusia.
           
Relevansi Persaudaraan Hidup Bakti Dalam Tugas Kepemimpinan
            Setiap Tarekat Hidup Bakti memiliki tradisi kepemimpinan yang dipilih melalui Kapitel atau pun Musyawarah Umum untuk memilih Pemimpin menurut norma-norma yang digariskan Konstitusi masing-masing dalam menyesuaikan kharisma dan warisan rohani sesuai situasi-situasi sejarah dan budaya yang berubah-ubah dengan Terang Roh Kudus.
            Peranan para pemimpin dalam hidup bakti sangat penting bagi hidup rohani dan perutusan. Para pemimpin tarekat tidak boleh melepaskan kewajibannya sebagai yang paling bertanggungjawab atas komunitas dan pembimbing saudara-saudara dalam hidup rohani dan apostolik. Pemimpin harus meneguhkan persekutuan persaudaraan dan tanda pelaksanaan ketaatan religius. Pemimpin bertindak secara rohani dan persaudaraan mengusahakan keputusan-keputusan yang melibatkan juga semua saudara dalam tarekat. Pemimpin harus diterima, diakui dan dihormati oleh rekan setarekat/sediosesan.

Relevansi Persaudaraan Hidup Bakti Bagi Anggota Lanjut Usia (Lansia)
            Perhatian terhadap anggota tarekat/keuskupan yang lanjut usia dan sakit sangat penting dalam hidup persaudaraan. Perawatan dan pemeliharaan para anggota lansia bukan hanya berdasarkan kewajiban yang jelas untuk mengasihi dan berterimakasih kepada mereka tetapi juga berdasarkan kesadaran bahwa kesaksian dan misi mereka bagi Gereja dan Tarekat bernilai dan berpahala.
            Anggota yang lansia dan sakit dapat menyumbangkan banyak kepada komunitas karena kebijaksanaan dan pengalaman mereka asal saja komunitas tetap dapat dekat dengan mereka penuh kepedulian dan mampu mendengarkan mereka. Mereka yang lansia dan sakit dipanggil menghayati panggilan hidup bakti dengan tabah dalam doa, menerima kondisi mereka dengan sabar, dan bersedia menjadi pembimbing rohani, bapa pengakuan atau pendukung dalam doa.
           
Persaudaraan Hidup Bakti Menurut Citra Jemaat Rasuli
            Persaudaraan hidup bakti perlu makin dimantapkan menurut citra jemaat rasuli yakni umat Kristiani purba di Yerusalem yang tekun dalam menerima ajaran para rasul, dalam doa bersama, dalam Ekaristi, dan dalam berbagi apapun yang mereka miliki menurut kodrat dan berkat rahmat (Kis 2:42-47).
            Para religius dan anggota tarekat dan keuskupan harus saling mengasihi penuh kemurahan hati dan mengungkapkannya dengan cara-cara yang sesuai hakekat masing-masing tarekat sehingga tiap komunitas akan tampil sebagai lambing Yerusalem baru yang cemerlang, “kediaman Allah di antara manusia (Why 21:3)”.
            Seluruh Gereja banyak bergantung dari kesaksian jemaat-jemaat rasuli yang penuh “kegembiraan dan Roh Kudus” (Kis 13:52). Gereja ingin mencanangkan di hadapan masyarakat teladan komunitas-komunitas tempat rasa kesepian diatasi melalui kepedulian timbal balik, komunikasi mengilhamkan pada tiap anggota kesadaran bertanggungjawab bersama, dan luka-luka batin disembuhkan melalui pengampunan, serta komitmen tiap anggota terhadap persekutuan makin dimantapkan. Gereja mendesak jemaat-jemaat persaudaraan berperan serta dalam evangelisasi baru. Sifat kharisma dalam komunitas mengarahkan kekuatan-kekuatan yang ada padanya, menopang kesetiaan dan menjuruskan karya kerasulan semua anggota kearah satu misi.

Persaudaraan Hidup Bakti Dalam Gereja Universal
            Para anggota hidup bakti diharapkan mampu memelihara persekutuan dan mempraktekkan spiritualitas persekutuan sebagai “saksi dan perancang-bangun rencana kesatuan, yang memahkotai sejarah manusia menurut Rencana Allah.” Kesadaran akan persekutuan gerejawi yang berkembang menjadi spiritualitas persekutuan, meningkatkan cara berpikir, berbicara dan bertindak, yang memungkinkan Gereja hidup secara makin mendalam dan bertambah luas. Hidup dalam persekutuan “menjadi tanda bagi seluruh dunia dan kekuatan pendorong, yang mengantar orang-orang kepada iman akan Kristus. Persekutuan mendorong kearah perutusan; persekutuan menjadi perutusan. Persekutuan melahirkan persekutuan; pada hakekatnya persekutuan itu perutusan.”
            Pada para pendiri tarekat hidup bakti selalu nampaklah sikap secitarasa dengan Gereja yang serba hidup. Sikap itu mereka tunjukkan dengan berperan serta penuh dalam segala segi hidup Gereja dan dalam kepatuhan mereka yang siap siaga terhadap para uskup dan khususnya Paus. Pada latar belakang cintakasih terhadap Gereja Kudus itu, “tiang penopang dan dasar kebenaran” (1 Tim 3:15), makin dimengerti beberapa teladan para kudus, semisal:  St Fransiskus dari Asisi berbakti kepada “Tuan Paus”, atau sikap terus terang Santa Katarina dari Sienna terhadap Paus, “Kristus yang manis di dunia”. Santo Ignasius dari Loyola dengan ketaatan apostolik dan sikap secitarasa dengan Gereja. Santa Teresia dari Avilla dengan pengakuan iman penuh kegembiraan berkata;”Aku puteri Gereja.” Bahkan Santa Teresia dari Kanak-Kanak Yesus memiliki kerinduan yang mendalam, “dalam jantung Gereja Bundaku, aku akan menjadi cinta kasih.” Kesaksian para kudus representative bagi persekutuan Gerejawi mengatasi kekuatan pemecah belah di jaman sekarang ini.
            Aspek persekutuan Gerejawi yaitu terpautnya budi dan hati pada Magisterium para Uskup. Kesaksian cintakasih pelaku hidup bakti khususnya mereka yang berkecimpung dalam penelitian teologis, pengajaran, penerbitan, katekese, dan penggunaan media komsos serta kerjasama dengan hierarki. Para anggota hidup bakti mengungkapkan hakekatnya sebagai  sakramen “persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan segenap umat manusia.”
            Para anggota hidup bakti dipanggil menjadi ragi persekutuan mengabdi perutusan Gereja Universal melalui banyaknya kharisma Tarekat-Tarekat Hidup Bakti yang dianugerahkan Roh Kudus ikut membangun Gereja semesta demi kesejahteraan seluruh Tubuh Mistik (1 Kor 12:4-11). Cinta kasih sebagai “jalan yang lebih utama lagi (1 Kor 12:31)” dan “yang terbesar (1 Kor 13:13)” menghimpun berbagai kharisma tarekat hidup bakti menjadi satu dan meneguhkan tiap orang saling mendukung dalam karya kerasulan.
            Ikatan khas persekutuan Tarekat Hidup bakti dan Serikat hidup apostolik dengan pengganti Petrus dalam pelayanannya demi kesatuan dan sifat universal-misioner Gereja Universal. Ikatan apostolik Gereja Partikular melalui penyebaran misi Injil di seluruh dunia telah dibangun tarekat hidup bakti yang sepenuh hati membaktikan diri kepada kegiatan misioner Gereja dengan kesiagaan bahkan hingga mencapai kepahlawanan. 
            Persaudaraan hidup bakti dalam Gereja Universal menonjolkan ciri universalitas dan persekutuan. Tarekat hidup bakti melayani kerjasama antara Gereja partikular (lokal), untuk meningkatkan karunia-karunia dan membantu proses inkulturasi Injil yang meneguhkan dan memperluhur kekayaan-kekayaan yang terdapat dalam kebudayaan semua bangsa. Sekarang pun panggilan-panggilan hidup bakti dalam Gereja-Gereja muda memperlihatkan kemampuan hidup bakti membangun persekutuan dan universalitas Gereja dalam kesatuan Katolik dengan pelbagai bangsa dan kebudayaan.

 

Paguyuban Religius: “kamu semua adalah saudara”

Menurut kesaksian Perjanjian Baru, orang Kristen pada umat perdana biasa saling menyebut dan menyapa sebagai saudara. Dan menurut Mat 23: 8 seharusnya demikian, sebab Yesus menegaskan: kamu semua adalah saudara. Meskipun kekristenan awal tidak berusaha mengubah struktur masyarakat, namun dalam pendekatan dasariah mereka sama saja. Diantara mereka yang mengenakan manusia baru “tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat dan orang tak bersunat, orang barbar atau Skit, budak atau merdeka. Sebab Kristus adalah semua di dalam segala sesuatu” (Kol 3: 11), “tidak ada laki-laki atau perempuan, tetapi semua adalah satu dan sama dalam Kristus Yesus” (Gal 3: 28). Kesamaan dasar dan kesamaan nilai semua orang percaya tidaklah mesti berarti bahwa semua juga sama peranannya dalam rangka umat Kristen.
Paguyuban Kristen awali seperti digambarkan dalam Kis 4: 32-37; 2: 43-47; 15: 6 dst memperlihatan bahwa ada “rasul-rasul”, “penatua-penatua” dan ada semacam ketua, Yakobus saudara Tuhan. Tetapi kenyataan itu tidak merusak kesamaan sebagai saudara, sehingga seluruh umat sedunia dise­but sebuah “persaudaraan”, yang menyebut Allah sebagai Bapa bersama (l Ptr 5: 8; 1: 17-23). Di kemudian hari, waktu kekristennan secara sosial dan politis di atas angin, semua perbedaan sosio-politis dari masyarakat menyusup pula kedalam umat Kristen, sehingga persaudaraan meluntur dan sapaan formaslisme liturgis “saudara” menjadi formalisme belaka. Tetapi muncul juga reaksi, yaitu gaya hidup religius (kerahiban), yang berusaha meneruskan paguyuban awali, persaudaraan jemaat perdana di Yerusalem, dengan Allah sebagai Bapa, yang terwakili oleh Sang Abas, vices gerens Dei. Biara para rahib merupakan satu keluarga orang yang bersaudara.
Persaudaraan Kristen awali yang mau diteruskan oleh hidup religius, yang menurut hukum Gereja haruslah hidup berkomunitas, hidup dalam persaudaraan konkret, bukan suatu persaudaraan wajar, alamiah seperti misalnya persaudaraan Yahudi yang berdasarkan kebangsaan yang sama. Sebaliknya, persaudaraan Kristen malah mendobrak huhungan alamiah dan wajar. Yesus menandaskan (Mat 12: 48-49): Siapa ibu, saudara dan saudariku? Ialah mereka yang melakukan kehendak Bapa-Ku. Persaudaraan Kristen berdasarkan iman kepada Allah yang berwajah Yesus Kristus dan yang dikumpulkan oleh Roh Kudus.

 

Persaudaraan Religius: persaudaraan “rohani”

Di dalam persaudaraan dasar umat Kristen yang nyatanya sangat meluntur, kaum religius membentuk persaudaraan-persaudaraan “rohani”, persaudaraan dalam Roh Kudus yang membagi-bagikan karunia menurut kehendak-Nya. Persaudaraan itu diwujudkan melalui kasih persaudaraan yang berbuah dalam kesehatian dan persekutuan, kesetiakawanan. Ada“koinonia”, komunio/komunitas rohani dan jasmani, sebagaimana yang digambarkan dalam Kis 4: 33-37.

 

Tetap eksis kendati kesulitan-kesulitan

Baiklah disadari pula bahwa persaudaraan itu sendiri, hidup bersama sebagai saudara, menjadi kesaksian publik tentang kekuatan Injil dan Roh Kudus serta tentang apa yang ditujui seluruh persaudaraan Kristen. Bertahan dalam persaudaraan, komunitas, tidak melarikan diri, entah bagaimana, kendati ketegangan, bentrokan, persaingan, menjadi kesaksian yang paling jelas.

 

Saling menerima dan saling mengampuni

Konkritnya itu berarti orang saling menerima sebagimana adanya, selama tinggal dalam batas yang memungkinkan persaudaraan, saling memaafkan dan saling mengampuni terus menerus. Betapa banyak nas Perjanjian Baru menekankan hal semacam itu, sehingga jelas pula bahwa umat perdana pun sudah bergumul dengan soal yang sama: membentuk persaudaraan rohani dengan manusia kedagingan (bdk l Ptr 4: 7 dst; Rom 12: 3; 13: 8; Mat 18: 15; l Yoh 3: 11). Tetapi juga secara posisif: Saling mendekati, sa­ling mendukung, saling menolong dalam segala keperluan. Menjadi semakin setia pada persaudaraan.

*)Disadur dari Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II, “Vita Consecrata”.