Ilustrasi anggur baru dalam kantung baru (Foto: Sesawi.net) |
Hidup Bakti sejak
Konsili Vatikan II:
Tantangan-tantangan
yang masih terbuka
Kongregasi untuk Lembaga-lembaga Hidup Bakti dan
Serikat Hidup Apostolik
Petunjuk-Petunjuk
Pendahuluan
Kongregasi Institut Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik sejak tanggal 27 hingga 30 November 2014
merayakan Pleno Jemaat dengan tema: ‘Anggur
baru di kantung-kantung kulit yang baru’, Hidup bakti 50 tahun setelah Lumen Gentium dan Perfectae Caritatis. Pleno tersebut memberi perhatian pada
perjalanan hidup bakti yang telah dilalui setelah konsili, dengan mencoba
membaca –secara menyeluruh– tantangan-tantangan yang masih terbuka.
Orientasi ini merupakan buah-buah yang muncul dari Pleno tersebut dan hasil
renungan yang ditempa melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan di Roma,
dihadapan Tahta Santo Petrus, bersama para rohaniwan dan rohaniwati dari
seluruh dunia dalam Tahun Hidup Bakti.
Sejak Konsili Vatikan II, ajaran gereja telah menemani hidup para religius
secara berkesinambungan. Secara khusus, Pleno ini menawarkan garis-garis besar
sebagai referensi dan nilai: Pedoman-pedoman Potissimum Institutioni (1990), Hidup
Persaudaraan dalam Komunitas (1994),
Faciem tuam Domine Requiram (2008), dan Identitas
dan misi dari saudara religius dalam gereja (2015). Pedoman-pedoman ini
terletak dalam garis dari «latihan dalam
pertimbangan injili, di mana kita berusha mengenali –dalam terang Roh– “panggilan
yang oleh Allah digemakan dalam situasi historis ini: yang dalam dan juga
melalui situasi ini Allah memanggil»[1] para
religius dari jaman kita ini, sebab «kita semua diminta untuk mematuhi
panggilanNya untuk keluar dari zona nyaman kita untuk menjangkau seluruh
“periferi” yang memerlukan terang Injil»[2].
Latihan pertimbangan gerejani dimana para religius dipanggil untuk memulai
langkah-langkah baru agar cita-cita dan doktrin diharapkan menjadi daging dalam
hidup: dalam sistem, struktur, diakonal, cara, relasi dan bahasa. Paus
Fransiskus menitikberatkan pada perlunya membuktikan bahwa: «kenyataan lebih
besar daripada gagasan. […] Kenyataan hanya ada, sedangkan gagasan perlu
dikembangkan. Harus ada dialog berkesinambungan antara keduanya, agar jangan sampai
gagasan terlepas dari kenyataan. Berbahayalah hidup hanya dalam dunia kata-kata
saja, dunia imajinasi dan penalaran cerdik»[3].
Meskipun telah melalui proses ‘accomodata
renovatio’ sesudah konsili yang lebar dan kaya, namun hidup bakti tetap
dapat menemukan tantangan-tantangan yang masih terbuka dan yang harus dihadapi
«dengan keteguhan dan mata menatap ke masa depan»[4].
Dengan pandangan tertuju pada penilaian dan pemahaman, pedoman-pedoman ini
bertujuan untuk mendeteksi penerapan-penerapan yang tidak sesuai, menunjukkan
proses-proses yang terhenti, menjabarkan pertanyaan-pertanyaan yang konkrit,
mempertanyakan struktur-struktur relasi dalam pemerintahan dan formasi tentang
dukungan nyata yang diberikan sesuai bentuk injili dalam hidup para religius.
Pedoman-pedoman untuk menguji secara bebas dan sungguh-sungguh (parresia) kantung-kantung kulit untuk
menyimpan anggur-anggur baru yang terus dicurahkan oleh Roh kepada gerejaNya
ini, menasihati untuk melakukan perubahan-perubahan dengan aksi-aksi nyata
untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
1. Logika Yesus
Ada kata dari Tuhan Yesus yang dapat menerangi jalan
hidup bakti dalam menghadapi tantangan-tantangan di jaman kita ini dan yang
sesuai dengan jiwa pembaharuan yang diinginkan oleh Konsili Vatikan II: anggur
baru dalam kantung kulit baru (Mrk. 2:22). Kalimat bijaksana dari Tuhan ini
terdapat dalam semua Injil Sinoptik yang dikutip dari konteks awal kegiatan
Yesus di hadapan umum. Penginjil Markus meletakkannya tepat pada inti dari
kritik-kritik provokatif awal kepada orang farisi di Kapernaum tentang
kebebasan dan otonomi Yesus (Mrk. 2:18-22).
Matius meletakkan logika ini lebih
di depan, untuk menyegel tanggung jawab kenabian dari pentingnya belas kasih
dalam kata-kata dan tindakannya (Mat. 9:16-17). Sedangkan Lukas menempatkan
tantangan ini dalam konteks yang lebih tepat lagi dengan menggarisbawahi
ketidakmungkinan untuk berdialog dengan mentalitas yang lama (Luk. 5:36-39).
Penginjil menunjukkan bahwa potongan kain itu diambil dari baju yang baru (yang sudah jadi) (bagi Matius bukan lain adalah
kain yang belum susut) untuk ditambalkan pada baju yang sudah tua. Tindakan yang janggal ini menyebabkan
kehancuran ganda (Luk. 5:36) dan penginjil menambahkan kalimat lain yang lebih menjelaskan:
Tidak seorang pun yang setelah minum
anggur lama, mau meminum anggur baru sebab mereka berkata, 'Anggur yang lama
itu lebih enak’ (Luk. 5:39).
Bagi para ketiga Penginjil Sinoptik sangatlah penting menggarisbawahi cara
baru Yesus ini, bahwa dengan menyatakan pada dunia wajah belas kasih Bapa,
Yesus memposisikan diri pada jarak kritis dari skema-skema religius yang lazim.
Mengampuni dosa dan menerima setiap orang dalam misteri penderitaannya adalah
suatu hal baru yang sangat radikal. Hal baru ini menggoyangkan mereka yang
sudah terbiasa pada pengulangan sederhana dari sebuah skema yang telah
diperhitungkan dan terbingkai. Sikap seperti ini tentu tidak hanya menimbulkan
ketidaknyamanan namun juga sejak awal menjadi sebuah alasan penolakan. Cara Yesus
dalam mewartakan Kerajaan Allah berdasarkan atas ‘hukum yang memerdekakan’ (bdk. Yak. 2:12) yang memungkinkan suatu
cara baru dalam memasuki relasi dengan orang-orang dan situasi-situasi yang
konkrit. Gaya Yesus ini memiliki warna dan rasa dari anggur baru namun dapat mengoyak kantung kulit lama. Gambaran ini memperlihatkan dengan jelas
bentuk-bentuk kelembagaan, religius dan simbolis yang memerlukan selalu sifat
yang elastis. Tanpa keelastisan ini tiada satu bentuk lembaga, yang paling
terhormat pun, dapat menahan tekanan-tekanan hidup maupun menjawab
tantangan-tantangan jaman.
2. Persamaan yang diterapkan Tuhan Yesus ini sederhana namun
juga mengandung banyak tuntutan. Kantung yang disebut dalam perumpamaan singkat
itu adalah sebuah wadah dari kulit halus binatang yang masih bisa memuai
sehingga membantu proses fermentasi anggur baru. Apabila kantung kulit yang
digunakan kering dan kaku karena usang, tidak akan mampu menahan tekanan kuat
dari anggur yang baru itu. Kantung itu akan koyak dan akan merusak baik anggur
maupun kantung itu sendiri. Penginjil Yohanes menggunakan perumpamaan yang sama
tentang anggur yang baik (Yoh. 2:10) yang dihidangkan pada pernikahan Kana
untuk menunjukkan suatu kesaksian kenabian baru dari pewartaan Injil yang
gembira dan efervescente (berbuih). Demikianlah anggur yang baik dan anggur
baru menjadi simbol dari cara Yesus bersikap dan mengajar, yang tidak mungkin
ditampung dalam kantung kulit yang lama dari skema religius yang kaku dan tidak
mampu membuka diri terhadap harapan-harapan baru. Ketika penginjil Lukas
berbicara tentang anggur tua yang enak (chrestòs),
ia merujuk secara jelas kepada keterikatan orang-orang farisi dan para pemimpin
masyarakat terhadap bentuk-bentuk standar dan kaku dari masa lalu. Namun
mungkin saja itu belum semua. Orang-orang Kristen dari generasi kedua harus
sadar akan adanya kecenderungan untuk tidak membuka diri terhadap kebaruan
injil. Resiko jatuh pada godaan untuk kembali ke cara lama dari dunia yang
tertutup dalam kepastian dan kebiasaannya, selalu mengintai kita. Sejak
permulaan dari sejarah gereja selalu ada godaan untuk menyesuaikan diri secara
taktis sebagai usaha untuk menghindari panggilan pertobatan hati yang terus
menerus.
Sabda Tuhan Yesus membantu kita untuk memahami tantangan dari sebuah
pembaharuan yang menuntut bukan saja penerimaan melainkan juga latihan pembedaan
roh. Pentinglah menciptakan struktur yang benar-benar mampu menjaga kekayaan
inovatif dari Injil dengan tujuan menghidupinya dan menggunakannya dalam
pelayanan kepada semua orang, dengan menjaga kualitas dan kebaikannya. Kita
harus membiarkan agar anggur baru berfermentasi dalam kantung kulit agar dapat
menjadi matang seperti seharusnya, untuk pada akhirnya dinikmati dan dibagikan.
Hal yang sama berlaku juga pada gambaran baju dan tambalannya: tidaklah mungkin
memotong kain dari baju yang baru untuk ditambal pada baju yang sudah usang.
Tindakan itu dapat menciptakan tegangan yang mengoyak baju yang lama, jadi pada
kenyataannya, tambalan baru itu tidak ada gunanya sama sekali.
3. Pesan Injil tidak dapat direduksi menjadi sesuatu yang
benar-benar hanya bersifat sosiologis, karena berhubungan dengan suatu
orientasi spiritual yang selalu baru. Dibutuhkan suatu keterbukaan mental untuk
membayangkan suatu kelanjutan yang profetis dan karismatis, serta dihidupi
sesuai skema yang tepat, dan bahkan mungkin yang belum dikenal. Semua itu
merupakan sebuah rangkaian pelayanan yang inovatif, yang dihidupi di luar skema
yang sudah dialami pada masa lalu, yang juga harus dapat diterima oleh
struktur-struktur kelembagaan yang baru. Struktur-struktur tersebut pada
kenyataannya harus sesuai dengan tingkat ekspektasi dan dengan
tantangan-tantangan yang ada. Suatu pembaharuan yang tidak mampu menjamah dan
mengubah struktur dan juga hati, tidak akan dapat mengantarkan pada perubahan
yang nyata dan bertahan lama. Janganlah pernah kita lupa bahwa suatu pemaksaan
sederhana, bahkan yang paling halus sekalipun, dapat membawa pada sebuah
penolakan. Penolakan menyebabkan hilangnya efervescencia (keberbuihan) dari
kebaruan yang tak dapat ditolak, yang tidak hanya harus diakui melainkan menuntut
untuk dihidupi sampai ke dasarnya, dan bukan sekedar ditanggung dengan sabar
dan tabah.
Apabila kita menerapkan kriteria injili ini pada apa yang
dihidupi gereja di saat berahmat dari Konsili Vatikan II, dapatlah kita
benar-benar berbicara tentang anggur baru.
Di bawah pimpinan Roh Kudus, gereja yang adalah ladang anggur Tuhan, telah
mampu menghidupi suatu musim panen rohani yang diperbaharui dengan masukan dan
kemurahan hati semua orang. Kita semua telah menikmati suatu pengalaman
pembaharuan yang hidup, yang terungkap dalam arah kateketik baru, model
kekudusan dan hidup persaudaraan yang baru, struktur pemerintahan yang baru,
aliran teologis yang belum dikenal, bentuk-bentuk solidaritas dan pelayanan
yang tak terpikirkan sebelumnya, dan sebagainya. Sungguh-sungguh suatu musim
panen yang dapat kita tanggapi dengan rasa syukur yang berlimpah dan dengan
gembira. Namun, semua tanda-tanda dan bentuk pembaharuan itu hidup bersama
dengan kebiasaan-kebiasaan lama yang di’kudus’kan dan telah mengeras, dan itu
normal. Yang dimaksudkan adalah kebiasaan-kebiasaan yang kaku dan yang tidak
mampu mencocokkan diri dengan pembaharuan yang terjadi. Hal ini dapat
menimbulkan konflik, kadang juga sampai yang kasar. Dan dari konflik-konflik,
lahir tuduhan-tuduhan bahwa pada kenyataannya kita tidak mampu menjadi anggur yang terbaik (Kid. 7:10),
melainkan anggur yang penuh campuran
(Mzm. 75:8). Ada juga orang-orang yang menghakimi orang lain sebagai ‘buah yang masam’ (bdk. Yes. 5:2) karena
tidak setia pada apa yang sudah biasanya dilakukan sejak dulu. Kita tidak
seharusnya terkejut atau bahkan menjadi patah semangat menghadapi semua itu.
Tidaklah mungkin mendefinisikan struktur yang tepat untuk suatu pembaharuan
otentik, tanpa memperhitungkan waktu pengolahan yang lama dan kemungkinan
munculnya hal-hal yang tidak diinginkan selama proses tersebut.
Perubahan-perubahan yang otentik dan tahan lama tidak pernah terjadi secara
otomatis.
Pada umumnya kita harus menghadapi serangkaian penolakan
bahkan kemunduran. Kita juga harus menyadari bahwa penolakan-penolakan tersebut
tidak selalu buruk atau dibuat dengan maksud jahat. Setelah lebih dari 50 tahun
sejak penutupan konsili, kita harus mengakui bahwa perubahan dan kegelisahan
yang diakibatkan oleh dorongan Roh yang hidup dapat juga menimbulkan rasa
sakit. Hal itu tentu saja juga berlaku bagi hidup bakti dengan segala
pergantian musim yang subur, dalam hal menjawab tanda-tanda jaman dan inspirasi
Roh Kudus.
Pembaharuan Post-Konsili
4. Untuk
dapat memandang ke depan dan lanjut berjalan sesuai semangat pembaharuan yang
diinginkan konsili, sejarah dapat menerangi dan menegaskan langkah kita.
Kesadaran akan apa yang telah kita alami selama setengah abad ini semakin
penting, bila kita ingin menanggapi dorongan yang datang baik dari kata-kata
maupun tindakan Bapa Paus Fransiskus.
Konsili
Vatikan II secara eksplisit meminta ‘accomodata renovatio’ dari hidup
dan kedisiplinan masing-masing lembaga hidup bakti, «menurut tuntutan zaman
kita sekarang»[5].
Para bapa konsili telah meletakkan dasar-dasar teologis dan gerejani untuk pembaharuan
ini, khususnya dalam bab VI dari konstitusi dogmatis Lumen gentium[6].
Dalam dekrit Perfectae caritatis mereka juga menawarkan beberapa
petunjuk yang lebih tepat dan beberapa arahan praktis untuk pengaktualisasian
spritual, gerejani, karismatis, dan kelembagaan dari hidup bakti dalam gereja.
Di antara naskah-naskah konsili yang lain, konstitusi Sacrosanctum concilium
dan dekrit Ad gentes menunjukkan beberapa konsekuensi praktis yang
cukup penting dari hidup religius.
Sepanjang
setengah abad ini, kita dapat mengakui dengan bangga bahwa dampak dari hasil
pemikiran konsili terhadap hidup religius sangatlah kaya. Pemahaman bersama
serta penyelidikan secara seksama telah melahirkan dorongan-dorongan dan
metode-metode yang sangat efektif untuk diaktualisasikan. Langkah pertama dari
perubahan yang mendalam ini berkaitan dengan bagaimana cara hidup bakti harus
bermawas diri. Pada tahap sebelum konsili, manifestasi dan struktur dari hidup
religius memperlihatkan kekuatan yang padat dan operatif dari hidup dan misi
gereja yang militan dalam pertentangan yang terus menerus dengan dunia. Pada
tahap baru, dimana ada keterbukaan dan dialog dengan ‘dunia’, hidup religius
merasa terdorong ke garis terdepan dalam usaha mengeksplorasi bentuk-bentuk
relasi baru yang terkoordinasi antara gereja-dunia demi kebaikan tubuh gereja.
Ini adalah satu dari banyak tema yang memiliki kekuatan inspiratif dan
transformatif seperti yang diinginkan oleh Konsili Vatikan II. Dengan dialog
dan penerimaan yang baik, hidup bakti pada umumnya telah bersedia merangkul,
meskipun tidak selalu, resiko-resiko dari petualangan baru dalam keterbukaan,
penerimaan dan pelayanan. Untuk dapat benar-benar mewujudkan suatu cara
berelasi dan bersikap di dunia saat ini, hidup bakti telah berkontribusi dengan
berbagai macam karisma dan warisan rohani, dengan berani mengambil resiko dan
dengan murah hati menerima cara-cara yang baru.
5. Kami
telah memperhatikan bahwa dalam 50 tahun sejak konsili, semua lembaga hidup
bakti telah menanggapi dorongan-dorongan dari Vatikan II dengan usaha-usaha
terbaiknya. Terlebih dalam 30 tahun pertama sesudah konsili usaha pembaharuan
itu bersifat murah hati dan kreatif, dan itu telah berlanjut dalam tahun-tahun
berikutnya meski dengan irama yang lebih lambat dan kurang dinamis. Telah
digarap juga naskah-naskah normatif dan bentuk-bentuk kelembagaan, pertama-tama
sebagai tanggapan atas stimulus yang dihasilkan oleh konsili dan kemudian untuk
mengikuti peraturan-peraturan dari Kitab Hukum Kanonik yang baru (1983).
Tiap-tiap keluarga religius telah sungguh-sungguh berkomitmen untuk membaca
ulang dan menginterpretasikan kembali «inspirasi lembaga yang mula-mula»[7].
Pekerjaan ini memiliki dua tujuan utama:
menjaga dengan setia «maksud dan cita-cita para pendiri»[8]
dan «menampilkan lagi dengan berani inisiatif, kreativitas dan kekudusan yang
siap bertindak yang dulu ada pada para pendiri mereka, guna menanggapi
tanda-tanda jaman yang muncul di dunia zaman sekarang»[9].
Pencarian
terhadap langkah-langkah formasi yang baru, yang dilakukan dengan penuh
keberanian dan kesabaran sesuai dengan sifat karisma dari masing-masing
keluarga religius, telah mengiringi hasil-hasil dari usaha keras yang telah
dilakukan untuk mengolah kembali identitas, gaya hidup dan kesesuaian misinya
dalam gereja. Hal yang sama telah dilakukan juga dalam lingkup struktur
pemerintahan, pengelolaan keuangan dan aktivitas-aktivitas untuk
menyesuaikannya «dengan keadaan fisik dan psikis para anggota…
kebutuhan-kebutuhan kerasulan, tuntutan-tuntutan kebudayaan dan situasi sosial
ekonomi»[10].
6. Setelah
melihat secara sekilas sejarah 50 tahun terakhir ini, dapatlah kita akui dengan
rendah hati bahwa hidup bakti telah berupaya menjangkau cita-cita konsili
dengan bersemangat dan dengan keberanian untuk bereksplorasi. Untuk segala yang
telah kita lalui ini kita hanya dapat berterimakasih pada Allah dan pada kita
masing-masing dengan tulus dan sungguh hati.
Dalam
perjalanan yang panjang dan penuh usaha ini, ajaran-ajaran tertinggi dari para
Bapa Paus telah memberikan dukungan yang amat besar di tahun-tahun ini. Dengan
naskah-naskah dan intervensi yang beragam, para Bapa Paus pada umumnya telah
membantu memperteguh keyakinan-keyakinan baru, memahami jalan-jalan baru,
mengarahkan dengan kebijaksanaan dan kesadaran gerejani pada pilihan-pilihan
baru dalam bersikap dan dalam pelayanan dengan terus menerus mendengarkan
sapaan Roh Kudus. Seperti seruan apostolik Vita consecrata (1996), yang
memiliki nilai teologis yang luar biasa, gerejani dan sarat dengan pengarahan,
telah menghimpun dan menegaskan buah-buah terbaik dari aktualisasi
post-konsili.
Secara
khusus, dengan dokumen Vita consecrata menjadi jelaslah pandangan dan
acuan dasar hidup bakti dalam misteri Tritunggal: «Hidup bakti mewartakan apa
yang oleh Bapa, dengan perantaraan Putra dan dalam Roh, dilaksanakan dalam
cintakasihNya, kebaikanNya dan keindahanNya. Kenyataannya, “status religius […]
secara istimewa menampilkan keunggulan Kerajaan Allah melampaui segalanya yang
serba duniawi, dan menampakkan betapa pentingnya Kerajaan itu. Selain itu juga
memperlihatkan kepada semua orang keagungan mahabesar kekuatan Kristus yang
meraja dan daya Roh Kudus yang tak terbatas”. […] Begitulah hidup bakti menjadi
suatu meterai kelihatan yang dikenakan pada sejarah oleh Tritunggal Mahakudus,
sehingga orang-orang dapat merasakan penuh kerinduan daya tarik keindahan
Ilahi»[11].
Hidup bakti dapat sampai kepada confessio trinitatis saat menghadapi
tantangan hidup bersaudara «bila anggota-anggota hidup bakti berusaha hidup ‘sehati
sejiwa’ (Kis. 4:32) dalam Kristus»[12].
Dengan perspektif trinitaris ini muncullah suatu tantangan besar akan kesatuan
dan kebutuhan ekumenis dalam doa, kesaksian, penderitaan sebagai jalan dan
tutunan untuk para kaum religius: «Doa Kristus kepada Bapa sebelum Ia menderita
sengsara, supaya para muridNya bersatu (bdk. Yoh. 17:21-23) tetap hidup dalam
dia maupun kegiatan gereja. Bagaimana mungkin mereka yang dipanggil untuk hidup
bakti tidak merasa diri terlibat?»[13].
Demikian
pula, bimbingan yang tekun dan bijaksana dari Kongregasi ini telah ditawarkan
dengan berbagai cara –instruksi-instruksi, surat-surat, orientasi-orientasi–
dan pengawasan yang periodis dengan kriteria bimbingan untuk dapat tetap
bertahan pada keaslian dalam pengaktualisasian konsili dan agar tetap setia
pada identitas dan misi gerejani, dengan melalui pemahaman bersama dan dengan
kenabian yang berani.
Meskipun
demikian, hal itu tidak berarti menyangkal semua kelemahan dan kelelahan. Lebih
tepatnya kita harus mampu mengenali dan memberi nama agar jalan yang kita ambil
tidak hanya berkelanjutan, namun juga mengakar kuat pada kesetiaan dan
kreativitas. Demikian juga, sangatlah perlu memandang muka dengan muka dan
dengan realistis, segala situasi baru dimana hidup bakti dipanggil untuk mengukur
dan mewujudkan diri sendiri.
Cara-cara Baru yang Meminta Jawaban Kita
7. Beragam
pelayanan yang dilakukan oleh hidup bakti pada puluhan tahun belakangan ini
menderita suatu perubahan radikal akibat evolusi sosial, ekonomi, politik,
ilmiah, teknologis, dan juga akibat dari intervensi pemerintah dalam banyak
sektor yang berhubungan erat dengan karya-karya hidup bakti. Semua itu
menyebabkan berubahnya pula cara berelasi kaum religius dengan lingkungan
sekitarnya dan cara membawakan diri dalam menghadapi orang lain. Sementara itu
muncul jugalah kebutuhan-kebutuhan baru dan yang tidak dikenal sebelumnya dan
bahkan yang hingga sekarang belum dapat ditanggapi, semua itu mengetuk pintu
hidup bakti dan menuntut jawaban berdasarkan kesetiaan yang kreatif.
Kemiskinan
masa kini mengetuk hati nurani para kaum religius dan meminta pada
karisma-karisma mereka bentuk baru untuk dapat menanggapi segala situasi baru
dan memberi perhatian pada orang-orang yang tersisihkan dari sejarah.
Konsekuensi dari semua itu adalah berkembangnya bentuk-bentuk baru dari
penerimaan dan pelayanan di perbatasan-perbatasan ekistensial. Janganlah pula
kita melupakan perkembangan dari inisiatif-inisiatif para relawan, dimana
banyak dari kaum awam dan religius, laki-laki dan perempuan yang berpartisipasi
dalam sebuah sinergi yang kaya dari «kegiatan-kegiatan baru dalam kerasulan»[14],
agar «menjadi lebih efektif juga tanggapan terhadap tantangan-tantangan berat
jaman sekarang, berkat sumbangan-sumbangan serentak pelbagai karunia»[15].
Simfoni ini terbentuk atas dasar sakramen baptis yang menjadi akar yang
menyatukan seluruh murid Kristus yang terpanggil untuk memadukan kekuatan dan
cita-cita agar dunia ini menjadi lebih indah dan rumah bagi semua.
Banyak
kongregasi, terutama kongregasi feminim, telah mulai memberi prioritas
pendirian kepada gereja-gereja muda dan mereka telah mengalami situasi
monokultural dalam tantangan multikultural saat ini. Dan dengan demikian
sedikit demi sedikit mereka membangun suatu komunitas internasional yang bagi
beberapa lembaga merupakan bukti dari keberanian mereka untuk keluar dari
lingkup geografi dan budayanya. Mereka telah memulai pengalaman pelayanan dan
keberadaan di tengah-tengah konteks asing ataupun konteks multireligius;
komunitas-komunitas baru yang hidup dalam situasi lingkungan yang sulit tidak
jarang memiliki resiko kekerasan dalam berbagai bentuk. Pengalaman-pengalaman
tersebut telah membawa perubahan mendasar dalam keluarga religius, entah dalam
nilai-nilai budaya untuk ditularkan ataupaun sebagai model gereja dan gaya
semangat inovatif mereka. Peristiwa eksodus ini tentu saja telah menggoncangkan
skema formatif yang tradisional yang tidak lagi cocok untuk panggilan-panggilan
baru dan konteks yang baru pula. Semua itu tentunya merupakan sebuah kekayaan
yang sangat besar, namun pada saat yang sama juga dapat menjadi sumber berbagai
macam pertentangan yang dapat menyebabkan keretakan dalam kongregasi-kongregasi
yang memiliki sedikit pengalaman dalam bermisi.
8. Evolusi
kontemporer dari masyarakat dan budaya yang terjadi sangat cepat, luas,
tiba-tiba dan kadang juga semrawut, telah menempatkan hidup bakti pada sebuah
tantangan dan penyesuaian yang terus menerus. Hal ini juga menuntut agar hidup
bakti terus memberikan jawaban-jawaban baru yang berjalan seiring dengan krisis
pembangunan proyek-proyek historis dan profil karisma. Tanda-tanda dari krisis
ini adalah kelelahan yang amat jelas. Kita harus mengakui bahwa di beberapa
kasus permasalahannya terletak pada ketidakmampuan untuk beralih dari prosedur
biasa (management) kepada pemberian bimbingan pada situasi di mana
dibutuhkan kebijaksanaan dalam bertindak. Memang bukanlah tugas yang mudah
beralih dari sekadar melakukan prosedur yang sudah kita kenal kepada memimpin
sampai ke tujuan dan cita-cita dengan suatu kepastian yang melahirkan
kepercayaan yang sungguh-sungguh. Itu berarti tidak berpuas diri dengan sekadar
menyusun strategi-strategi untuk dapat bertahan hidup, namun lebih dari itu
harus ada kebebasan sejauh dibutuhkan untuk melangsungkan proses seperti yang terus
diingatkan oleh Paus Fransiskus. Terlebih lagi, dibutuhkan pelayan-pelayan yang
memiliki kemampuan memimpin, membimbing dan bekerja sama dengan suatu sinergi
yang dinamis. Hanya dengan kekuatan bersamalah kita mungkin menghadapi transisi
ini dengan sabar dan bijaksana dan dengan visi yang jelas.
Dengan
berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan yang ada semakin menjadi rumit
sehingga melumpuhkan hidup bakti dan lembaga-lembaganya. Situasi yang sangat
cepat berganti ini membuat ruwet hidup lembaga-lembaga hidup bakti dan dengan
terpaksa mereka harus seakan-akan hanya hidup untuk mampu melewati masa-masa
kritis dan bukannya hidup dengan pandangan mengarah pada masa depan. Kadang
hidup bakti tampak seperti sudah terbungkuk karena beban perkara sehari-hari
atau karena usaha-usaha sekadar untuk bertahan hidup. Cara menghadapi realitas
seperti ini tentu menodai dan merendahkan martabat hidup bakti yang seharusnya
penuh makna dan mampu menjadi saksi kenabian.
Usaha-usaha
untuk mengatasi keadaan kritis yang semakin lama semakin mendesak tentu
menguras lebih banyak tenaga dari yang kita pikirkan. Ini membawa resiko untuk
hanya memikirkan bagaimana lepas dari permasalahan yang ada dan bukan
mempelajarinya terlebih dahulu. Dari usaha yang sangat melelahkan ini nampak
sepertinya dorongan karisma konsili telah hilang. Komitmen pembaharuan dan
kreativitas ditanggalkan dan telah terhenti, justru ketika kita dipanggil untuk
bersedia merangkul eksodus yang baru. Pada banyak kasus, ketakutan akan masa
depan melemahkan dan bahkan mematikan pelayanan kenabian –seperti yang selalu
ditekankan oleh Paus Fransiskus[16]–
di mana hidup bakti dipanggil untuk hidup dalam gereja demi kebaikan semua
manusia.
9. Sekarang
ini adalah baik dan perlu, berhenti dan mencoba menilai serta memahami kualitas
dan rasa anggur baru yang telah dihasilkan selama ini lewat pembaharuan
post-konsili. Tepatlah saatnya untuk memunculkan beberapa pertanyaan. Yang
pertama mengenai keharmonisan dan keselarasan antara struktur, organisme,
peran, gaya yang telah ada sejak dulu dan yang telah diperkenalkan di
tahun-tahun ini untuk menanggapi mandat konsili[17]. Yang
kedua, mempertimbangkan apakah elemen-elemen penerima yang ada saat ini dalam
hidup bakti mampu menerima segala hal-hal baru yang nyata dan mampu menahan –menurut
perumpamaan anggur baru yang berfermentasi dan bergolak– proses transisi
yang ada hingga mencapai keadaan yang benar-benar stabil. Dan yang terakhir,
dapatlah kita bertanya pada diri sendiri apakah anggur baru yang kita
kecap dan kemudian kita tawarkan untuk diminum benar-benar angur baru, enak dan
sehat, ataukah kendati memiliki maksud baik dan usaha yang patut dipuji, kita
menawarkan anggur campuran untuk menutupi masamnya konsekuensi-konsekuensi dari
panen anggur yang buruk akibat perawatan yang tidak baik.
Pertanyaan-pertanyaan
ini dapat kita munculkan dengan kesederhanaan dan kesungguhan (parresia),
namun jangan sampai kesalahan yang rumit yang kita temui membuat kita jatuh dan
pasrah begitu saja karena ini dapat menghadang jalan kita untuk maju. Dapatlah
kita mengambil waktu sejenak untuk melihat bersama-sama apa sebenarnya yang
sedang terjadi dengan kantung kulit hidup bakti kita. Yang dimaksudkan
adalah untuk membandingkan kualitas anggur baru dari anggur baik
dan bukan untuk menyalahkan diri sendiri ataupun orang lain. Kita yang adalah
penjaga-penjaga tercinta, kita dipanggil untuk mencurahkan anggur ini demi
kebahagiaan semua orang, terutama mereka yang termiskin dan terkecil.
Terlepas
dari segala perubahan yang ada, kita tidak perlu takut untuk mengakui dengan
tulus bahwa sistem kelembagaan yang lama memiliki kesulitan untuk melangkah
dengan mantap menuju model-model yang baru. Mungkin saja rangkaian-rangkaian
yang sudah kita kenal dan terbiasa, seperti rangkaian bahasa dan model, nilai dan
kewajiban, spiritualitas dan identitas gerejani, belum memberi tempat yg cukup
untuk dilakukannya pemeriksaan dan pengaturan terhadap paradigma baru yang
muncul dari inspirasi dan praktek-praktek post-konsili. Kita sedang hidup dalam
suatu fase kebutuhan dan kesabaran untuk membangun kembali semua yang
berhubungan dengan warisan dan identitas hidup bakti dalam gereja dan sejarah.
Kita harus juga berani menunjuk dan membaca segala perlawanan kuat yang selama
beberapa waktu terkubur dan yang sekarang bertunas kembali, secara eksplisit,
dalam banyak konteks dan juga merupakan jawaban dari rasa frustrasi yang
terselubung. Di beberapa kenyataan hidup
bakti, boleh jadi yang berhubungan dari sudut pandang jumlah dan sarana yang
dimiliki, terasa adanya ketidakmampuan untuk menerima tanda-tanda dari hal-hal
baru yang muncul: keterbiasaan pada rasa anggur tua dan rasa tenang
karena kepercayaan diri terhadap segala kemampuan yang telah terbukti dari
pengalaman, kurangnya disposisi dalam menghadapi perubahan, kecuali perubahan
yang secara esensi tidak relevan.
10. Setelah
memaparkan dan berbagi tentang keadaan hidup bakti saat ini, kami ingin
mempresentasikan hal-hal yang merupakan ketidaksesuaian dan
perlawanan-perlawanan. Dan itu kami paparkan dengan kejujuran dan kesetiaan.
Kita tidak dapat lagi menunda tugas ini, yaitu mencoba memahami bersama dimana
letak simpul yang harus diurai untuk dapat keluar dari kelumpuhan dan mampu
mengatasi rasa takut terhadap masa depan. Selain mencoba untuk memberi nama
hal-hal yang menjadi penghalang perkembangan dan pembaharuan yang dinamis dari
sifat kenabian hidup bakti tersebut, menurut kami inilah waktu yang tepat untuk
menawarkan beberapa orientasi agar kita tidak terjebak dalam rasa takut dan
rasa malas. Dalam hal ini kami akan mencoba menawarkan beberapa saran dalam hal
langkah-langkah formasi, petunjuk-petunjuk yuridis yang diperlukan untuk dapat
berkembang, beberapa nasihat tentang pelayanan kepemimpinan agar para pemimpin
benar-benar dapat melayani dengan gaya persaudaraan yang erat. Menurut kami
penting juga menaruh perhatian khusus pada dua hal yang rentan dalam hidup
bakti: formasi dan kepemilikan bersama.
Sebagai
dasar dari seluruh perjalanan ini, menurut kami penting untuk menggarisbawahi
kebutuhan kaum religius akan dorongan baru menuju kekudusan, sebab tidaklah
mungkin melayani Kerajaan Allah tanpa suatu dorongan semangat baru dalam
membaca dan mencintai Injil. Roh Yesus yang bangkit menggerakkan kita dengan
terus berbicara melalui wahyuNya dalam gereja.
Paus
Fransiskus meneguhkan kita dalam perjalanan ini: «Untuk anggur baru, kantung
kulit baru pula. Apa yang Injil bawa untuk kita? Kegembiraan dan perubahan.
Perubahan, kebaruan, untuk anggur baru, kantung kulit baru pula. Dan jangan
takut akan perubahan hal-hal yang sesuai dengan hukum Injil. Karena itu gereja
meminta kita semua untuk melakukan beberapa perubahan. Gereja meminta kita
untuk meninggalkan struktur-struktur lama yang sudah usang: tidak berguna lagi!
Gereja meminta kita untuk menggunakan kantung kulit baru, yaitu Injil. Injil
itu selalu baru! Injil adalah sebuah perayaan pesta. Hanya dengan hati yang
gembira dan telah diperbaharui, kita mampu hidup dalam kepenuhan injil. Kita
harus memberi tempat pada hukum sabda bahagia, pada kegembiraan dan kebebasan
yang dibawa oleh Injil. Semoga Tuhan mengaruniai kita berkat untuk tidak
tinggal dalam rasa takut, namun semoga Dia menganugerahi kita dengan
kebahagiaan dan kebebasan berkat kebaruan Injil»[18].
II. TANTANGAN-TANTANGAN YANG MASIH TERBUKA
11. Apa yang dikatakan Yesus tentang penolakan terhadap
perubahan –karena anggur yang lama lebih enak (bdk. Luk. 5:39)– adalah
sebuah gejala yang dapat kita temukan di semua bidang kehidupan manusia dan
sistem-sistem budaya. Kadang karya-karya yang baik tercampur dengan yang kurang
baik, seperti diajarkan oleh Injil dalam perumpamaan-perumpamaan gandum dan
ilalang (Mat. 13:25-30), juga tentang pukat yang penuh dengan ikan yang «baik
dan tidak baik» (Mat. 13:47-48). Hal ini tidak seharusnya mengejutkan kita,
melainkan haruslah kita dapat terus berjaga-jaga dan waspada untuk mengenali
kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang menghalangi proses-proses
yang diperlukan untuk dapat memberi kesaksian yang otentik dan terpercaya.
Semua sistem yang sudah stabil
cenderung menolak perubahan dan sedapat mungkin mempertahankan posisinya dengan
menutup-nutupi keganjilan yang ada, atau menerima perubahan dengan sekadar
menempelkan sistem yang baru pada yang lama, atau menyangkal kerapuhan dari
sistem lama demi mempertahankan kedamaian palsu, bahkan sampai menyamarkan
tujuan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang bersifat dangkal.
Contoh-contoh ketaatan yang sekadar formalitas seperti ini tanpa adanya
pertobatan dari hati sayangnya masih banyak kita temui.
Panggilan dan Jati Diri
12. Secara realistis kita mencatat bahwa jumlah orang-orang
yang meninggalkan hidup religius masih memiliki angka yang tinggi. Pentinglah
kita melihat sebab-sebab utama dari kepergian mereka, yang terjadi baik setelah
selesainya tahap formasi (profes, tahbisan), atau pada umur yang telah lanjut.
Fenomena ini sekarang terjadi di semua konteks budaya dan geografi.
Kita harus katakan dengan jelas bahwa
hal itu terjadi tidak selalu dan tidak hanya disebabkan oleh krisis afektif.
Krisis afektif tersebut sering kali terjadi akibat akumulasi dari
kekecewaan-kekecewaan masa lalu terhadap komunitas yang hidup tanpa
otentisitas. Kesenjangan antara nilai-nilai yang seharusnya dihidupi dengan
kenyataan yang ada dapat menghantarkan seseorang pada suatu krisis iman yang
berat. Stres akibat banyaknya kegiatan dan hampir semua bersifat mendesak juga
menyebabkan tidak tercapainya suatu kehidupan rohani yang solid, yang mampu
menutrisi dan mendukung keinginan untuk setia dalam jalan panggilan. Pada
beberapa kasus yang terjadi pada
komunitas-komunitas yang mayoritas anggotanya berusia lanjut, anggota yang
berusia lebih muda mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan pembaharuan
dalam penginjilan, baik di bidang spiritualitas, doa, maupun aktivitas
pastoral. Frustrasi seperti ini menjadikan pilihan keluar dari hidup religius
sebagai satu-satunya jalan keluar untuk tidak jatuh lebih dalam lagi.
Hasil-hasil studi sosiologis
menunjukkan bahwa orang-orang muda masih memiliki cita-cita dan keinginan baik serta
kesediaan serius untuk berkomitmen guna mencapai cita-citanya tersebut.
Terlihat bahwa mereka juga memiliki kesediaan untuk transendensi, solidaritas,
kemauan untuk membela kebenaran dan kebebasan. Gaya hidup religius yang standar
–sering juga berada di luar konteks budaya– dan juga dengan usahanya yang
kadang terlalu berpusat pada pengolahan karya, beresiko tidak mampu melihat
keinginan terdalam dari orang-orang muda. Hal ini menciptakan suatu kekosongan
yang menyebabkan sulitnya estafet generasi dan kakunya dialog antar angkatan.
Sehubungan dengan itu perlulah kita
mempertanyakan secara serius kepada diri kita sendiri tentang sistem formasi
yang ada. Memang di tahun-tahun ini kita telah melakukan perubahan-perubahan
yang positif dan pada arah yang benar, namun semua itu dilakukan tidak secara
berkesinambungan sehingga tidak sempat sampai pada suatu modifikasi struktur yang
penting dan yang merupakan tulang punggung formasi. Meski telah dilakukan
banyak usaha dan pencurahan perhatian yang tekun kepada sistem formasi, namun
tampaknya tidak berhasil untuk menyentuh hati dan mencapai perubahan yang
sesungguhnya. Ada kesan bahwa metode formasi yang ada hanya bersifat informatif
dan bukannya konstitutif. Hasilnya adalah orang-orang yang tetap rapuh
keyakinan eksistensialnya dan juga imannya. Hal ini membawa pada
ketidakstabilan psikologis dan spiritual, yang kemudian berujung pada
ketidakmampuan untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada misi dan ketidakberanian
berdialog dengan budaya dalam konteks sosial maupun gereja.
13. Perubahan yang baru-baru ini terjadi dari banyak lembaga
telah memperburuk masalah seputar pembauran dengan berbagai budaya. Satu
situasi yang sulit bagi beberapa lembaga adalah, di satu sisi, puluhan
anggotanya yang berusia lanjut sangat terikat pada ‘kenyamanan’ budaya tradisi
klasik dari lembaga; di sini lain, banyaknya anggota-anggota muda –yang datang
dari berbagai budaya– dengan semangat yang besar, merasa tersisihkan dan tidak
dapat menerima peran sebagai bawahan. Keinginan yang besar untuk memikul
tanggung jawab untuk dapat keluar dari situasi ‘ketundukan’ ini, dapat
menyebabkan munculnya bentuk-bentuk pengambilan keputusan yang dipaksakan oleh
beberapa kelompok. Dari kejadian seperti itu muncul penderitaan-penderitaan dan
ketersisihan, perasaan tidak dipahami dan perasaan tertekan yang dapat menimbulkan
krisis dalam proses tak terhindarkan dari inkulturasi Injil.
Tegangan
inkulturasi ini lebih memperjelas adanya jarak yang semakin lebar antara pola
pikir klasik dalam bentuk-bentuk standar di hidup bakti dengan pola pikir yang
berbeda yang didalamnya terdapat konteks-konteks gereja dan budaya dan yang
diharapkan ada saat ini. Gaya ‘kebarat-baratan’ dan ‘keeropa-eropaan’ yang
tampaknya sejalan dengan proses besar globalisasi harus kita singkiran dari
dalam hidup bakti. Makin lama makin jelas bahwa yang terpenting bukanlah
mempertahankan bentuk-bentuk, melainkan kesediaan untuk melakukan pertimbangan
secara berkesinambungan tentang hidup bakti sebagai kenangan injili dari suatu
pertobatan terus menerus yang terpancar dari dorongan hati dan pilihan-pilihan
konkrit.
Dalam usaha untuk mencapai pertumbuhan harmonis dari
dimensi rohani dan manusiawi ini, perlu adanya perhatian khusus dalam
antropologi budaya-budaya yang berbeda dan kepekaan dari generasi baru yang
mengacu pada kekhususan dari konteks-konteks hidup yang baru. Hanya dengan usaha
melihat kembali dan berusaha memahami dengan mendalam tanda-tanda yang
mencerminkan keadaan hati sebenarnya dari para generasi baru, dapat dihindari
bahaya akan munculnya ketaatan yang dangkal menurut kecenderungan masa kini
yang hanya puas dengan pencarian tanda-tanda eksternal untuk menunjukkan suatu
kematangan identitas. Jadi, perlulah adanya pemeriksaan mendalam dari
motif-motif panggilan dengan menaruh perhatian khusus pada pelbagai wajah
budaya dan benua[19].
15. Meskipun semua lembaga memiliki Ratio formationis (sistem formasi),
namun penerapan dari rute-rute formasi terus berubah dan berkurang terutama
dalam lembaga-lembaga feminin dimana kepentingan karya lebih sering
dinomorsatukan daripada proses formasi yang subur, sistematis dan teratur.
Karya dan tuntutan kerja yang makin mendesak dalam keseharian komunitas
memiliki resiko terciptanya regresi atau kemunduran yang merugikan berkenaan
dengan semua proses yang telah dijalani setelah konsili.
Dari
sudut pandang ini, kita seharusnya menghindari, baik studi-studi teologis yang
tidak berkesinambungan maupun studi-studi yang hanya mementingkan titel
profesional, demi keseimbangan formasi dalam hidup bakti. Akibatnya memang ada
resiko masing-masing lembaga yang tampak seperti membangun dunianya sendiri
terpisah dari dunia luar dan tertutup dari segala bentuk interaksi. Dalam waktu
dekat, haruslah kita memiliki generasi kaum religius muda yang tidak hanya
berbekal titel akademis namun juga terbentuk sesuai identitas dan nilai-nilai
hidup yang seturut jejak Kristus.
16. Banyak lembaga tidak memiliki sumber daya manusia
yang memiliki persiapan memadai untuk menjalankan tugas formasi. Ini adalah
sebuah kekurangan yang terjadi di mana-mana, terutama pada lembaga-lembaga
kecil yang melebarkan eksistensinya ke benua-benua lain. Kita harus ingat bahwa
dalam proses formasi tidak boleh ada terlalu banyak improvisasi, karena proses
itu menuntut suatu persiapan jangka panjang dan terus menerus. Tanpa adanya
formasi yang andal bagi para formator, tidak mungkin saudara-saudari yang dipercayai
untuk melakukan tugas ini, mampu melakukan pendampingan yang nyata dan
menjanjikan untuk generasi yang lebih muda. Agar proses formasi menjadi lebih
efektif, harus didasarkan pada pedagogi yang sangat spesifik dan personal, yang
tidak terbatas pada rancangan nilai-nilai, spiritualitas, waktu, gaya dan
bentuk yang sama untuk semua orang. Kita sedang menghadapi tantangan
personalisasi, seperti model awal formasi yang menuntut adanya hubungan
langsung antara guru dan murid, berjalan berdampingan dengan penuh rasa percaya
dan penuh pengharapan.
Dalam konteks ini ditekankan kembali perlunya memberi perhatian penuh pada
pemilihan formator. Misi utama mereka adalah menyampaikan «keindahan mengikuti Kristus dan nilai karisma
untuk melaksanakan itu»[20]
pada orang-orang yang dipercayakan pada mereka. Yang terutama diharapkan dari
para formator adalah agar mereka menjadi «orang-orang yang akrab sekali dengan
jalan mencari Allah»[21].
Para kaum muda sering secara prematur diikutsertakan
ke dalam kegiatan-kegiatan yang berintensitas dan memiliki tuntutan tinggi. Hal
ini menyebabkan sulitnya mengikuti sebuah proses formasi yang serius. Tidaklah
mungkin menyerahkan proses formasi hanya kepada orang yang bertanggung jawab
menangani kaum muda, seperti seolah-olah itu adalah masalahnya sendiri.
Dibutuhkan adanya kerja sama dan keikutsertaan yang harmonis dan membangun dari
seluruh komunitas, tempat «panduan awal memasuki jerih payah dan kegembiraan
hidup berkomunitas»[22].
Di dalam kebersamaan dan persaudaraanlah kita belajar untuk menerima orang lain
sebagai anugrah Allah, menerima segala sifat positif bersama dengan
perbedaan-perbedaan dan kekurangan-kekurangan yang ada. Dalam persaudaraanlah
kita belajar berbagi berkat yang kita terima demi pertumbuhan semua orang.
Dalam persaudaraan jugalah kita belajar tentang dimensi misi kongregasi[23].
Sehubungan dengan formasi berkelanjutan, ada resiko sangat besar untuk banyak
bicara dan sedikit kerja nyata. Tidak cukuplah hanya dengan mengadakan
kursus-kursus yang memaparkan informasi teoris teologis dan membahas tema-tema
tentang spiritualitas, namun sangatlah mendesak kebutuhan untuk membangun suatu
budaya formasi yang terus menerus (formasi permanen). Budaya ini harus dibentuk
tidak hanya dari penjabaran konsep-konsep teori, melainkan juga dari kemampuan
untuk mengevaluasi dan merivisi penerapan konkritnya dalam komunitas. Selain
itu, janganlah kita mengaburkan makna dari formasi permanen ini menjadi suatu
kesempatan berefleksi melalui suatu bentuk rekreasi rohani dengan mengunjungi
tempat-tempat awal lahirnya tarekat. Ada juga kecenderungan menggabungkan peristiwa
formasi dengan peringatan-peringatan khusus (seperti perayaan-perayaan pesta
tarekat, peringatan atau ulang tahun kaul -25 atau 50 tahun-), seakan-akan
formasi bukanlah suatu tuntutan yang bersifat mendalam atas dinamika kesetiaan
pada berbagai tahap kehidupan[24].
Makin lama makin dirasakan pentingnya memasukkan dalam formasi
berkelanjutan suatu pengenalan serius tentang kepemimpinan dalam komgregasi. Tugas
ini makin dirasakan penting dalam hidup berkomunitas, sebab kita sering terlalu
mengandalkan improvisasi sehingga formasi berkelanjutan dilaksanakan dengan
cara yang tidak tepat dan tidak memuaskan.
Yang Berhubungan dengan Kemanusiawian
Hubungan timbal balik laki-laki-perempuan
17. Dalam bentuk-bentuk
kehidupan yang ada, struktur organisasi dan pemerintahan, dalam gaya bahasa dan
gambaran umum, kita adalah pewaris dari sebuah mentalitas yang menonjolkan
perbedaan yang mendasar antara laki-laki dengan perempuan, yang merugikan kesetaraan
martabat mereka. Berbagai macam prasangka sepihak yang terdapat dalam
masyarakat dan juga gereja, menghalangi kemampuan untuk mengenali
karunia-karunia dari sifat kewanitaan[25] dan sumbangan otentik
yang dapat diberikan oleh kaum perempuan. Kaum perempuan khususnya dalam hidup
bakti mengalami diskriminasi dan dianggap remeh, mereka disingkirkan dari
kehidupan, kerasulan dan misi dalam gereja[26]. Dengan adanya
pembaharuan post-konsili, telah muncul dan disebarluaskan peningkatan apresiasi
terhadap peran kaum perempuan. Abad ke-20 yang lalu telah ditetapkan sebagai “abad kaum
perempuan”, yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kewanitaan dalam
budaya modern, seperti diakui oleh Santo Paus Yohanes XXIII sebagai satu dari
«tanda-tanda jaman»[27] yang paling jelas.
Namun
sejak dulu hingga sekarang kepekaan baru ini masih mengalami penolakan dalam
komunitas gereja dan kadang juga di antara kaum perempuan religius sendiri.
Baru-baru ini, ajaran gereja yang membahas tema ini, khususnya dari Paus Paulus
VI, Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI, telah mendorong kaum perempuan untuk menyadari
martabatnya.
Saat ini
banyak kaum religius perempuan yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran positif
yang membantu proses pertumbuhan dari sebuah visi biblis dari kemanusiawian
dalam masyarakat yang ditandai stereotip maskulin dalam skema-skema mental dan
dalam organisasi sosial-politik-religius. Kaum religius perempuan mendekatkan
diri dengan aksi-aksi solidaritas pada penderitaan kaum perempuan yang
mengalami ketidakadilan dan yang disingkirkan dari berbagai konteks dunia. Sangat
berhargalah kontribusi mereka dalam usaha membaca kembali wahyu kitab suci
dengan pandangan perempuan untuk menemukan cakrawala dan cara baru dalam
menghidupi karisma feminitas[28] secara kreatif. Tujuan
dari karya yang melibatkan kecerdasan dengan diterangi oleh iman dan semangat
gerejani ini adalah meningkatkan relasi persaudaraan terutama diantara kaum
perempuan dalam gereja, untuk mencapai suatu model antropologis yang
berkelanjutan.
18. Meskipun kita telah
menempuh langkah-langkah yang perlu, kita tetap harus mengakui bahwa belum
tercapai suatu sintesis yang seimbang dan pemurnian skema serta model-model
yang telah diwariskan sejak dulu. Masih banyak halangan yang sulit dihilangkan
dalam struktur-struktur dan masih banyak juga ketidakpercayaan dalam gereja dan
dalam prosedur-prosedur hidup bakti dalam penyediaan «peluang bagi kaum
perempuan untuk berperan serta di berbagai bidang dan pada segala tingkatan,
termasuk proses-proses pengambilan keputusan, terutama dalam perkara-perkara
yang menyangkut kaum perempuan itu sendiri»[29].
Panggilan-panggilan muda sekarang ini memiliki kesadaran feminis yang menonjol secara
alami, yang sayangnya tidak selalu diakui dan diterima sebagai suatu kelebihan.
Kritik-kritik akibat ketidaksetujuan muncul tidak hanya dari kaum religius
perempuan yang lain, namun juga dari kaum laki-laki dalam gereja yang tetap
bertahan pada pola pikir machismo (kelaki-lakian) dan kleris. Kita masih sangat
jauh dari tercapainya amanat pembebasan yang Kristus ajarkan, bahwa gereja
seharusnya «mewartakan amanat itu secara kenabian, dengan memajukan cara-cara
berpikir dan bertindak yang sesuai dengan maksud Tuhan»[30]. Seperti telah
ditegaskan oleh Santo Paus Yohanes Paulus II dan yang sering diulangi oleh Paus
Fransiskus: «para wanita hidup bakti tepatlah memperjuangkan pengakuan yang
lebih jelas terhadap jatidiri, kecakapan, misi dan tanggung jawab mereka, baik
dalam kesadaran Gereja maupun dalam hidup sehari-hari»[31].
Dalam lingkup hidup
bakti kurang adanya suatu kedewasaan yang sungguh dalam hubungan timbal balik
antara kaum laki-laki dengan perempuan: saat ini sudah sangatlah mendesak
kebutuhan akan suatu pedagogi yang tepat bagi kaum muda untuk dapat mencapai keseimbangan
antara jatidiri dan alteritas (=relasi intersubyektif antara aku dengan orang
lain); juga membantu kaum yang berusia lebih tua dalam memahami sisi positif
dari hubungan timbal balik yang sopan dan damai. Dapatlah kita berbicara
tentang ketidakselarasan kognitif antara kaum religius yang berusia tua dengan
yang muda. Bagi beberapa orang, hubungan feminin-maskulin itu sangatlah tabu
bahkan sampai ditakuti, sebaliknya bagi yang lain hubungan itu ditandai dengan
keterbukaan, spontanitas dan alamiah.
Aspek lain yang
perlu dipertimbangkan adalah kelemahan ad intra dari lembaga-lembaga dalam
proses integrasi antropologi-budaya dan dalam proses hubungan timbal balik yang
saling melengkapi antara elemen-elemen dan antara kepekaan feminin dengan maskulin.
Santo Paus Yohanes Paulus II telah menyatakan sah keinginan para kaum religius
perempuan untuk memiliki «peluang untuk berperan serta di berbagai bidang dan
pada segala tingkatan»[32], namun
kenyataannya, secara praktis posisi kita masih sangat jauh dari tujuan. Bahkan
ada resiko kemunduran yang parah dalam Gereja, seperti yang dikatakan Paus
Fransiskus: «Janganlah kita mengecilkan komitmen kaum perempuan dalam Gereja;
sebaliknya, kita harus berusaha memajukan peran aktif mereka dalam komunitas
gerejani. Apabila Gereja kehilangan kaum perempuan dengan segala dimensinya
yang utuh dan nyata, Gereja beresiko menjadi mandul»[33].
Pelayanan Kepemimpinan
19. Dalam hidup bakti,
pelayanan kepemimpinan juga tidak terlepas dari crisis dalam pelaksanaannya. Kesan
pertama dari beberapa situasi menunjukkan adanya praktek pelaksanaan
pemerintahan sentralisasi yang ‘top-down’, baik di tingkat lokal ataupun di
tingkat yang lebih tinggi, yang menggantikan kebutuhan subsidiaritas. Bahkan di
beberapa kasus terdapat pemimpin-pemimpin yang sangat keras karakter
kepemimpinannya, hingga mengabaikan peran Dewan Penasihat, sangat percaya pada
kemampuannya untuk bertindak dan merespon (secara mandiri). Dari situ terlihat
miskinnya kolegialitas dalam praktek-praktek kepemimpinan, atau dalam kasus ini
tidak adanya delegasi-delegasi yang tepat. Pemerintahan tidak dapat ditumpukan
hanya pada satu orang saja, hal ini menghindari larangan-larangan dalam Hukum
Kanonik[34]. Di beberapa lembaga
masih banyak pemimpin yang tidak memperhitungkan keputusan-keputusan kapitel
seperti yang seharusnya.
Di banyak kasus terdapat kebingungan antara tingkat umum,
provinsi dan lokal karena tidak ada jaminan kemandirian dalam subsidiaritas di
tiap tingkatan. Cara ini tentu tidak membantu munculnya rasa tanggung jawab
yang memberi peluang kemandirian yang tepat. Terlihat juga gejala dari para
pemimpin yang hanya mengkhawatirkan agar keadaan tetap seperti sebagaimana
keadaan sebelumnya (status quo), mempertahankan «dari dulu selalu begitu». Ajakan Paus Fransiskus «untuk berani dan kreatif
[…] dengan memikirkan kembali tujuan, struktur, gaya dan metode»[35] berlaku juga untuk
badan-badan dan praktek-praktek pemerintahan.
20. Di hadapan permasalahan-permasalahan yang serius
tersebut, tidaklah bijaksana bila pemimpin memilih untuk mewajibkan bawahan
melakukan sesuatu seperti yang ia perintahkan karena jabatannya sebagai
pemimpin, dengan menanggalkan usaha-usaha seperti meyakinkan dan mempersuasi
dengan informasi yang benar dan jujur, dan dengan penjelasan atas
keberatan-keberatan yang muncul. Tidak dapat pula diterima suatu bentuk praktek
pemerintahan yang berdasarkan pada alasan koalisi, lebih buruk lagi bila
didukung dengan prasangka-prasangka yang menghancurkan karisma umum dari
lembaga dan berpengaruh negatif pada rasa ikut memiliki. Santo Yohanes Paulus
II pernah mengingatkan suatu kebijaksanaan kuno dari tradisi monastik –«Tuhan sering memberi ilham yang lebih baik kepada
yang paling muda» (Regula Benedicti, III, 3)– untuk latihan
konkrit yang tepat dari semangat kebersamaan yang memajukan dan memastikan
partisipasi efektif bagi semua[36].
Tidak ada pemimpin, bahkan seorang pendiri
sekalipun, dapat menjadi satu-satunya penafsir karisma atau menganggap diri
tidak harus tunduk pada aturan-aturan dari hukum umum Gereja. Tingkah laku
seperti itu dapat menyebabkan munculnya kecurigaan, ketidakpercayaan terhadap
unsur-unsur lain dalam Gereja[37],
dalam keluarga religius atau dalam komunitas yang bersangkutan.
Di tahun-tahun ini –khususnya dalam
lembaga-lembaga yang baru berdiri– ada kejadian-kejadian dan situasi yang
menunjukkan suatu manipulasi kebebasan dan martabat manusia. Tidak hanya
menurunkannya sampai pada tingkat ketergantungan total yang menyiksa hak dasar
dan martabat manusia, namun juga berusaha membujuk dengan tipuan dan dalih
kesetiaan pada karya Allah melalui karisma, agar tunduk sampai pada tingkatan
moral terendah dan bahkan sampai keintiman seksual. Dan ketika kejadian ini
terungkap tentu saja menimbulkan skandal yang besar.
21. Perasaan memiliki kewajiban untuk meminta ijin
terus menerus pada setiap kegiatan sehari-hari sebenarnya dapat dihindari dalam
pelayanan kepemimpinan. Seorang pemimpin tidak seharusnya mendukung tindakan
kekanak-kanakan yang dapat berlanjut kemudian menjadi tingkah tanpa rasa
tanggung jawab. Hal ini sama sekali tidak membantu orang mencapai kedewasaan
pribadi.
Sayangnya,
situasi-situasi seperti ini sering terjadi lebih dari pada yang kita pikirkan,
terutama dalam lembaga-lembaga feminin. Ini adalah satu dari banyak alasan lain
yang tampaknya menyebabkan kaum religius meninggalkan jalan panggilannya, yang
bagi beberapa dari mereka merupakan satu-satunya jawaban untuk dapat keluar
dari situasi yang tidak tertahankan lagi.
Menyangkut
permohonan berhenti seperti ini, haruslah dipertanyakan dengan serius bagaimana
tanggung jawab dari seluruh komunitas dan secara khusus bagaimana tanggung
jawab dari para pemimpin. Haruslah dikatakan dengan jelas bahwa kepemimpinan
yang bersifat otoriter merusak kehidupan dan kesetiaan para kaum religius!
Hukum kanonik menegaskan: «hidup
persaudaraan yang menjadi ciri masing-masing lembaga […] ditentukan sedemikian
rupa sehingga semua saling membantu untuk dapat memenuhi panggilan
masing-masing»[38].
Oleh karena itu, mereka yang melayani tanpa kesabaran
dalam mendengarkan dan penerimaan dengan pengertian, berada dalam kondisi
kepemimpinan yang miskin secara moral dihadapan saudara dan saudarinya. Sebab
«kepemimpinan dari para pemimpin religius harus berciri semangat pelayanan, menurut
teladan Kristus yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani»[39]. Haruslah
kita meneladani sikap yang dicontohkan oleh Yesus Hamba, yang membasuh kaki
para murid agar mendapat bagian dalam hidup dan cintaNya[40].
Model-model Relasional
22. Mengomentari
kantung-kantung kulit baru yang dibicarakan Yesus dalam injil, dikatakan bahwa
penggantian kantung kulit tidak terjadi secara otomatis namun menuntut
komitmen, kemampuan dan kesediaan akan perubahan. Agar hal itu dapat terjadi,
dituntut suatu kesediaan yang besar untuk menolak segala bentuk keistimewaan
atau privilese. Haruslah diingat, tidak seorangpun, tidak pula para pemimpin,
dapat dikecualikan dari penolakan terhadap skema-skema yang lama dan yang
merugikan. Tidak ada perubahan dapat terjadi tanpa meninggalkan
peraturan-peraturan yang sudah usang[41] agar terbukalah cakrawala
dan kesempatan-kesempatan baru dalam pemerintahan, dalam hidup bersama, dalam
pengaturan segala kepemilikan dan dalam misi. Tidaklah mungkin kita dapat
bertahan dengan sikap yang lebih mengutamakan pemeliharaan, sebaliknya
dibutuhkan suatu pembaharuan yang otentik baik dalam gaya maupun dalam
sikap-sikap.
Indikasi dari adanya kebuntuan
adalah sentralisasi yang tetap dan terus menerus sama dari para pengambil
keputusan dan kurangnya pergantian sumber daya dalam pemerintahan baik di
komunitas-komunitas maupun lembaga-lembaga.
Dengan kesungguhan injili,
kita harus mengakui bahwa dalam beberapa kongregasi feminim terdapat
kepemilikan jabatan seumur hidup. Orang-orang yang sama tetap tinggal dalam
pemerintahan, dengan sekadar mengganti posisi atau jabatan dengan jangka waktu
yang luar biasa lama. Ada baiknya melengkapi peraturan-peraturan secara
spesifik untuk mengurangi efek dari durasi jangka menengah dan jangka panjang
dari praktek pemilihan kembali seseorang untuk mengambil tanggung jawab sebagai
anggota pemerintahan yang berikutnya. Dengan kata lain, peraturan-peraturan
yang mencegah kepemilikan jabatan lebih lama dari jangka waktu yang diatur oleh
kanon, dengan mencegah dibuatnya formula-formula yang membingungkan dan ambigu.
23. Poin lain yang tidak boleh
kita tutup-tutupi adalah dalam dasawarsa ini telah meningkat kecenderungan
klerikalisasi dalam hidup bakti, yang salah satu gejalanya adalah jumlah
lembaga-lembaga religius awam yang menurun dengan drastis[42]. Gejala lainnya adalah
para kaum imam religius hampir mendedikasikan pelayanannya secara eksklusif
pada keuskupan dan kurang pada kehidupan berkomunitas, sehingga hidup
persaudaraannya menjadi lemah.
Refleksi teologis dan
eklesiologis tentang figur dan fungsi dari kaum imam religius tetap terbuka,
terutama ketika mereka menerima untuk melakukan pelayanan pastoral.
Ada pula gejala yang seharusnya
ditolak, yaitu ketika uskup menerima kaum imam religius dalam keuskupannya tanpa
adanya penegasan dan pemeriksaan-pemeriksaan yang diperlukan. Sebaliknya, kita
juga harus menjaga jangan sampai terlalu mudah lembaga-lembaga religius
menerima seminaris diosesan yang dikeluarkan dari seminari keuskupan atau dari
lembaga lain tanpa melakukan pemeriksaan sebaik-baiknya[43]. Sangatlah penting
memperhatikan ketiga poin yang telah disebutkan di atas dengan tujuan mencegah
terciptanya masalah-masalah yang lebih besar bagi pribadi-pribadi dan
komunitas-komunitas.
24. Ketaatan dan pelayanan
kepemimpinan terus menjadi topik yang sangat sensitif. Hal ini juga disebabkan adanya
perubahan mendasar dan tiba-tiba dari latar belakang budaya dan mentalitas saat
ini, yang menyebabkan kebingungan bagi banyak pihak. Dalam konteks kehidupan
kita sekarang ini, tidak lagi memungkinkan penggunaan gaya bahasa pembesar dan
bawahan. Konteks piramida dan otoriter yang dulu berfungsi sekarang ini tidak
diinginkan lagi, karena tidak sesuai dengan semangat kebersamaan dalam
mencintai dan merasa diri sebagai bagian
Gereja. Kita harus selalu ingat bahwa ketaatan yang sesungguhnya bersumber dari
ketaatan kita kepada Allah, hal ini berlaku baik bagi para pemimpin maupun bagi
mereka yang menerima ketaatan. Demikian pula mustahil untuk mengabaikan teladan
ketaatan Yesus dengan teriakan cintaNya di kayu salib “AllahKu, ya AllahKu,
mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:36) dan juga keheningan cinta Bapa.
Paus Fransiskus mengajukan
suatu undangan yang mendesak «kepada segala komunitas di seluruh dunia [untuk] meminta
secara khusus kesaksian persaudaraan yang memancar dan berdaya pikat. Biarkan
setiap orang mengagumi bagaimana Anda saling mendukung dan mendampingi satu
sama lain»[44].
Jadi, ketaatan yang
sesungguhnya bukan mengesampingkan, namun justru menuntut pelibatan keyakinan
pribadi yang telah diperiksa dan dinilai dengan matang, meski keyakinan
tersebut tidak sejalan dengan apa yang pemimpin minta. Dan bila kaum religius
menjalankan ketaatan dengan rela demi kebersamaan meski ia memiliki pendapat
lain yang lebih baik, dia menjalankan suatu ketaatan penuh kasih[45].
Ada suatu kesan
yang tersebar luas, bahwa dalam relasi pembesar-bawahan tidak terdapat cukup
dasar injili tentang persaudaraan. Lembaga lebih dipentingkan dari pada
pribadi-pribadi yang ada di dalamnya. Menurut pengalaman yang dimiliki
Kongregasi ini, bukanlah kebetulan bila yang satu dari penyebab-penyebab utama
keluarnya kaum religius dari hidup bakti yang paling menonjol adalah: visi iman
yang menjadi miskin, konflik-konflik dalam hidup persaudaraan dan hidup persaudaraan
yang kekurangan nilai-nilai kemanusiaan.
Kanon (kan.
618-619; bdk. PC 15) menggambarkan dengan baik bagaimana seharusnya para
pemimpin membimbing komunitasnya, dengan memperjelas apa yang ditegaskan dalam Perfectae
caritatis: «Para pemimpin hendaknya menjalankan kuasa yang diterima dari Tuhan
lewat pelayanan […] memimpin bawahan-bawahannya itu selaku putera-putera Allah,
serta mengusahakan ketaatan sukarela mereka dengan menghargai pribadi manusiawi
mereka […] berusaha membentuk komunitas persaudaraan dalam Kristus, di mana
Tuhan dicari dan dicintai melebihi segala sesuatu»[46].
25. Hubungan antara
Pemimpin-Pendiri dalam lembaga-lembaga yang baru didirikan layak mendapat bimbingan
dan sorotan khusus. Kita bersyukur pada Roh Kudus atas banyak karisma yang
menghidupkan gereja, namun tidak boleh kita menutup-nutupi adanya hubungan yang
ambigu akibat konsep ketaatan yang sempit, yang bila dibiarkan nantinya dapat membahayakan
lembaga itu sendiri. Dalam beberapa kasus hal ini tidak mampu mendorong terciptanya
inisiatif untuk bekerja sama «dengan ketaatan aktif dan penuh tanggung jawab»[47], sebaliknya
mengakibatkan munculnya kepatuhan yang kekanak-kanakan dan ketergantungan dalam
segala hal. Dengan demikian martabat manusia direndahkan bahkan tidak lagi
dihormati.
Dalam kejadian yang
terbilang baru ini, kadang masih sulit untuk membedakan antara ‘area intern’
dan ‘area ekstern’ sehingga sulit pula untuk dapat menghargainya secara tepat[48]. Adanya jaminan
dalam kemampuan untuk membedakan kedua hal tersebut dapat menghindari campur
tangan yang tidak seharusnya yang mengakibatkan ketidakbebasan interior,
keterikatan psikologis bahkan sampai pada dominasi hati nurani. Dalam kasus
ini, seperti juga kasus-kasus yang lain, diusahakan agar tidak mengarahkan
anggota untuk memiliki sifat ketergantungan yang berlebihan, yang cenderung
memiliki bentuk plagiat (menjiplak) dan yang berada dalam batas kekerasan
psikis. Dalam lingkup persoalan ini, perlu dibuat pemisahan yang jelas antara
figur Pemimpin dan Pendiri.
26. Hidup komunitas yang disamaratakan, yang tidak
memberi ruang pada otentisitas, tanggung jawab pribadi dan relasi persaudaraan
yang hangat, memiliki konsekuensi kebersamaan yang kaku dan terbatas dalam
kehidupan nyata sehari-hari. Bentuk relasi yang miskin ini terlihat jelas dalam
cara komunitas menghidupi persekutuan injili dalam hal kepemilikan harta
bersama yang mengubah bentuk relasi persaudaraan. Paus Fransiskus
memperingatkan kita: «Krisis
finansial dewasa ini bisa membuat kita mengabaikan fakta bahwa hal itu berakar
pada krisis manusia yang mendalam: penyangkalan atas keluhuran pribadi manusia!»[49].
Sepanjang sejarah, hidup
bakti telah terbukti mampu secara profetis melawan ancaman dari kekuatan
ekonomi yang beresiko merendahkan martabat manusia, terlebih para kaum miskin.
Dalam situasi global dari krisis finansial seperti yang sering disinggung oleh
Paus Fransiskus, kaum religius dipanggil untuk menjadi aktor-aktor yang setia
dan kreatif untuk hidup sesuai dengan tuntutan kenabian dalam hidup bersama di
komunitas maupun solidaritas dengan dunia luar, terlebih kepada kaum miskin dan
lemah.
Ekonomi kita telah
berpindah dari ekonomi domestik menjadi proses administrasi dan manajemen yang
di luar kendali yang menampakkan kerapuhan dan lebih-lebih ketidaksiapan kita.
Kita harus segera memfokuskan diri kembali pada transparansi dalam materi
ekonomi dan finansial sebagai langkah pertama untuk memulihkan makna injili
yang mula-mula dalam kepemilikan harta bersama di komunitas dan komunikasi
terbuka dengan saudara-saudara yang hidup bersama kita.
27.
Dalam
komunitas, pembagian harta benda hendaknya dilakukan sesuai keadilan dan rasa
tanggung jawab. Dibeberapa kasus, ditemukan rezim yang mengkhianati dasar-dasar
penting dari hidup persaudaraan, sedangkan «pemimpin dipanggil untuk meningkatkan martabat manusia»[50]. Tidaklah
mungkin kita dapat menerima gaya manajemen di mana otonomi ekonomi beberapa
orang disesuaikan dengan orang lain. Hal ini merusak rasa memiliki yang timbal
balik dan jaminan kesetaraan meski melihat keberagaman peran dan pelayanan.
Pengaturan gaya hidup individu dari kaum religius tidak terlepas dari
penilaian yang serius dan bijaksana terhadap kemiskinan lembaga, sebagai
penilaian, tindakan dan kesaksian yang signifikan dalam Gereja dan di antara
umat Allah.
28.
Dengan
pertimbangan: manusia lebih penting dari benda dan budi pekerti lebih penting
dari hal-hal yang bersifat ekonomis, kaum religius harus menjadikan kriteria
solidaritas dan kepemilikan bersama sebagai jiwa dari tindakan mereka dan
menghindari menejemen sumber daya yang eksklusif di tangan beberapa oknum.
Menejemen dari sebuah lembaga
bukanlah seperti sebuah sirkuit yang tertutup, sebab dengan demikian tidak
mencerminkan sosok gerejani. Harta benda dari lembaga-lembaga adalah harta
benda dari Gereja serta ikut ambil bagian dalam mencapai tujuan yang sama
secara injili yaitu peningkatan martabat manusia, pengembangan misi, karya amal
dan solidaritas dengan umat Allah: terutama kedekatan dan perhatian terhadap
kaum miskin, sebagai komitmen bersama. Hal ini dapat memberikan vitalitas baru
pada lembaga.
Bentuk solidaritas yang dihidupi
dalam tiap institut dan dalam tiap bentuk kehidupan persaudaraan harus kita
perlebar ke lembaga-lembaga yang lain. Dalam Surat Apostolik kepada seluruh kaum religius, Paus Fransiskus
mengundang kepada «kebersamaan
diantara para anggota dari berbagai lembaga»[51]. Mengapa
kita tidak berpikir juga tentang persatuan efektif di bidang ekonomi, khususnya
dengan lembaga-lembaga yang sedang mengalami situasi sulit dengan berbagi
sumber daya yang kita miliki?[52].
Ini akan menjadi kesaksian yang indah dari kesatuan dalam hidup bakti, suatu
tanda kenabian dalam masyarakat kita yang ada dalam situasi «yang didominasi
oleh bentuk-bentuk tirani baru, kadang berbentuk virtual, yang secara sepihak
dan semena-mena memaksakan hukum-hukum dan aturan-aturannya sendiri»[53],
sebuah tirani kekuasaan dan kepemilikan yang «tidak mengenal batas»[54].
III. MEMPERSIAPKAN KANTUNG KULIT YANG BARU
29. Yesus berkali-kali mengingatkan murid-muridNya untuk
waspada terhadap kecenderungan berbalik dari kebaruan pewartaan Injil kepada
kebiasaan-kebiasaan yang lama akibat dari sikap kerja yang sekedar
melakukan pengulangan-pengulangan. Seperti perumpamaan anggur baru yang harus
disimpan dalam kantung-kantung kulit baru, kita dipanggil untuk membiarkan
diri dibimbing oleh logika Sabda Bahagia. Khotbah di bukit adalah magna
charta dari perjalanan masing-masing murid Yesus: «Kamu telah mendengar
yang difirmankan… tetapi Aku berkata kepadamu» (bdk. Mat. 5:21,27,33,38,43).
Apabila ini adalah petunjuk bagi kita untuk bergerak, maka Tuhanpun
mengingatkan kita untuk waspada terhadap segala bahaya kebocoran legalistik:
Berjaga-jagalah terhadap… (Mrk. 8:15, Mat. 16:11, Luk. 12:15).
Kata-kata dan tindakan Yesus ini
mendesak kita menuju pada proses yang tidak memiliki akhir dari keterbukaan
terhadap kebaruan Kerajaan Allah. Langkah pertama dari keterbukaan ini adalah pertimbangan
dan penolakan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai inti dari
kesetiaan kepada Allah yang terwujud dalam kesediaan untuk melayani: namun
tidaklah demikian di antara kamu (bdk. Mrk. 10:43).
Hidup Yesus Kristus merupakan kisah
dari sebuah praktek baru, dimana hidup baru para murid berakar. Mereka
dipanggil untuk menjadi sensitif terhadap logika-logika dan prioritas-prioritas
baru seperti yang dinasihatkan Injil.
Kesetiaan dalam Roh
30. Analisis dari
tantangan-tantangan yang masih terbuka seperti yang dibahas dalam bagian
pertama dokumen ini harus menghantar kita menuju ambang pintu injili, untuk
mampu mengenali titik-titik permasalahan sehingga kita dapat membuka jalan baru
yang penuh pengharapan bagi semua. Sebagai perbandingan, dapat kita aplikasikan
apa yang disarankan Paus Fransiskus: «Pelayanan pastoral dari sudut pandang perutusan menuntut
tindakan meninggalkan sikap puas diri dengan mengatakan, “kami selalu
melakukannya dengan cara ini.” Saya mengajak setiap orang untuk berani dan kreatif
dalam tugas ini dengan memikirkan kembali tujuan, struktur, gaya dan metode
evangelisasi dalam komunitas mereka masing-masing»[55]. Yang dimaksudkan adalah menemukan cara-cara baru untuk
memberi kesaksian karismatis dan injili yang otentik dari hidup bakti,
mempertimbangkan dan kemudian melaksanakan proses-proses yang dibutuhkan untuk
membersihkan dan menyembuhkan diri dari ragi keburukan dan kejahatan
(bdk. 1 Kor. 5:8). Dalam proses yang mendebarkan dan menantang ini, ketegangan dan
penderitaan yang tidak terelakkan bisa jadi merupakan sebuah tanda-tanda dari
perkembangan. Pada kenyataannya kita telah berada di ambang pintu sintesis-sintesis
baru yang lahir dari keluhan-keluhan dalam diri yang tak terucapkan
(bdk. Rom. 8:23, 26) dan latihan penuh kesabaran dalam kesetiaan yang kreatif[56].
31. Undangan Paus
Fransiskus untuk menghidupi Injil dalam keseharian dengan kegembiraan dan tanpa
kemunafikan ini merangsang kita untuk melakukan penyederhanaan sehingga kita
dapat menemukan iman dari orang-orang sederhana dan keberanian dari para orang
kudus. Keaslian penginjilan (Mrk. 10:43) dimana hidup bakti ingin menjadi
kenabian yang menjelma, terjadi melalui tingkah laku dan pilihan-pilihan yang
konkrit: terdahulu dalam pelayanan (Mrk. 10:43-45) dan perhatian yang
berkesinambungan kepada kaum miskin dan solidaritas kepada kaum kecil dan lemah
(luk. 9:48); peningkatan martabat manusia dalam berbagai situasi hidup dan
penderitaan (Mat. 25:40); subsidiaritas sebagai suatu cara untuk mencapai
kepercayaan timbal balik dan kerja sama yang bebas dan tulus dari dan dengan
semua orang.
32. Untuk dapat menanggapi
panggilan dari Roh Kudus dan dari tuntutan jaman, pentinglah kita ingat bahwa «hidup bakti itu berada pada inti Gereja sendiri
sebagai unsur yang banyak menentukan misinya, karena “menampilkan sifat
batiniah panggilan Kristiani”, serta “daya-upaya segenap Gereja sebagai
mempelai menuju persatuan dengan sang Mempelai satu-satunya”»[57]. Tanda-tanda alami yang dimiliki hidup bakti dalam
perjalanan sejarah umat Allah menempatkannya secara istimewa sebagai profil
nubuat injili. Profil nubuat injili ini merupakan tanda dan buah dari karisma
alaminya yang membuat hidup bakti mampu menciptakan sesuatu yang baru dan
orisinil. Untuk dapat mencapai hal itu, hidup bakti harus waspada selalu dan
siap sedia terhadap tanda-tanda yang diberikan Roh Kudus, sampai mendengarkan
bunyi angin (1 Raj. 19:12). Hanya dengan sikap ini kita mampu mengenali
jejak-jejak misteri (bdk. Yoh. 3:8) dari berkat Allah, hingga lahirlah kembali
harapan akan kesuburan Sabda (bdk. Yoh. 4:35).
33. Jati diri dan semua
yang tercakup di dalamnya, bukanlah sekedar sebuah informasi yang bersifat
tetap dan teoris, melainkan merupakan sebuah proses perkembangan bersama. Kesenjangan
antargenerasi, interkulturalisme, keberagaman budaya dan hubungan yang ada di
dalamnya, bagi institut-institut hidup bakti dapat menjadi tantangan dalam
melakukan dialog komunitas yang akrab dan menurut cinta kasih Kristus. Sebab
hanya dengan cara itulah semua anggota dapat merasa terlibat dan bertanggung
jawab dalam proyek komunitas «sehingga semua saling membantu untuk dapat memenuhi panggilan
masing-masing»[58].
Untuk dapat menjawab tantangan tersebut dibutuhkan sebuah modifikasi
dalam struktur sedemikian rupa sehingga dapat menjadi bagi semua orang,
dukungan terhadap pembaharuan kepercayaan yang menumbuhkan kesetiaan yang
dinamis dan dalam persaudaraan.
Bentuk-bentuk Formasi dan Formasi bagi para Formator
34. Dalam tahun-tahun ini telah terjadi
transformasi besar dan mendalam dalam lingkup formasi yang menyangkut
metode-metode, bahasa, dinamika, nilai-nilai, tujuan dan tahap-tahap. Sangatlah
tepat apa yang telah disinggung ulang oleh Paus Fransiskus: «Kita harus terus memikirkan ‘umat
Allah’ […] Kita tidak seharusnya membentuk administrator ataupun manajer,
melainkan bapa, saudara, kawan seperjalanan»[59], dan menambahkan pula: «formasi
adalah sebuah karya seni, bukan karya kepolisian»[60].
Hampir semua lembaga hidup bakti telah
menanggapi tuntutan-tuntutan formasi yang baru dengan melakukan penyesuaian Ratio
formationis-nya, yang pada kenyataannya, masih terdapat kesenjangan dalam hal
gaya bahasa, kualitas dan ilmu mistagogi. Meskipun merupakan dokumen yang baru
dibuat, ‘kumpulan resep-resep’ ini membutuhkan revisi sebab sering merupakan
salinan dari kumpulan ‘resep-resep’ yang lain. Sebab masalah formasi awal dan
formasi berkelanjutan merupakan aspek mendasar yang menjamin masa depan hidup
bakti.
35. Formasi
berkelanjutan secara khusus membutuhkan perhatian secara spesifik, seperti yang
telah digarisbawahi Bapa Suci dalam dialog dengan para Pemimpin umum:
a. Formasi
berkelanjutan harus mengarah pada identitas gerejani dari hidup bakti dan bukan
sekedar mengikuti perkembangan teologi-teologi baru, peraturan-peraturan gereja
ataupun studi-studi baru tentang sejarah dan karisma tarekat. Hidup bakti harus
memperteguh atau bahkan mencari dan terus mencari posisinya dalam gereja demi
pelayanan kepada semua manusia. Sering kali usaha ini terjadi bersamaan dengan ‘pertobatan
kedua’ yang muncul pada saat-saat penting dalam hidup, seperti pada usia
setengah baya, pada situasi krisis seperti mundurnya seseorang dari
aktivitas akibat penyakit atau usia lanjut[61].
b. Kita
semua yakin bahwa proses formasi harus berjalan seumur hidup. Namun kita juga
harus mengakui bahwa budaya formasi berkelanjutan ini belumlah terbentuk. Hal
ini merupakan akibat dari mentalitas yang parsial dan sempit terhadap formasi
berkelanjutan, sehingga kita kurang peka dan kurang mau terlibat di dalamnya.
Dalam hal praktek pedagogis kita belum menemukan, baik dalam tingkat individu
maupun komunitas, suatu program yang konkrit yang dapat menjadi arah
pertumbuhan dalam kesetiaan kreatif dengan gema yang baik dan bertahan lama
dalam kehidupan nyata.
c. Secara
khusus, masih sangatlah sulit kita pahami bahwa proses formasi menjadi
berkelanjutan hanya jika terjadi dan dilaksanakan dalam kehidupan dan realitas kita
sehari-hari. Masih ada interpretasi sosiologis yang lemah bahwa formasi
berkelanjutan merupakan sebuah tuntutan aktualisasi atau situasional dari
pembaharuan rohani dan bukannya sebuah sikap yang berkesinambungan dalam
mendengarkan dan berbagi panggilan, masalah-masalah dan pandangan akan masa
depan. Masing-masing dari kita dipanggil untuk membiarkan diri disentuh,
dididik, diprovokasi, diterangi oleh hidup dan sejarah, oleh apa yang kita
wartakan dan rayakan, oleh keberadaan kaum miskin dan tersisih, oleh keberadaan
mereka yang dekat maupun yang jauh.
d.Demikian
juga kita harus memperjelas peran dari formasi awal. Kita tidak dapat lagi
merasa puas dengan sekedar membentuk orang-orang yang penurut seturut
kebiasaan-kebiasaan dan tradisi yang baik dari kelompok, melainkan formasi
harus dapat membuat orang-orang muda menjadi ‘docibilis’. Itu artinya membentuk
hati yang bebas untuk belajar dari peristiwa setiap hari dan sepanjang hidup
seturut cara hidup Kristus, demi melayani semua orang.
e. Mengacu
kepada tema ini, secara khusus dibutuhkan adanya refleksi tentang dimensi struktural
dan institusional dari formasi permanen. Seperti setelah konsili Trente,
lahirlah seminaris-seminaris dan novis-novis untuk formasi awal, sekarang
kitapun dipanggil untuk mewujudkan bentuk-bentuk yang tepat dan
struktur-sturktur yang dapat mendukung perjalanan tiap kaum religius menuju
suatu penyesuaian yang progresif kepada perasaan-perasaan Putera (bdk. Flp
2:5). Hal ini akan merupakan suatu tanda kelembagaan yang sangat jelas.
36. Para pemimpin diharapkan untuk selalu dekat kepada kaum religius
dalam segala permasalahan yang mereka hadapi dalam perjalanan, baik secara
indivudu maupun komunitas. Tugas khusus para pemimpin adalah menemani mereka
yang sedang menjalani proses formasi dalam berbagai bentuk dan situasi, dengan
dialog yang tulus dan membangun. Masalah-masalah yang muncul mendesak
terwujudnya suatu hidup persaudaraan yang di dalamnya terdapat elemen-elemen
kemanusiaan dan injili yang seimbang, sehingga masing-masing individu merasa
ikut bertanggung jawab dan sekaligus diakui sebagai elemen yang sangat penting
dalam membangun persaudaraan. Pada kenyataannya, hidup persaudaraan adalah
tempat yang sangat penting untuk formasi berkelanjutan.
37. Dalam formasi untuk para formator, pentinglah mempersiapkan
ahli-ahli dalam bidang-bidang multikultural. «Struktur-struktur yang baik dapat
membantu, namun itu saja tidaklah cukup»[62]. Formasi bagi para calon religius dengan struktur
antarprovinsi atau internasional menuntut terlibatnya formator-formator yang
memiliki keyakinan bahwa «kristianitas tidak hanya memiliki satu ungkapan
budaya, melainkan lebih tepatnya, “sementara tetap setia pada dirinya, dalam
sikap percaya yang kokoh pada pewartaan Injil serta tradisi Gereja,
Kristianitas juga memantulkan pelbagai wajah kebudayaan-kebudayaan dan bangsa-bangsa,
di tengah mana dirinya diterima dan mengakar”»[63]. Hal ini memerlukan adanya kemampuan dan juga kerendahan
hati untuk tidak memaksakan suatu bentuk budaya tertentu saja, melainkan
menumbuh kembangkan semua budaya dengan benih Injil dan tradisi karismatis
tarekat, serta dengan wapada menghindari «pengeramatan yang tidak perlu atas
budaya kita sendiri»[64].
Sinergi dari pengetahuan-pengetahuan
dan kemampuan yang baru dapat membantu proses bimbingan formasi khususnya dalam
bidang multikultural, dengan tujuan mengatasi bentuk-bentuk asimilasi atau
homogenisasi yang dapat saja muncul kembali di masa depan –dalam proses formasi
maupun setelahnya– sehingga melahirkan masalah dalam rasa keanggotaan dari
tarekat dan ketetapan hati dalam panggilan mengikuti jejak Kristus.
Menuju Sebuah Keterkaitan yang Injili
Hubungan timbal balik dan proses multikultural
38. Merenungkan hidup bakti
feminim berarti memeriksa secara nyata keadaan tarekat-tarekat dan kaum
religius perempuan sebagai individu dan juga sebagai komunitas, dengan
memperhatikan juga keadaan saat ini yang rumit. Kita harus mengakui bahwa di
tahun-tahun ini, secara khusus setelah dipublikasikannya Mulieris dignitatem
(1988), Ajaran Gereja telah meminta dan mengiringi dengan cara pandang yang
penuh rasa hormat terhadap proses-proses budaya dan gerejani yang menyangkut
tema jati diri kaum perempuan, dan yang mempengaruhi secara jelas (atau kadang
juga tidak terlihat) kehidupan bersama dalam tarekat-tarekat.
Secara khusus, keberagaman budaya menuntut suatu ‘langkah
ganda’, di satu sisi kita harus dapat berpegang teguh pada suatu budaya yang
merupakan dasar jati diri dan di lain pihak kita harus dapat melampaui
batas-batas tersebut dengan semakin melebarkan sayap injili. Karena kaulnya,
kaum religius memilih untuk hidup dalam sebuah mediasi antara keterikatannya
dengan suatu budaya spesifik dan harapannya akan hidup bakti yang sedapat
mungkin memperlebar cara pandang dan mempertajam kepekaannya. Menjelajahi peran
mediasi ini sangatlah penting, namun tanpa mengistimewakan satu bentuk budaya
tertentu.
Dari sudut pandang ini kita dapat melihat perlunya
memikirkan kembali teologi hidup bakti dan elemen-elemen yang membentuknya,
menerima tuntutan-tuntutan yang muncul dari ranah kaum perempuan dan
menggabungkannya dengan ranah kaum laki-laki. Namun perbedaan-perbedaan yang
spesifik tidak seharusnya menyingkirkan keberadaanya dari nilai-nilai
kemanusiaan yang umum. Penggunaan pendekatan-pendekatan dalam berbagai bidang
studi, tidak hanya teologi namun juga ilmu-ilmu tentang manusia dari berbagai
sudut pandang, akan sangat membantu.
39. Proses internasionalisasi
yang terjadi sangat aktual dan cepat, khususnya dalam tarekat-tarekat feminim,
membutuhkan perhatian yang segera dan spesifik, sebab tidak jarang dalam proses
tersebut digunakan pemecahan masalah yang bersifat sementara dan juga terjadi
perubahan-perubahan yang tidak bijaksana. Kita harus mengakui bahwa perluasan
geografis yang terjadi tidak berjalan seimbang dengan revisi gaya hidup dan
struktur yang tepat, juga kerangka mental serta pengetahuan tentang budaya yang
memungkinkan terjadinya inkulturasi dan integrasi yang sebenarnya. Secara
khusus, adanya pembaharuan yang tidak bijaksana tersebut mempengaruhi juga
pengembangan potensi kaum perempuan dalam gereja dan masyarakat seperti yang
telah ditunjukkan oleh ajaran dewan kepausan. Kurangnya kesadaran, atau lebih
buruk lagi, peniadaan isu-isu feminim, berakibat pada kemunduran dan bahkan
merusak generasi baru kaum perempuan. Banyak kaum perempuan yang mempercayakan
diri kepada tarekat untuk memulai hidup bakti dan dibentuk untuk mengikuti
jejak Kristus, justru diwajibkan untuk menerima begitu saja bentuk-bentuk
tingkah laku yang sudang usang, terutama yang berkaitan dengan peran
‘kehambaan’ dan bukannya pelayanan yang berdasar kemerdekaan injili.
40. Proses internasionalisasi
ini seharusnya dilakukan oleh semua tarekat (baik maskulin maupun feminim) yang
menjadi tempat berkegiatan yang didasari keramahan antara satu dengan yang
lain, sehingga kepekaan dan keberagaman budaya dapat memperoleh kekuatan dan
makna di tempat-tempat yang belum mengenalnya, dan ini merupakan tanda kenabian
yang sangat besar. Sifat keramahan satu dengan yang lain tersebut dapat
dibangun melalui dialog yang sehat antara budaya-budaya yang ada, sehingga kita
semua dapat semakin mengimani Injil namun tanpa menanggalkan kekhasan
masing-masing. Tujuan keberadaan hidup bakti dalam keberagaman budaya bukanlah
mempertahankan kekakuannya, melainkan mempertahankan pertobatan terus menerus
sesuai dengan Injil di pusat perkembangan realitas manusia dalam hubungannya
dengan berbagai konteks budaya.
Kadang sudut pandang antropologi-spiritual tentang jati
diri feminim yang lemah dan belum berinkulturasi dapat memadamkan dan melukai
vitalitas dari anggota taraekat hidup bakti. Masih ada banyak hal yang harus
dikerjakan untuk membangun model umum dari jati diri feminim kaum religius. Untuk itu, perlu dikukuhkan
struktur-struktur relasi persaudaraan maupun konfrontasi antara pimpinan dengan
para saudari. Tidak seorangpun saudari yang boleh diturunkan derajadnya menjadi
seorang hamba, seperti yang sayangnya masih sering ditemui sampai saat ini.
Keadaan ini dapat menimbulkan sifat kekanak-kanakan yang berbahaya dan
menghambat kedewasaan individu tersebut dalam segala aspek.
Harus diperhatikan agar jarak relasi antara mereka yang
melayani dalam pemerintahan (dalam berbagai tingkat) atau mereka yang bertugas
dalam administrasi harta benda (dalam berbagai tingkat) dengan saudari-saudari
yang ada dalam pemeliharaan mereka tidak menjadi sebuah sumber penderitaan
akibat kesenjangan ataupun bentuk kepemimpinan yang otoriter. Hal ini terjadi
ketika para pemimpin mengembangkan kedewasaan dan kemampuan perencanaan mereka,
sementara saudari-saudari yang lain tidak memiliki kesempatan untuk
mengembangkan diri, bahkan sampai kepada bentuk-bentuk yang paling dasar dari
pengambilan keputusan dan pembangunan karakter secara individu maupun
komunitas.
Pelayanan kepemimpinan: bentuk-bentuk relasi
41. Dalam sudut pandang yang
lebih luas tentang hidup bakti pra-konsili, kita telah menanggalkan bentuk
sentralisasi peran pemerintahan menjadi sentralisasi pada dinamika
persaudaraan. Karena itu, pemerintahan haruslah merupakan sebuah bentuk
pelayanan demi persatuan: suatu pelayanan yang berbentuk berjalan bersama para
saudara dan saudari menuju kesetiaan yang disadari dan yang bertanggung jawab.
Sebenarnya, konflik atau ketegangan yang terjadi antar
saudara atau saudari dan kesediaan untuk mendengarkan pribadi lain merupakan bentuk
pelayanan yang esensial dari bentuk kepemimpinan yang sesuai dengan Injil.
Penggunaan teknik-teknik manajemen maupun aplikasi pendekatan-pendekatan rohani
dan paternalistik yang dianggap sebagai ekspresi dari ‘kehendak Allah’
sebenarnya bukanlah yang utama. Yang lebih penting adalah memenuhi panggilan dalam
pelayanan yang membutuhkan keberanian untuk berkonfrontasi dengan segala
tuntutan orang lain, permasalahan sehari-hari dan nilai-nilai yang dihidupi
sendiri dan bersama dengan komunitas.
42. Tantangan yang ada dalam
hubungan pemimpin-bawahan adalah pembagian tanggung jawab dalam sebuah proyek
bersama, dengan melampaui sikap sekedar taat demi mempertahankan situasi yang
ada atau demi menanggapi kebutuhan yang mendesak dalam bidang manajemen
ekonomi, namun tidak sesuai dengan semangat Injil.
Patut juga kita pertimbangkan contoh-contoh yang
Kongregasi kami terima berhubungan dengan permohonan persetujuan Konstitusi
(penulisan kembali maupun revisi) agar sesuai dengan terminologi yuridis pada
saat ini, terutama menyangkut istilah-istilah pemimpin dan bawahan. Sebelumnya,
dekrit konsili Perfectae caritatis juga telah mengundang ke arah tersebut
dengan berkata: «Hendaknya penataan hidup, doa dan karya di mana-mana,
terutama di daerah-daerah misi, sungguh sesuai dengan keadaan fisik dan psikis
para anggota jaman sekarang, begitu pula –seperti dituntut oleh corak
masing-masing tarekat– selarang dengan kebutuhan-kebutuhan kerasulan,
tuntutan-tuntutan kebudayaan, situasi sosial ekonomi»[65].
43. Pelayanan kepemimpinan
harus kita dorong hingga dapat sampai pada kemampuan berkolaborasi dan memiliki
visi umum yang berdasar pada semangat persaudaraan. Kongregasi ini, senada
dengan alur konsili, mempublikasikan instruksi Pelayanan kepemimpinan dan
ketaatan. Faciem tuam, Domine requiram, sebab kami mengakui bahwa «tema ini membutuhkan suatu
refleksi yang sangat mendalam, terutama karena telah adanya perubahan-perubahan
dalam tarekat-tarekat dan komunitas-komunitas di tahun-tahun belakangan ini; dan
juga atas penerangan dari dokumen-dokumen ajaran gereja yang paling baru dalam
pembaharuan hidup bakti»[66].
Namun sangatlah memprihatinkan sebab hingga saat
ini –lebih dari 50 tahun setelah konsili–, tetap dapat kita temui bentuk-bentuk
dan praktek pemerintahan yang menjauh dari semangat pelayanan atau bahkan
bertentangan, hingga berubah menjadi bentuk otoriter.
44. Hak istimewa yang
sah dari para pemimpin[67] dalam beberapa
kasus, dapat disalahartikan menjadi suatu kekuasaan pribadi yang membuat
dirinya menjadi aktor utama. Paus Fransiskus memperingatkan: «Mari kita
pikirkan, betapa besar kerusakan yang dapat diakibatkan oleh manusia-manusia
pengejar karir, pendaki jabatan dalam gereja; mereka yang seharusnya melayani
malahan menggunakan saudara-saudarinya sebagai trampolin demi kepentingan dan
ambisi pribadi. Mereka mengakibatkan kerusakan yang sangat besar bagi Gereja»[68]. Tidak hanya itu,
mereka yang memiliki tugas pelayanan pemerintahan harus menjaga diri «untuk
tidak jatuh dalam godaan swasembada individu, yaitu percaya diri mampu melakukan
segalanya sendiri dan bahwa semua hal tergantung padanya»[69].
45. Pemimpin yang
berkarakteristik referensi diri tidak sesuai dengan logika Injil yang menuntut
adanya rasa tanggung jawab antar saudara, dan merusak kepastian iman yang
seharusnya membimbing mereka[70]. Terbukalah juga
sebuah lingkaran setan yang merusak visi iman dan persyaratan yang tegas untuk
dapat mengakui peran dari para pemimpin. Pengakuan ini tidak hanya terbatas
pada menerima pribadi mereka yang bertugas, namun lebih dari itu pengakuan
harus sampai pada kepercayaan dan penyerahan diri secara timbal balik dan apa
adanya.
Bentuk otoriter yang diterapkan dalam situasi konflik dan
perdebatan dapat menimbulkan lingkaran kesalahpahaman dan melukai orang lain,
yang di luar kasus-kasus tertentu, dapat menyebabkan kebingungan dan
ketidakpercayaan dalam tarekat, dan memberatkan jamianan masa depan tarekat
tersebut. Mereka yang dipanggil dalam pelayanan kepemimpinan ini –dalam segala
situasi– harus memiliki rasa tanggung jawab yang besar, terlebih terhadap
saudara-saudarinya. «Hal ini mungkin terjadi bila ada kepercayaan dalam
tanggung jawab terhadap saudara-saudari, “membangkitkan ketaatan sukarela yang
menghormati manusia sebagai individu”, melalui dialog, dukungan yang diberikan
atas dasar “semangat iman dan kasih, untuk meneladan Kristus yang taat”, dan
bukan demi motivasi-motivasi yang lain»[71].
46. «Para pemimpin yang
diangkat untuk waktu tertentu jangan tetap memegang jabatan pimpinan lebih lama
tanpa tenggang waktu»[72]. Peraturan dalam
Hukum Kanonik masih berada dalam tahap asimilasi dan masih terlihat adanya
perbedaan-perbedaan dalam penerapannya oleh tarekat-tarekat. Pada umumnya, perbedaan
itu terjadi dalam situasi di mana perlu tindakan yang cepat dalam situasi
tertentu dan juga karena kurangnya sumber daya manusia, terutama dalam
komuntas-komuntas lokal. Tradisi-tradisi tarekat juga mempengaruhi terbentuknya
mentalitas yang menjadi penghalang perubahan. Karena itulah peran pemimpin
sebagai pelayan berubah menjadi suatu
posisi yang disalahgunakan. Dari sudut pandang ini, peraturan-peraturan dari
dalam Hukum tarekat haruslah ditinjau ulang bila dipandang tidak sesuai, namun
bila memiliki arah yang jelas, peraturan itu haruslah dihormati.
Hasil evaluasi dari mengapa ada kecenderungan
perpanjangan masa jabatan para pemimpin, menunjukkan adanya kekuatiran terhadap
kesinambungan dalam prosedur karya-karya lebih daripada perhatian terhadap
aktivitas rohani-kerasulan dari komunitas-komunitas. Selain itu, dari hasil
evaluasi komunitas-komunitas terlihat bahwa kehadiran saudara-saudari dari
generasi saat ini menuntut adanya estafet generasi. Mundurnya waktu pergantian
kepemimpinan dapat dimengerti sebagai kekurangpercayaan terhadap kemampuan dan
kesempatan dari generasi muda, bahkan dapat menciptakan kekosongan yang di masa
depan akan sulit untuk diisi.
47. Tidak ada
seorangpun yang dapat melupakan apa yang dikatakan Bapa Paus Fransiskus
mengenai hal tersebut di atas: «Dalam hidup bakti, kita hidup dalam sebuah
perjumpaan antara orang-orang muda dengan orang-orang tua, dalam relasi
observasi dan nubuat. Janganlah kita melihatnya sebagai sebuah kenyataan yang
bertolak belakang. […] Adalah hal yang baik bagi orang-orang tua
mengkomunikasikan kebijaksanaannya pada orang-orang muda; dan adalah hal yang
baik bagi orang-orang muda menerima warisan pengalaman dan kebijaksanaan ini,
menyimpannya baik-baik, namun bukan seperti dalam sebuah museum melainkan
menggunakannya untuk menghadapi tantangan-tantangan yang kita hadapi dalam hidup,
demi kebaikan keluarga religius itu sendiri dan juga seluruh gereja»[73].
Pelayanan kepemimpinan: Kapitel-Kapitel dan Dewan
48. Dalam usaha yang
terus-menerus untuk mencari, menegaskan dan melakukan pembaharuan ini, ada hal
khusus yang sangat penting untuk diperhatikan «Kapitel-Kapitel (atau
siding-sidang serupa), entah khusus atau umum, saat Tarekat-tarekat dipanggil
untuk memilih para Pemimpin menurut noram-norma yang digariskan dalam
Konstitusi mereka, dan untuk mengenali dalam terang Roh Kudus cara-cara yang
terbaik untuk melestarikan dan menyesuaikan karisma mereka serta warisan rohani
mereka dengan situasi-situasi sejarah dan budaya yang berubah-ubah»[74]. Selain itu,
Kapitel «hendaknya terbentuk sedemikian rupa hingga mewakili seluruh lembaga,
menjadi tanda sejati kesatuannya dalam cintakasih»[75].
Pertimbangan dalam pemilihan wakil-wakil untuk
Kapitel harus diambil dari sudut pandang yang otentik, yaitu kesatuan dalam
cintakasih. Peraturan-peraturan dan prosedur atau metode untuk memilih
saudara-saudari untuk mengikuti Kapitel –khususnya Kapitel Umum– juga harus
memperhatikan perubahan konteks budaya dan generasi yang ada dalam
tarekat-tarekat hidup bakti dan serikat-serikat hidup apostolik saat ini.
Sangatlah tepat bila komposisi peserta dalam Kapitel mengekspresikan dimensi
multikultural secara benar dan seimbang.
49. Ketika
peraturan-peraturan dan prosedur yang ada tidak lagi sesuai dan usang,
muncullah permasalahan ketidakseimbangan wakil-wakil dalam Kapitel, homogenitas
budaya atau cakupan generasi yang sempit. Untuk menghindari penyimpangan
seperti itu, perlulah memulai secara bertahap pengikutsertaan saudara-saudari
yang berasal dari berbagai daerah budaya. Ini berarti memberikan kepercayaan
kepada mereka yang oleh lingkungan dianggap masih terlalu muda, atau hanya
–warga sipil dan berasal dari budaya lain–, agar mendapat kesempatan memikul
tanggung jawab berat dan juga demi berkembangnya kemampuan mereka.
Metode-metode yang ada harus bersifat lebih fleksibel agar dapat menjamin
adanya perwakilan yang lebih representatif dan berwawasan luas demi tercapainya
masa depan yang kita inginkan dan layak dihidupi.
Hal ini tidak berarti sekedar melakukan secara
benar dan memiliki ketaatan yang cerdas terhadap pilihan-pilihan metodologis
yang ada, melainkan «memberikan cahaya pada Kehendak Kristus terhadap perjalanan
komunitas» –Peraturan Taize– dengan semangat pencarian yang telah dimurnikan
menjadi satu harapan yang sama yaitu mencari rencana Allah.
50. Keterbukaan kepada
Roh Kudus harus menjadi karakteristik dari tiap Kapitularis dalam mengambil
keputusan di setiap pertemuan; tidak meremehkan perbedaan pendapat dari orang
lain sebab meskipun memiliki sudut pandang yang beragam, semua memiliki tujuan
yang sama yaitu mencari kebenaran. Dengan cara ini, perjuangan dan kemungkinan
untuk mencapai kebulatan suara bukanlah sebuah tujuan yang mustahil diraih,
sebaliknya merupakan buah dari usaha mendengarkan dan kesediaan untuk taat pada
Roh Kudus.
Menyerahkan proses pertimbangan pada sudut pandang
pribadi dari para kapitularis, atau dengan kata lain menganggap seolah-olah
Kapitel merupakan pekerjaan individual, merupakan suatu tindakan yang tidak
bijaksana. Yang seharusnya dilakukan adalah «mengikuti terus menerus
jejak-jejak Roh Kudus» yang berarti «mendengarkan apa yang
Allah katakan kepada kita melalui situasi-situasi yang kita alami» dalam tarekat. Proses
pertimbangan «tidak berhenti hanya pada penjelasan gambaran situasi
yang menjadi masalah […] namun lebih dari itu, harus berusaha melihat apa yang
ada di belakang tiap wajah dan kejadian, mencoba melihat kesempatan dan
kemungkinan yang ada dari setiap situasi»[76]. Sebaiknya kita
ingat bahwa Kapitel Umum adalah wadah ketaatan kita kepada Roh Kudus secara
individu dan bersama-sama; kemampuan untuk mendengarkan dengan taat ini
dimohonkan dengan menaklukkan akal budi, hati dan berlutut dalam doa. Dalam
sikap pertobatan seperti itu, tiap kapitularis dalam saat pengambilan
keputusan, bertindak dengan kesadaran penuh dan dalam terang Roh Kudus,
mengambil keputusan demi kebaikan tarekat dalam Gereja. Sikap ketaatan doa ini
terpadu sepanjang sejarah Kapitel-Kapitel Umum yang bukan tanpa alasan dimulai
sejak hari Pentakosta.
51. Dalam peristiwa
Kapitel dipilihlah Pemimpin Umum. Dalam beberapa tahun belakangan ini terlihat
adanya kecenderungan untuk menggunakan postulasi. Hal-hal yang berkaitan dengan
postulasi ini diatur dalam Kitab Hukum Kanonik, kanon 180-183. Orientasi kepada
postulasi ini terjadi pada kasus-kasus dimana terdapat beberapa halangan pada
pemilihan kanonis untuk orang yang sama atau dalam kasus-kasus dimana
diperlukan penganuliran syarat-syarat personal yang harus dimiliki untuk fungsi
tersebut, seperti yang telah ditentukan hukum umum atau khusus, seperti umur, jumlah
tahun profesi[77], atau dua jabatan
atau lebih yang tidak dapat sejalan[78]. Kasus yang paling
sering terjadi adalah halangan untuk memilih kembali (atau mengesahkan)
Pemimpin Umum setelah selesainya jangka waktu yang telah ditentukan oleh
Konstitusi. Kasus seperti ini memiliki banyak konotasi yang rumit dalam
berbagai konteks (tarekat), situasi-situasi personal (para kandidat yang telah
memiliki jabatan) dan, bukanlah merupakan hal yang paling akhir, ketidakpastian
mengenai diterima atau tidaknya permintaan postulasi kepada Badan yang
kompeten. Beberapa indikasi perlu diperjelas.
Pemberian postulasi begitu saja bukanlah sebuah
dasar pemikiran terbaik untuk sebuah pertimbangan pemilihan sebab secara a
priori tidak memperhitungkan kemungkinan adanya alternatif lain. Supaya
memiliki kekuatan hukum dibutuhkan «sekurang-kurangnya dua pertiga dari suara»[79]. Ketentuan kanonis
ini bertujuan untuk mendorong dilakukannya pertimbangan-pertimbangan yang matang
sebelum melangkah menuju postulasi. Rasa ikut bertanggung jawab yang
dipraktekkan secara kolegial akan membawa juga pada rasa tanggung jawab untuk
mengeksplorasi solusi-solusi alternatif. Di beberapa tarekat telah dimulai
suatu metode konsultasi awal yang bersifat informal. Pada pemberian bimbingan
harus dihindari terciptanya prasangka umum, sebaliknya postulasi merupakan
suatu langkah yang mudah untuk diambil.
52. Pemimpin tertinggi
biasanya dipilih dalam kapitel umum[80], selain itu juga
dilakukan pemilihan Dewan yang merupakan badan yang bekerja sama dengan
pemimpin tertinggi dalam pemerintahan sebuah tarekat. Kepada setiap penasihat
dituntut adanya «partisipasi personal dan kepercayaan dalam hidup
komunitas dan perutusan»[81] tarekat, «suatu
bentuk partisipasi yang memperkenankan latihan dialog dan penegasan»[82] dengan semangat
ketulusan[83] dan kesetiaan, «guna
memastikan kehadiran Allah yang menyinari dan menuntun»[84].
Apabila segala halangan dan kesalahpahaman yang
tak terhindarkan tidak diatasi dengan tepat waktu dapat menjadi penghalang terwujudnya
niat baik untuk saling memahami dan kemampuan konvergensi dalam tubuh Dewan.
Badan kerjasama dalam pemerintahan melayani demi kebaikan bersama dalam tarekat
dan berkomitmen untuk menjaga totalitas fungsinya, namun tanpa mengabaikan
sarana-sarana bimbingan (rohani, profesional dan formasi khusus) yang
menawarkan suatu pertimbangan jangka panjang. Dewan juga sebenarnya tidak boleh
hanya mengurus pencitraan diri, melainkan yang terpenting dan yang utama adalah
menjaga kredibilitasnya sebagai badan kerja sama pemerintahan tarekat.
53. Geografi baru dari
keberadaan hidup bakti dalam Gereja menggambarkan keseimbangan budaya yang baru
dalam kehidupan dan dalam pemerintahan tarekat[85]. Komposisi internasional
dari Kapitel biasanya menunjukkan juga konfigurasi multikultural dari Dewan.
Pengalaman dari banyak tarekat hidup bakti dan serikat hidup apostolik telah
sedikit demi sedikit mendewasakan mereka dari tradisi yang telah berlaku
sedemikian lama. Tarekat-tarekat yang baru berdiri saat ini sedang berada dalam
fase pembelajaran untuk dapat «memperlihatkan; menghadirkan dalam kesatuan
Katolik keperluan-keperluan pelbagai bangsa dan kebudayaan»[86]. Hal ini
menyangkut tuntutan proses yang «memerlukan pemurnian dan pertumbuhan»[87].
Proses internasionalisasi yang baru saja
berlangsung ini merupakan ruang kerja yang masih terbuka untuk masa depan yang penuh
tantangan terutama dalam bidang formasi bagi orang-orang yang memegang tanggung
jawab, khususnya bagi mereka yang mendapat peran sebagai dewan penasihat.
Perubahan generasi dan budaya tidak seharusnya membuka kesempatan pada
situasi-situasi yang dapat menghalangi dinamika internal dari proses
pertimbangan dewan yang kemudian berdampak juga pada pemerintahan dari tarekat.
Berikut ini adalah beberapa contoh situasi-situasi
yang bermasalah: adanya calon yang dianggap cocok, namun memiliki persiapan
yang kurang atau diajukan secara prematur (belum saatnya); kaum religius yang
terpilih dari hasil kesepakatan karena alasan pembagian budaya dan bukan karena
pengakuan atas pengalaman dan atau kemampuannya sebagai individu; dan akhirnya,
pilihan yang dijatuhkan karena tidak adanya alternatif lain.
54. Pengikutsertaan para
saudara-saudari dari budaya dan generasi yang berbeda tentu saja tidak mengubah
fungsi tradisional dari dewan penasihat, namun mempengaruhi persepsi terhadap
peran dan modalitas dari interaksi di dalam dan di luar dewan penasihat. Kontribusi
dari sudut-sudut pandang lain (analisis/evaluasi dari permasalahan yang ada)
memperluas horison pemahaman dari kenyataan-kenyataan yang dihadapi tarekat:
lebih dari mereka yang berada pada periferi dari pada yang berada di pusat.
Berbagai macam budaya dan pergantian generasi –yang pada dasarnya sudah
merupakan gabungan yang rumit– seharusnya dapat menjadi dorongan baru untuk
menghadapi masa depan dari tarekat.
Permulaan peran tanggung jawab mengukir sebuah
pengalaman. Apabila pengalaman adalah sebuah proses belajar dalam kehidupan
sehari-hari, maka kita harus mendukung proses belajar ini dengan suatu bentuk
formasi yang khusus. Pada kasus yang bertolak belakang, pengalaman tidak
dimanfaatkan sepenuhnya dalam meningkatkan efisiensi peran dan integrasinya
dalam dinamika Dewan penasihat. Dalam situasi ini perlu menemukan dan
memikirkan kembali pedoman-pedoman yang telah dimatangkan seiring perjalanan
tradisi pemerintahan dari tarekat-tarekat hidup bakti dan serikat-serikat hidup
apostolik, mencoba merubah keadaan saat ini demi mempersiapkan masa depan. Masa
yang akan datang tidak seharusnya membuat cara pandang menjadi sempit:
profesionalisme baru (ilmu dan kemampuan) dapat memberi kontribusi untuk
memperluas horison kita, dan yang terpenting tidak membuat kita tinggal diam di
batasan antara masa kini dan masa depan, memiliki pandangan yang pendek dan
tertutup, yang pada jangka waktu yang lebih lama dapat melumpuhkan kemampuan
untuk berjalan bersama.
KESIMPULAN
55. Dalam beberapa puluh tahun ini, para kaum hidup bakti telah
bekerja di ladang Tuhan dengan komitmen, kemurahan hati dan keberanian. Sekarang
telah tiba saatnya musim panen anggur dan anggur yang baru. Mari dengan
kegembiraan kita peras buah anggur dan dengan tekun menyimpannya ke dalam kantung-kantung
kulit yang cocok, hingga proses fermentasi yang mematangkannya seiring
waktu dapat mengendap dan menghasilkan stabilitas. Anggur baru dan
kantung-kantung kulit baru, bersama dengan kesediaan kita, memerlukan kerja
sama juga dari pihak kita sesuai dengan karisma dan keadaan sosial serta
keadaan gereja, di bawah bimbingan Roh Kudus dan para pemimpin gereja. Telah
tiba saatnya menjaga dengan kreativitas segala kebaruan yang ada agar terpelihara
rasa asli dari kesuburan yang diberkati Allah.
Anggur baru menuntut kemampuan untuk
melampaui segala bentuk warisan dari masa lampau dan menghargai kebaruan yang
dibangkitkan Roh Kudus, menerimanya dengan rasa syukur serta menjaganya hingga
berfermentasi secara sempurna, dan melampaui segala yang bersifat provisional.
Demikian juga dengan baju yang baru yang dikatakan Yesus dalam halaman
Injil yang sama, telah dijahit melalui berbagai tahap aktualisasi yang
berbeda-beda, dan telah tibalah saatnya untuk mengenakannya dengan kegembiraan
di tengah-tengah kaum beriman.
56. Anggur, kantung kulit dan baju yang baru menunjukkan suatu
periode kedewasaan dan integritas untuk tidak menggunakan kombinasi-kombinasi
yang tidak bijaksana ataupun komitmen-komitmen taktis: untuk tidak mencampur yang
lama dengan yang baru, sebab masing-masing adalah milik dari suatu periode
tertentu, yang adalah buah seni dari zaman yang berbeda dan yang harus
dipelihara keasliannya.
Semoga sang Pemilik kebun anggur, yang
telah menyuburkan hasil karya tangan kita dan yang telah membimbing kita
melalui jalan aktualisasi, menganugerahi kita kemampuan untuk menjaga kebaruan
yang telah dipercayakan kepada kita ini dengan cara-cara yang tepat, kesabaran
dan kewaspadaan, tanpa rasa takut dan dengan dorongan semangat injil yang
selalu baru.
57. Maria, Wanita anggur baru, jagalah keinginan kami
untuk maju terus dalam ketaatan kepada kebaruan dari Roh Kudus, mampu mengenali
tanda-tanda kehadiran-Nya dalam anggur baru, buah hasil panen dari
musim-musim yang baru.
Buatlah kami taat pada rahmat dan
bekerja keras menyiapkan kantung-kantung kulit yang mampu menampung sari buah
anggur tanpa ada yang terbuang percuma. Kuatkanlah langkah-langkah kaki kami
dalam misteri salib sebagaimana dikehendaki Roh Kudus dalam setiap ciptaan
baru.
Ajarlah kami melakukan apa yang
dikatakan oleh Kristus Puteramu (bdk. Yoh. 2:5) untuk duduk di meja
perjamuan-Nya setiap hari; sebab Dialah sang Anggur Baru yang karena-Nya
kami bersyukur serta menerima dan membagikan segala berkat.
Pupuklah harapan dalam diri kami,
sementara kami menantikan hari di mana kami akan menikmati buah baru daru pokok
anggur bersama Kristus, dalam Kerajaan Bapa (bdk. Mat. 26:29).
Bapa Suci telah menyetujui publikasi dari Orientasi ini
dalam Audiensi
tanggal 3 Januari 2017.
Kota Vatikan, 6
Januari 2017,
Pesta Penampakan
Tuhan Yesus
João Braz Card. De Aviz
Prefek
José Rodríguez Carballo, O.F.M.
Sekretaris Uskup Agung
*) diterjemahkan oleh: Sr
Caroline Nugroho MC
[1] Fransisko, Seruan Apostolik Evangelii
gaudium, (24 November 2013), 154.
[2] Ibid, 20.
[3] Ibid, 231.
[4] Ibid, 58.
[5] KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharuan hidup religius Perfectae caritatis, 1.
[6] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang gereja Lumen gentium, 43-47.
[7] KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharian hidup religius Perfectae caritatis, 2.
[8] KHK, kan. 578.
[9] YOHANES PAULUS II, Seruan
Apostolik Vita consecrata (25 Maret
1996), 37.
[10] KONSILI VATIKAN II, Dekrit
tentang pembaharuan hidup religius Perfectae
caritatis, 3.
[11] YOHANES PAULUS II, Seruan
Apostolik post-sinode Vita consecrata,
(25 Maret 1996), 20.
[12] Ibid, 21.
[13] Ibid, 100.
[14] Ibid, 55.
[15] Ibid, 54.
[16] FRANSISKUS, Surat Apostolik
kepada semua kaum religius dalam Tahun Hidup Bakti (21 November 2014).
[17] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharuan dalam hidup
religius Perfectae caritatis, 2-4.
[18]
FRANSISKUS, Khotbah Santa Marta, 5
September 2014.
[19] Bdk. KONGREGASI UNTUK TAREKAT HIDUP BAKTI DAN SERIKAT HIDUP
APOSTOLIK, Bertolak Segar dalam Kristus,
komitmen hidup bakti yang dibaharui di milenium ketiga (19 Mei 2002), 19.
[20] YOHANES PAULUS II, Anjuran
Apostolik Post-Konsili Vita consecrata,
(25 Maret 1996), 66.
[21] Idem.
[22] Ibid, 67.
[23] Bdk. Idem.
[24] Bdk. Ibid, 70-71.
[25] Bdk. Ibid, 58.
[26] Bdk. Ibid, 57.
[27] YOHANES XXIII, Surat Ensiklik Pacem
in terris tentang perdamaian di antara bangsa-bangsa (11 April 1963), 22.
[28] YOHANES PAULUS II, Surat Apostolik Mulieris dignitatem (15 Agustus 1988), 66.
[29] YOHANES PAULUS II, Seruan
apostolik post-konsili, Vita Consecrata
(25 Maret 1996), 58.
[30] Ibid, 57.
[31] Idem.
[32] Ibid, 58.
[33] FRANSISKUS, Pidato dalam kesempatan pertemuan dengan
Episkopat Brasil, Rio de Janeiro (27 Juli 2013)
[34] Bdk. KHK, kan. 636
[35] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii gaudium (24 Novembre 2013),
33.
[36] Bdk. YOHANES PAULUS II, Surat
Apostolik, Novo millennio ineunte (6
Januari 2001), 45; Kongregasi untuk Hidup Bakti, Instruksi Bertolak Segar dalam Kristus. Komitmen hidup bakti yang dibaharui di
milenium ketiga (19 Mei 2002), 14.
[37] Bdk. Kongregasi untuk Hidup
Bakti, Instruksi Pelayanan kepemimpinan
dan ketaatan. Facem tuam, Domine, requiram, (11 Mei
2008), 13f.
[38] KHK, kan. 602; bdk. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharuan
hidup religius Perfectae caritatis,
15.
[39] Bdk. Kongregasi untuk hidup
bakti, Instruksi Pelayanan kepemimpinan
dan ketaatan. Faciem tuam, Domine, requiram (11 Mei 2008), 14b.
[40] Bdk. Ibid, 12.
[41] KONSILI VATIKAN II, Dekrit
tentang pembaharuan hidup religius Perfectae
Caritatis, 3.
[42] Bdk. Kongregasi untuk Hidup
Bakti, Jati diri dan misi dari saudara
religius dalam gereja, LEV, Città del Vaticano 2013.
[43] Bdk. Kongregasi untuk Klerus, Anugrah panggilan imam. Ratio fundamentalis
institutionis sacerdotalis (8 Desember 2016).
[44] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii gaudium, (24 November 2013),
99.
[45] Bdk. FARINSISKUS dari ASSISI, Nasihat-nasihat rohani, III.6.
[46] KHK, kan. 618-619; bdk. KONSILI
VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharuan dalam hidup religius Perfectae caritatis, 14.
[47] KONSILI VATIKAN II, Dekrit
tentang pembaharuan dalam hidup religius Perfectae
caritatis, 14.
[48] Tolong memberi perhatian khusus mengenai hal ini berdasarkan kan.
630.
[49] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii
gaudium, (24 November 2013), 55.
[50] Kongregasi untuk Hidup Bakti, Instruksi Pelayanan kepemimpinan dan
ketaatan. Faciem tuam, Domine, requiram
(11 Mei 2008), 13b.
[51]
FRANSISKUS, Surat Apostolik kepada
seluruh kaum religius dalam rangka Tahun Hidup Bakti (21 November 2014),
II, 3.
[52] Bdk. Kongregasi untuk Hidup Bakti, Surat Sirkular Garis-garis petunjuk untuk menejemen harta benda dalam
lembaga hidup bakti dan serikat hidup apostolik (2 Agustus 2014), 2.3.
[53] Bdk. FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii gaudium, (24 November 2013), 56.
[54] Idem.
[55] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii
gaudium (24 November 2013), 33.
[56] Bdk. YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik post-konsili Vita consecrata, (25 Maret 1996), 37.
[57] Ibid, 3.
[58] KHK, kan. 602
[59] FRANSISKUS, “Despertad al mundo,
Wawancara Paus Fransiskus dengan para Pemimpin Umum”. La Civiltà Cattolica 165 (2014?I) 11.
[60] Ibid, 10.
[61] Bdk. YOHANES PAULUS II, Seruan
Apostolik post-konsili Vita consecrata,
(25 Maret 1996), 70.
[62] BENEDIKTUS XVI, Surat Ensiklik Spe Salvi (30 November 2007), 25
[63] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013),
116.
[64] Ibid. 117.
[65] KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang
pembaharuan dalam hidup religius Perfectae
caritatis,3.
[66] Kongregasi untuk Hidup Bakti,
Instruksi Pelayanan kepemimpinan dan
ketaatan. Faciem tuam, Domine requiram (11 Mei 2008), 3.
[67] Bdk. KHK, kan. 618.
[68] FRANSISKUS, Pidato di hapadan Peserta Sidang Umum dari Serikat Internasional Para
Pemimpin Umum (Roma, 8 Mei 2013), 2.
[69] Kongregasi untuk Hidup Bakti,
Instruksi Pelayanan dalam pemerintahan
dan ketaatan. Faciem tuam, Domine, requiram, (11 Mei 2008), 25a.
[70] Bdk. PAULUS VI, Seruan Apostolik Evangelica testificatio (29 Juni 1971),
25.
[71] Kongregasi untuk Hidup Bakti,
Instruksi Pelayanan dalam pemerintahan
dan ketaatan. Faciem tuam, Domine, requiram, (11 Mei 2008), 14b.
[72] KHK, kan 624 §2.
[73] FRANSISKUS, Homili dalam Pesta Yesus dipersembahkan di Bait Allah, Peringatan
hari Hidup Bakti Sedunia ke-18, Roma (2 Februari 2014).
[74] YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik
post-konsili Vita consecrata, (25
Maret 1996), 42.
[75] KHK, kan 631 §1.
[76] FRANSISKUS, Pidato dalam acara
Konvensi gerejawi Keuskupan Roma (16 Juni 2016).
[77] Bdk. KHK, kan 623.
[78] Bdk. KHK, kan 152.
[79] Bdk. KHK, kan 181 §1.
[80] Bdk. KHK, kan. 625 §1.
[81] Kongregasi untuk Hidup Bakti, Instruksi Bertolak segar dalam Kristus: Komitmen hidup bakti yang dibaharui di
millennium ketiga (19 Mei 2002), 14.
[82] Idem.
[83] Bdk. KHK, kan. 127 §3.
[84] Kongregasi untuk Hidup Bakti, Instruksi Bertolak segar dalam Kristus: Komitmen hidup bakti yang dibaharui di
millennium ketiga (19 Mei 2002), 14.
[85] Bdk. Ibid, 17.
[86] YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik post-konsili Vita consecrata, (25 Maret 1996), 47.
[87] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii
Gaudium (24 November 2013), 69.
Social Plugin