Ad Code

Vita Consecrata-Postulat Stella Maris Malang-Hendrikus Dasrimin

ANGGUR BARU, KANTUNG BARU PULA

 

Ilustrasi anggur baru dalam kantung baru (Foto: Sesawi.net)


Hidup Bakti sejak Konsili Vatikan II:
Tantangan-tantangan yang masih terbuka
Kongregasi untuk Lembaga-lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik
Petunjuk-Petunjuk


Pendahuluan

Kongregasi Institut Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik sejak tanggal 27 hingga 30 November 2014 merayakan Pleno Jemaat dengan tema: ‘Anggur baru di kantung-kantung kulit yang baru’, Hidup bakti 50 tahun setelah Lumen Gentium dan Perfectae Caritatis. Pleno tersebut memberi perhatian pada perjalanan hidup bakti yang telah dilalui setelah konsili, dengan mencoba membaca –secara menyeluruh– tantangan-tantangan yang masih terbuka.
Orientasi ini merupakan buah-buah yang muncul dari Pleno tersebut dan hasil renungan yang ditempa melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan di Roma, dihadapan Tahta Santo Petrus, bersama para rohaniwan dan rohaniwati dari seluruh dunia dalam Tahun Hidup Bakti.
Sejak Konsili Vatikan II, ajaran gereja telah menemani hidup para religius secara berkesinambungan. Secara khusus, Pleno ini menawarkan garis-garis besar sebagai referensi dan nilai: Pedoman-pedoman Potissimum Institutioni (1990), Hidup Persaudaraan dalam Komunitas (1994), Faciem tuam Domine Requiram (2008), dan Identitas dan misi dari saudara religius dalam gereja (2015). Pedoman-pedoman ini terletak dalam garis dari «latihan dalam pertimbangan injili, di mana kita berusha mengenali –dalam terang Roh– “panggilan yang oleh Allah digemakan dalam situasi historis ini: yang dalam dan juga melalui situasi ini Allah memanggil»[1] para religius dari jaman kita ini, sebab «kita semua diminta untuk mematuhi panggilanNya untuk keluar dari zona nyaman kita untuk menjangkau seluruh “periferi” yang memerlukan terang Injil»[2].
Latihan pertimbangan gerejani dimana para religius dipanggil untuk memulai langkah-langkah baru agar cita-cita dan doktrin diharapkan menjadi daging dalam hidup: dalam sistem, struktur, diakonal, cara, relasi dan bahasa. Paus Fransiskus menitikberatkan pada perlunya membuktikan bahwa: «kenyataan lebih besar daripada gagasan. […] Kenyataan hanya ada, sedangkan gagasan perlu dikembangkan. Harus ada dialog berkesinambungan antara keduanya, agar jangan sampai gagasan terlepas dari kenyataan. Berbahayalah hidup hanya dalam dunia kata-kata saja, dunia imajinasi dan penalaran cerdik»[3].
Meskipun telah melalui proses ‘accomodata renovatio’ sesudah konsili yang lebar dan kaya, namun hidup bakti tetap dapat menemukan tantangan-tantangan yang masih terbuka dan yang harus dihadapi «dengan keteguhan dan mata menatap ke masa depan»[4].
Dengan pandangan tertuju pada penilaian dan pemahaman, pedoman-pedoman ini bertujuan untuk mendeteksi penerapan-penerapan yang tidak sesuai, menunjukkan proses-proses yang terhenti, menjabarkan pertanyaan-pertanyaan yang konkrit, mempertanyakan struktur-struktur relasi dalam pemerintahan dan formasi tentang dukungan nyata yang diberikan sesuai bentuk injili dalam hidup para religius.
Pedoman-pedoman untuk menguji secara bebas dan sungguh-sungguh (parresia) kantung-kantung kulit untuk menyimpan anggur-anggur baru yang terus dicurahkan oleh Roh kepada gerejaNya ini, menasihati untuk melakukan perubahan-perubahan dengan aksi-aksi nyata untuk jangka pendek maupun jangka panjang.


1. Logika Yesus    

Ada kata dari Tuhan Yesus yang dapat menerangi jalan hidup bakti dalam menghadapi tantangan-tantangan di jaman kita ini dan yang sesuai dengan jiwa pembaharuan yang diinginkan oleh Konsili Vatikan II: anggur baru dalam kantung kulit baru (Mrk. 2:22). Kalimat bijaksana dari Tuhan ini terdapat dalam semua Injil Sinoptik yang dikutip dari konteks awal kegiatan Yesus di hadapan umum. Penginjil Markus meletakkannya tepat pada inti dari kritik-kritik provokatif awal kepada orang farisi di Kapernaum tentang kebebasan dan otonomi Yesus (Mrk. 2:18-22).

Matius meletakkan logika ini lebih di depan, untuk menyegel tanggung jawab kenabian dari pentingnya belas kasih dalam kata-kata dan tindakannya (Mat. 9:16-17). Sedangkan Lukas menempatkan tantangan ini dalam konteks yang lebih tepat lagi dengan menggarisbawahi ketidakmungkinan untuk berdialog dengan mentalitas yang lama (Luk. 5:36-39). Penginjil menunjukkan bahwa potongan kain itu diambil dari baju yang baru (yang sudah jadi) (bagi Matius bukan lain adalah kain yang belum susut) untuk ditambalkan pada baju yang sudah tua. Tindakan yang janggal ini menyebabkan kehancuran ganda (Luk. 5:36) dan penginjil menambahkan kalimat lain yang lebih menjelaskan: Tidak seorang pun yang setelah minum anggur lama, mau meminum anggur baru sebab mereka berkata, 'Anggur yang lama itu lebih enak’ (Luk. 5:39).

Bagi para ketiga Penginjil Sinoptik sangatlah penting menggarisbawahi cara baru Yesus ini, bahwa dengan menyatakan pada dunia wajah belas kasih Bapa, Yesus memposisikan diri pada jarak kritis dari skema-skema religius yang lazim. Mengampuni dosa dan menerima setiap orang dalam misteri penderitaannya adalah suatu hal baru yang sangat radikal. Hal baru ini menggoyangkan mereka yang sudah terbiasa pada pengulangan sederhana dari sebuah skema yang telah diperhitungkan dan terbingkai. Sikap seperti ini tentu tidak hanya menimbulkan ketidaknyamanan namun juga sejak awal menjadi sebuah alasan penolakan. Cara Yesus dalam mewartakan Kerajaan Allah berdasarkan atas ‘hukum yang memerdekakan’ (bdk. Yak. 2:12) yang memungkinkan suatu cara baru dalam memasuki relasi dengan orang-orang dan situasi-situasi yang konkrit. Gaya Yesus ini memiliki warna dan rasa dari anggur baru namun dapat mengoyak kantung kulit lama. Gambaran ini memperlihatkan dengan jelas bentuk-bentuk kelembagaan, religius dan simbolis yang memerlukan selalu sifat yang elastis. Tanpa keelastisan ini tiada satu bentuk lembaga, yang paling terhormat pun, dapat menahan tekanan-tekanan hidup maupun menjawab tantangan-tantangan jaman.

2. Persamaan yang diterapkan Tuhan Yesus ini sederhana namun juga mengandung banyak tuntutan. Kantung yang disebut dalam perumpamaan singkat itu adalah sebuah wadah dari kulit halus binatang yang masih bisa memuai sehingga membantu proses fermentasi anggur baru. Apabila kantung kulit yang digunakan kering dan kaku karena usang, tidak akan mampu menahan tekanan kuat dari anggur yang baru itu. Kantung itu akan koyak dan akan merusak baik anggur maupun kantung itu sendiri. Penginjil Yohanes menggunakan perumpamaan yang sama tentang anggur yang baik (Yoh. 2:10) yang dihidangkan pada pernikahan Kana untuk menunjukkan suatu kesaksian kenabian baru dari pewartaan Injil yang gembira dan efervescente (berbuih). Demikianlah anggur yang baik dan anggur baru menjadi simbol dari cara Yesus bersikap dan mengajar, yang tidak mungkin ditampung dalam kantung kulit yang lama dari skema religius yang kaku dan tidak mampu membuka diri terhadap harapan-harapan baru. Ketika penginjil Lukas berbicara tentang anggur tua yang enak (chrestòs), ia merujuk secara jelas kepada keterikatan orang-orang farisi dan para pemimpin masyarakat terhadap bentuk-bentuk standar dan kaku dari masa lalu. Namun mungkin saja itu belum semua. Orang-orang Kristen dari generasi kedua harus sadar akan adanya kecenderungan untuk tidak membuka diri terhadap kebaruan injil. Resiko jatuh pada godaan untuk kembali ke cara lama dari dunia yang tertutup dalam kepastian dan kebiasaannya, selalu mengintai kita. Sejak permulaan dari sejarah gereja selalu ada godaan untuk menyesuaikan diri secara taktis sebagai usaha untuk menghindari panggilan pertobatan hati yang terus menerus.

Sabda Tuhan Yesus membantu kita untuk memahami tantangan dari sebuah pembaharuan yang menuntut bukan saja penerimaan melainkan juga latihan pembedaan roh. Pentinglah menciptakan struktur yang benar-benar mampu menjaga kekayaan inovatif dari Injil dengan tujuan menghidupinya dan menggunakannya dalam pelayanan kepada semua orang, dengan menjaga kualitas dan kebaikannya. Kita harus membiarkan agar anggur baru berfermentasi dalam kantung kulit agar dapat menjadi matang seperti seharusnya, untuk pada akhirnya dinikmati dan dibagikan. Hal yang sama berlaku juga pada gambaran baju dan tambalannya: tidaklah mungkin memotong kain dari baju yang baru untuk ditambal pada baju yang sudah usang. Tindakan itu dapat menciptakan tegangan yang mengoyak baju yang lama, jadi pada kenyataannya, tambalan baru itu tidak ada gunanya sama sekali.

3. Pesan Injil tidak dapat direduksi menjadi sesuatu yang benar-benar hanya bersifat sosiologis, karena berhubungan dengan suatu orientasi spiritual yang selalu baru. Dibutuhkan suatu keterbukaan mental untuk membayangkan suatu kelanjutan yang profetis dan karismatis, serta dihidupi sesuai skema yang tepat, dan bahkan mungkin yang belum dikenal. Semua itu merupakan sebuah rangkaian pelayanan yang inovatif, yang dihidupi di luar skema yang sudah dialami pada masa lalu, yang juga harus dapat diterima oleh struktur-struktur kelembagaan yang baru. Struktur-struktur tersebut pada kenyataannya harus sesuai dengan tingkat ekspektasi dan dengan tantangan-tantangan yang ada. Suatu pembaharuan yang tidak mampu menjamah dan mengubah struktur dan juga hati, tidak akan dapat mengantarkan pada perubahan yang nyata dan bertahan lama. Janganlah pernah kita lupa bahwa suatu pemaksaan sederhana, bahkan yang paling halus sekalipun, dapat membawa pada sebuah penolakan. Penolakan menyebabkan hilangnya efervescencia (keberbuihan) dari kebaruan yang tak dapat ditolak, yang tidak hanya harus diakui melainkan menuntut untuk dihidupi sampai ke dasarnya, dan bukan sekedar ditanggung dengan sabar dan tabah.

Apabila kita menerapkan kriteria injili ini pada apa yang dihidupi gereja di saat berahmat dari Konsili Vatikan II, dapatlah kita benar-benar berbicara tentang anggur baru. Di bawah pimpinan Roh Kudus, gereja yang adalah ladang anggur Tuhan, telah mampu menghidupi suatu musim panen rohani yang diperbaharui dengan masukan dan kemurahan hati semua orang. Kita semua telah menikmati suatu pengalaman pembaharuan yang hidup, yang terungkap dalam arah kateketik baru, model kekudusan dan hidup persaudaraan yang baru, struktur pemerintahan yang baru, aliran teologis yang belum dikenal, bentuk-bentuk solidaritas dan pelayanan yang tak terpikirkan sebelumnya, dan sebagainya. Sungguh-sungguh suatu musim panen yang dapat kita tanggapi dengan rasa syukur yang berlimpah dan dengan gembira. Namun, semua tanda-tanda dan bentuk pembaharuan itu hidup bersama dengan kebiasaan-kebiasaan lama yang di’kudus’kan dan telah mengeras, dan itu normal. Yang dimaksudkan adalah kebiasaan-kebiasaan yang kaku dan yang tidak mampu mencocokkan diri dengan pembaharuan yang terjadi. Hal ini dapat menimbulkan konflik, kadang juga sampai yang kasar. Dan dari konflik-konflik, lahir tuduhan-tuduhan bahwa pada kenyataannya kita tidak mampu menjadi anggur yang terbaik (Kid. 7:10), melainkan anggur yang penuh campuran (Mzm. 75:8). Ada juga orang-orang yang menghakimi orang lain sebagai ‘buah yang masam’ (bdk. Yes. 5:2) karena tidak setia pada apa yang sudah biasanya dilakukan sejak dulu. Kita tidak seharusnya terkejut atau bahkan menjadi patah semangat menghadapi semua itu. Tidaklah mungkin mendefinisikan struktur yang tepat untuk suatu pembaharuan otentik, tanpa memperhitungkan waktu pengolahan yang lama dan kemungkinan munculnya hal-hal yang tidak diinginkan selama proses tersebut. Perubahan-perubahan yang otentik dan tahan lama tidak pernah terjadi secara otomatis.

Pada umumnya kita harus menghadapi serangkaian penolakan bahkan kemunduran. Kita juga harus menyadari bahwa penolakan-penolakan tersebut tidak selalu buruk atau dibuat dengan maksud jahat. Setelah lebih dari 50 tahun sejak penutupan konsili, kita harus mengakui bahwa perubahan dan kegelisahan yang diakibatkan oleh dorongan Roh yang hidup dapat juga menimbulkan rasa sakit. Hal itu tentu saja juga berlaku bagi hidup bakti dengan segala pergantian musim yang subur, dalam hal menjawab tanda-tanda jaman dan inspirasi Roh Kudus.

Pembaharuan Post-Konsili

4.      Untuk dapat memandang ke depan dan lanjut berjalan sesuai semangat pembaharuan yang diinginkan konsili, sejarah dapat menerangi dan menegaskan langkah kita. Kesadaran akan apa yang telah kita alami selama setengah abad ini semakin penting, bila kita ingin menanggapi dorongan yang datang baik dari kata-kata maupun tindakan Bapa Paus Fransiskus.

Konsili Vatikan II secara eksplisit meminta ‘accomodata renovatio’ dari hidup dan kedisiplinan masing-masing lembaga hidup bakti, «menurut tuntutan zaman kita sekarang»[5]. Para bapa konsili telah meletakkan dasar-dasar teologis dan gerejani untuk pembaharuan ini, khususnya dalam bab VI dari konstitusi dogmatis Lumen gentium[6]. Dalam dekrit Perfectae caritatis mereka juga menawarkan beberapa petunjuk yang lebih tepat dan beberapa arahan praktis untuk pengaktualisasian spritual, gerejani, karismatis, dan kelembagaan dari hidup bakti dalam gereja. Di antara naskah-naskah konsili yang lain, konstitusi Sacrosanctum concilium dan dekrit Ad gentes menunjukkan beberapa konsekuensi praktis yang cukup penting dari hidup religius.

Sepanjang setengah abad ini, kita dapat mengakui dengan bangga bahwa dampak dari hasil pemikiran konsili terhadap hidup religius sangatlah kaya. Pemahaman bersama serta penyelidikan secara seksama telah melahirkan dorongan-dorongan dan metode-metode yang sangat efektif untuk diaktualisasikan. Langkah pertama dari perubahan yang mendalam ini berkaitan dengan bagaimana cara hidup bakti harus bermawas diri. Pada tahap sebelum konsili, manifestasi dan struktur dari hidup religius memperlihatkan kekuatan yang padat dan operatif dari hidup dan misi gereja yang militan dalam pertentangan yang terus menerus dengan dunia. Pada tahap baru, dimana ada keterbukaan dan dialog dengan ‘dunia’, hidup religius merasa terdorong ke garis terdepan dalam usaha mengeksplorasi bentuk-bentuk relasi baru yang terkoordinasi antara gereja-dunia demi kebaikan tubuh gereja. Ini adalah satu dari banyak tema yang memiliki kekuatan inspiratif dan transformatif seperti yang diinginkan oleh Konsili Vatikan II. Dengan dialog dan penerimaan yang baik, hidup bakti pada umumnya telah bersedia merangkul, meskipun tidak selalu, resiko-resiko dari petualangan baru dalam keterbukaan, penerimaan dan pelayanan. Untuk dapat benar-benar mewujudkan suatu cara berelasi dan bersikap di dunia saat ini, hidup bakti telah berkontribusi dengan berbagai macam karisma dan warisan rohani, dengan berani mengambil resiko dan dengan murah hati menerima cara-cara yang baru.

5.      Kami telah memperhatikan bahwa dalam 50 tahun sejak konsili, semua lembaga hidup bakti telah menanggapi dorongan-dorongan dari Vatikan II dengan usaha-usaha terbaiknya. Terlebih dalam 30 tahun pertama sesudah konsili usaha pembaharuan itu bersifat murah hati dan kreatif, dan itu telah berlanjut dalam tahun-tahun berikutnya meski dengan irama yang lebih lambat dan kurang dinamis. Telah digarap juga naskah-naskah normatif dan bentuk-bentuk kelembagaan, pertama-tama sebagai tanggapan atas stimulus yang dihasilkan oleh konsili dan kemudian untuk mengikuti peraturan-peraturan dari Kitab Hukum Kanonik yang baru (1983). Tiap-tiap keluarga religius telah sungguh-sungguh berkomitmen untuk membaca ulang dan menginterpretasikan kembali «inspirasi lembaga yang mula-mula»[7]. Pekerjaan ini memiliki dua tujuan utama:  menjaga dengan setia «maksud dan cita-cita para pendiri»[8] dan «menampilkan lagi dengan berani inisiatif, kreativitas dan kekudusan yang siap bertindak yang dulu ada pada para pendiri mereka, guna menanggapi tanda-tanda jaman yang muncul di dunia zaman sekarang»[9].

Pencarian terhadap langkah-langkah formasi yang baru, yang dilakukan dengan penuh keberanian dan kesabaran sesuai dengan sifat karisma dari masing-masing keluarga religius, telah mengiringi hasil-hasil dari usaha keras yang telah dilakukan untuk mengolah kembali identitas, gaya hidup dan kesesuaian misinya dalam gereja. Hal yang sama telah dilakukan juga dalam lingkup struktur pemerintahan, pengelolaan keuangan dan aktivitas-aktivitas untuk menyesuaikannya «dengan keadaan fisik dan psikis para anggota… kebutuhan-kebutuhan kerasulan, tuntutan-tuntutan kebudayaan dan situasi sosial ekonomi»[10].

6.      Setelah melihat secara sekilas sejarah 50 tahun terakhir ini, dapatlah kita akui dengan rendah hati bahwa hidup bakti telah berupaya menjangkau cita-cita konsili dengan bersemangat dan dengan keberanian untuk bereksplorasi. Untuk segala yang telah kita lalui ini kita hanya dapat berterimakasih pada Allah dan pada kita masing-masing dengan tulus dan sungguh hati.

Dalam perjalanan yang panjang dan penuh usaha ini, ajaran-ajaran tertinggi dari para Bapa Paus telah memberikan dukungan yang amat besar di tahun-tahun ini. Dengan naskah-naskah dan intervensi yang beragam, para Bapa Paus pada umumnya telah membantu memperteguh keyakinan-keyakinan baru, memahami jalan-jalan baru, mengarahkan dengan kebijaksanaan dan kesadaran gerejani pada pilihan-pilihan baru dalam bersikap dan dalam pelayanan dengan terus menerus mendengarkan sapaan Roh Kudus. Seperti seruan apostolik Vita consecrata (1996), yang memiliki nilai teologis yang luar biasa, gerejani dan sarat dengan pengarahan, telah menghimpun dan menegaskan buah-buah terbaik dari aktualisasi post-konsili.

Secara khusus, dengan dokumen Vita consecrata menjadi jelaslah pandangan dan acuan dasar hidup bakti dalam misteri Tritunggal: «Hidup bakti mewartakan apa yang oleh Bapa, dengan perantaraan Putra dan dalam Roh, dilaksanakan dalam cintakasihNya, kebaikanNya dan keindahanNya. Kenyataannya, “status religius […] secara istimewa menampilkan keunggulan Kerajaan Allah melampaui segalanya yang serba duniawi, dan menampakkan betapa pentingnya Kerajaan itu. Selain itu juga memperlihatkan kepada semua orang keagungan mahabesar kekuatan Kristus yang meraja dan daya Roh Kudus yang tak terbatas”. […] Begitulah hidup bakti menjadi suatu meterai kelihatan yang dikenakan pada sejarah oleh Tritunggal Mahakudus, sehingga orang-orang dapat merasakan penuh kerinduan daya tarik keindahan Ilahi»[11]. Hidup bakti dapat sampai kepada confessio trinitatis saat menghadapi tantangan hidup bersaudara «bila anggota-anggota hidup bakti berusaha hidup ‘sehati sejiwa’ (Kis. 4:32) dalam Kristus»[12]. Dengan perspektif trinitaris ini muncullah suatu tantangan besar akan kesatuan dan kebutuhan ekumenis dalam doa, kesaksian, penderitaan sebagai jalan dan tutunan untuk para kaum religius: «Doa Kristus kepada Bapa sebelum Ia menderita sengsara, supaya para muridNya bersatu (bdk. Yoh. 17:21-23) tetap hidup dalam dia maupun kegiatan gereja. Bagaimana mungkin mereka yang dipanggil untuk hidup bakti tidak merasa diri terlibat?»[13].

Demikian pula, bimbingan yang tekun dan bijaksana dari Kongregasi ini telah ditawarkan dengan berbagai cara –instruksi-instruksi, surat-surat, orientasi-orientasi– dan pengawasan yang periodis dengan kriteria bimbingan untuk dapat tetap bertahan pada keaslian dalam pengaktualisasian konsili dan agar tetap setia pada identitas dan misi gerejani, dengan melalui pemahaman bersama dan dengan kenabian yang berani.

Meskipun demikian, hal itu tidak berarti menyangkal semua kelemahan dan kelelahan. Lebih tepatnya kita harus mampu mengenali dan memberi nama agar jalan yang kita ambil tidak hanya berkelanjutan, namun juga mengakar kuat pada kesetiaan dan kreativitas. Demikian juga, sangatlah perlu memandang muka dengan muka dan dengan realistis, segala situasi baru dimana hidup bakti dipanggil untuk mengukur dan mewujudkan diri sendiri.

Cara-cara Baru yang Meminta Jawaban Kita

7.      Beragam pelayanan yang dilakukan oleh hidup bakti pada puluhan tahun belakangan ini menderita suatu perubahan radikal akibat evolusi sosial, ekonomi, politik, ilmiah, teknologis, dan juga akibat dari intervensi pemerintah dalam banyak sektor yang berhubungan erat dengan karya-karya hidup bakti. Semua itu menyebabkan berubahnya pula cara berelasi kaum religius dengan lingkungan sekitarnya dan cara membawakan diri dalam menghadapi orang lain. Sementara itu muncul jugalah kebutuhan-kebutuhan baru dan yang tidak dikenal sebelumnya dan bahkan yang hingga sekarang belum dapat ditanggapi, semua itu mengetuk pintu hidup bakti dan menuntut jawaban berdasarkan kesetiaan yang kreatif.

Kemiskinan masa kini mengetuk hati nurani para kaum religius dan meminta pada karisma-karisma mereka bentuk baru untuk dapat menanggapi segala situasi baru dan memberi perhatian pada orang-orang yang tersisihkan dari sejarah. Konsekuensi dari semua itu adalah berkembangnya bentuk-bentuk baru dari penerimaan dan pelayanan di perbatasan-perbatasan ekistensial. Janganlah pula kita melupakan perkembangan dari inisiatif-inisiatif para relawan, dimana banyak dari kaum awam dan religius, laki-laki dan perempuan yang berpartisipasi dalam sebuah sinergi yang kaya dari «kegiatan-kegiatan baru dalam kerasulan»[14], agar «menjadi lebih efektif juga tanggapan terhadap tantangan-tantangan berat jaman sekarang, berkat sumbangan-sumbangan serentak pelbagai karunia»[15]. Simfoni ini terbentuk atas dasar sakramen baptis yang menjadi akar yang menyatukan seluruh murid Kristus yang terpanggil untuk memadukan kekuatan dan cita-cita agar dunia ini menjadi lebih indah dan rumah bagi semua.

Banyak kongregasi, terutama kongregasi feminim, telah mulai memberi prioritas pendirian kepada gereja-gereja muda dan mereka telah mengalami situasi monokultural dalam tantangan multikultural saat ini. Dan dengan demikian sedikit demi sedikit mereka membangun suatu komunitas internasional yang bagi beberapa lembaga merupakan bukti dari keberanian mereka untuk keluar dari lingkup geografi dan budayanya. Mereka telah memulai pengalaman pelayanan dan keberadaan di tengah-tengah konteks asing ataupun konteks multireligius; komunitas-komunitas baru yang hidup dalam situasi lingkungan yang sulit tidak jarang memiliki resiko kekerasan dalam berbagai bentuk. Pengalaman-pengalaman tersebut telah membawa perubahan mendasar dalam keluarga religius, entah dalam nilai-nilai budaya untuk ditularkan ataupaun sebagai model gereja dan gaya semangat inovatif mereka. Peristiwa eksodus ini tentu saja telah menggoncangkan skema formatif yang tradisional yang tidak lagi cocok untuk panggilan-panggilan baru dan konteks yang baru pula. Semua itu tentunya merupakan sebuah kekayaan yang sangat besar, namun pada saat yang sama juga dapat menjadi sumber berbagai macam pertentangan yang dapat menyebabkan keretakan dalam kongregasi-kongregasi yang memiliki sedikit pengalaman dalam bermisi.

8.      Evolusi kontemporer dari masyarakat dan budaya yang terjadi sangat cepat, luas, tiba-tiba dan kadang juga semrawut, telah menempatkan hidup bakti pada sebuah tantangan dan penyesuaian yang terus menerus. Hal ini juga menuntut agar hidup bakti terus memberikan jawaban-jawaban baru yang berjalan seiring dengan krisis pembangunan proyek-proyek historis dan profil karisma. Tanda-tanda dari krisis ini adalah kelelahan yang amat jelas. Kita harus mengakui bahwa di beberapa kasus permasalahannya terletak pada ketidakmampuan untuk beralih dari prosedur biasa (management) kepada pemberian bimbingan pada situasi di mana dibutuhkan kebijaksanaan dalam bertindak. Memang bukanlah tugas yang mudah beralih dari sekadar melakukan prosedur yang sudah kita kenal kepada memimpin sampai ke tujuan dan cita-cita dengan suatu kepastian yang melahirkan kepercayaan yang sungguh-sungguh. Itu berarti tidak berpuas diri dengan sekadar menyusun strategi-strategi untuk dapat bertahan hidup, namun lebih dari itu harus ada kebebasan sejauh dibutuhkan untuk melangsungkan proses seperti yang terus diingatkan oleh Paus Fransiskus. Terlebih lagi, dibutuhkan pelayan-pelayan yang memiliki kemampuan memimpin, membimbing dan bekerja sama dengan suatu sinergi yang dinamis. Hanya dengan kekuatan bersamalah kita mungkin menghadapi transisi ini dengan sabar dan bijaksana dan dengan visi yang jelas.

Dengan berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan yang ada semakin menjadi rumit sehingga melumpuhkan hidup bakti dan lembaga-lembaganya. Situasi yang sangat cepat berganti ini membuat ruwet hidup lembaga-lembaga hidup bakti dan dengan terpaksa mereka harus seakan-akan hanya hidup untuk mampu melewati masa-masa kritis dan bukannya hidup dengan pandangan mengarah pada masa depan. Kadang hidup bakti tampak seperti sudah terbungkuk karena beban perkara sehari-hari atau karena usaha-usaha sekadar untuk bertahan hidup. Cara menghadapi realitas seperti ini tentu menodai dan merendahkan martabat hidup bakti yang seharusnya penuh makna dan mampu menjadi saksi kenabian.

Usaha-usaha untuk mengatasi keadaan kritis yang semakin lama semakin mendesak tentu menguras lebih banyak tenaga dari yang kita pikirkan. Ini membawa resiko untuk hanya memikirkan bagaimana lepas dari permasalahan yang ada dan bukan mempelajarinya terlebih dahulu. Dari usaha yang sangat melelahkan ini nampak sepertinya dorongan karisma konsili telah hilang. Komitmen pembaharuan dan kreativitas ditanggalkan dan telah terhenti, justru ketika kita dipanggil untuk bersedia merangkul eksodus yang baru. Pada banyak kasus, ketakutan akan masa depan melemahkan dan bahkan mematikan pelayanan kenabian –seperti yang selalu ditekankan oleh Paus Fransiskus[16]– di mana hidup bakti dipanggil untuk hidup dalam gereja demi kebaikan semua manusia.

9.      Sekarang ini adalah baik dan perlu, berhenti dan mencoba menilai serta memahami kualitas dan rasa anggur baru yang telah dihasilkan selama ini lewat pembaharuan post-konsili. Tepatlah saatnya untuk memunculkan beberapa pertanyaan. Yang pertama mengenai keharmonisan dan keselarasan antara struktur, organisme, peran, gaya yang telah ada sejak dulu dan yang telah diperkenalkan di tahun-tahun ini untuk menanggapi mandat konsili[17]. Yang kedua, mempertimbangkan apakah elemen-elemen penerima yang ada saat ini dalam hidup bakti mampu menerima segala hal-hal baru yang nyata dan mampu menahan –menurut perumpamaan anggur baru yang berfermentasi dan bergolak– proses transisi yang ada hingga mencapai keadaan yang benar-benar stabil. Dan yang terakhir, dapatlah kita bertanya pada diri sendiri apakah anggur baru yang kita kecap dan kemudian kita tawarkan untuk diminum benar-benar angur baru, enak dan sehat, ataukah kendati memiliki maksud baik dan usaha yang patut dipuji, kita menawarkan anggur campuran untuk menutupi masamnya konsekuensi-konsekuensi dari panen anggur yang buruk akibat perawatan yang tidak baik.

Pertanyaan-pertanyaan ini dapat kita munculkan dengan kesederhanaan dan kesungguhan (parresia), namun jangan sampai kesalahan yang rumit yang kita temui membuat kita jatuh dan pasrah begitu saja karena ini dapat menghadang jalan kita untuk maju. Dapatlah kita mengambil waktu sejenak untuk melihat bersama-sama apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan kantung kulit hidup bakti kita. Yang dimaksudkan adalah untuk membandingkan kualitas anggur baru dari anggur baik dan bukan untuk menyalahkan diri sendiri ataupun orang lain. Kita yang adalah penjaga-penjaga tercinta, kita dipanggil untuk mencurahkan anggur ini demi kebahagiaan semua orang, terutama mereka yang termiskin dan terkecil.

Terlepas dari segala perubahan yang ada, kita tidak perlu takut untuk mengakui dengan tulus bahwa sistem kelembagaan yang lama memiliki kesulitan untuk melangkah dengan mantap menuju model-model yang baru. Mungkin saja rangkaian-rangkaian yang sudah kita kenal dan terbiasa, seperti rangkaian bahasa dan model, nilai dan kewajiban, spiritualitas dan identitas gerejani, belum memberi tempat yg cukup untuk dilakukannya pemeriksaan dan pengaturan terhadap paradigma baru yang muncul dari inspirasi dan praktek-praktek post-konsili. Kita sedang hidup dalam suatu fase kebutuhan dan kesabaran untuk membangun kembali semua yang berhubungan dengan warisan dan identitas hidup bakti dalam gereja dan sejarah. Kita harus juga berani menunjuk dan membaca segala perlawanan kuat yang selama beberapa waktu terkubur dan yang sekarang bertunas kembali, secara eksplisit, dalam banyak konteks dan juga merupakan jawaban dari rasa frustrasi yang terselubung.  Di beberapa kenyataan hidup bakti, boleh jadi yang berhubungan dari sudut pandang jumlah dan sarana yang dimiliki, terasa adanya ketidakmampuan untuk menerima tanda-tanda dari hal-hal baru yang muncul: keterbiasaan pada rasa anggur tua dan rasa tenang karena kepercayaan diri terhadap segala kemampuan yang telah terbukti dari pengalaman, kurangnya disposisi dalam menghadapi perubahan, kecuali perubahan yang secara esensi tidak relevan.

10.  Setelah memaparkan dan berbagi tentang keadaan hidup bakti saat ini, kami ingin mempresentasikan hal-hal yang merupakan ketidaksesuaian dan perlawanan-perlawanan. Dan itu kami paparkan dengan kejujuran dan kesetiaan. Kita tidak dapat lagi menunda tugas ini, yaitu mencoba memahami bersama dimana letak simpul yang harus diurai untuk dapat keluar dari kelumpuhan dan mampu mengatasi rasa takut terhadap masa depan. Selain mencoba untuk memberi nama hal-hal yang menjadi penghalang perkembangan dan pembaharuan yang dinamis dari sifat kenabian hidup bakti tersebut, menurut kami inilah waktu yang tepat untuk menawarkan beberapa orientasi agar kita tidak terjebak dalam rasa takut dan rasa malas. Dalam hal ini kami akan mencoba menawarkan beberapa saran dalam hal langkah-langkah formasi, petunjuk-petunjuk yuridis yang diperlukan untuk dapat berkembang, beberapa nasihat tentang pelayanan kepemimpinan agar para pemimpin benar-benar dapat melayani dengan gaya persaudaraan yang erat. Menurut kami penting juga menaruh perhatian khusus pada dua hal yang rentan dalam hidup bakti: formasi dan kepemilikan bersama.

Sebagai dasar dari seluruh perjalanan ini, menurut kami penting untuk menggarisbawahi kebutuhan kaum religius akan dorongan baru menuju kekudusan, sebab tidaklah mungkin melayani Kerajaan Allah tanpa suatu dorongan semangat baru dalam membaca dan mencintai Injil. Roh Yesus yang bangkit menggerakkan kita dengan terus berbicara melalui wahyuNya dalam gereja.

Paus Fransiskus meneguhkan kita dalam perjalanan ini: «Untuk anggur baru, kantung kulit baru pula. Apa yang Injil bawa untuk kita? Kegembiraan dan perubahan. Perubahan, kebaruan, untuk anggur baru, kantung kulit baru pula. Dan jangan takut akan perubahan hal-hal yang sesuai dengan hukum Injil. Karena itu gereja meminta kita semua untuk melakukan beberapa perubahan. Gereja meminta kita untuk meninggalkan struktur-struktur lama yang sudah usang: tidak berguna lagi! Gereja meminta kita untuk menggunakan kantung kulit baru, yaitu Injil. Injil itu selalu baru! Injil adalah sebuah perayaan pesta. Hanya dengan hati yang gembira dan telah diperbaharui, kita mampu hidup dalam kepenuhan injil. Kita harus memberi tempat pada hukum sabda bahagia, pada kegembiraan dan kebebasan yang dibawa oleh Injil. Semoga Tuhan mengaruniai kita berkat untuk tidak tinggal dalam rasa takut, namun semoga Dia menganugerahi kita dengan kebahagiaan dan kebebasan berkat kebaruan Injil»[18].


II. TANTANGAN-TANTANGAN YANG MASIH TERBUKA


11.  Apa yang dikatakan Yesus tentang penolakan terhadap perubahan –karena anggur yang lama lebih enak (bdk. Luk. 5:39)– adalah sebuah gejala yang dapat kita temukan di semua bidang kehidupan manusia dan sistem-sistem budaya. Kadang karya-karya yang baik tercampur dengan yang kurang baik, seperti diajarkan oleh Injil dalam perumpamaan-perumpamaan gandum dan ilalang (Mat. 13:25-30), juga tentang pukat yang penuh dengan ikan yang «baik dan tidak baik» (Mat. 13:47-48). Hal ini tidak seharusnya mengejutkan kita, melainkan haruslah kita dapat terus berjaga-jaga dan waspada untuk mengenali kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang menghalangi proses-proses yang diperlukan untuk dapat memberi kesaksian yang otentik dan terpercaya.

Semua sistem yang sudah stabil cenderung menolak perubahan dan sedapat mungkin mempertahankan posisinya dengan menutup-nutupi keganjilan yang ada, atau menerima perubahan dengan sekadar menempelkan sistem yang baru pada yang lama, atau menyangkal kerapuhan dari sistem lama demi mempertahankan kedamaian palsu, bahkan sampai menyamarkan tujuan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang bersifat dangkal. Contoh-contoh ketaatan yang sekadar formalitas seperti ini tanpa adanya pertobatan dari hati sayangnya masih banyak kita temui.

Panggilan dan Jati Diri

12.  Secara realistis kita mencatat bahwa jumlah orang-orang yang meninggalkan hidup religius masih memiliki angka yang tinggi. Pentinglah kita melihat sebab-sebab utama dari kepergian mereka, yang terjadi baik setelah selesainya tahap formasi (profes, tahbisan), atau pada umur yang telah lanjut. Fenomena ini sekarang terjadi di semua konteks budaya dan geografi.

Kita harus katakan dengan jelas bahwa hal itu terjadi tidak selalu dan tidak hanya disebabkan oleh krisis afektif. Krisis afektif tersebut sering kali terjadi akibat akumulasi dari kekecewaan-kekecewaan masa lalu terhadap komunitas yang hidup tanpa otentisitas. Kesenjangan antara nilai-nilai yang seharusnya dihidupi dengan kenyataan yang ada dapat menghantarkan seseorang pada suatu krisis iman yang berat. Stres akibat banyaknya kegiatan dan hampir semua bersifat mendesak juga menyebabkan tidak tercapainya suatu kehidupan rohani yang solid, yang mampu menutrisi dan mendukung keinginan untuk setia dalam jalan panggilan. Pada beberapa kasus  yang terjadi pada komunitas-komunitas yang mayoritas anggotanya berusia lanjut, anggota yang berusia lebih muda mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan pembaharuan dalam penginjilan, baik di bidang spiritualitas, doa, maupun aktivitas pastoral. Frustrasi seperti ini menjadikan pilihan keluar dari hidup religius sebagai satu-satunya jalan keluar untuk tidak jatuh lebih dalam lagi.

Hasil-hasil studi sosiologis menunjukkan bahwa orang-orang muda masih memiliki cita-cita dan keinginan baik serta kesediaan serius untuk berkomitmen guna mencapai cita-citanya tersebut. Terlihat bahwa mereka juga memiliki kesediaan untuk transendensi, solidaritas, kemauan untuk membela kebenaran dan kebebasan. Gaya hidup religius yang standar –sering juga berada di luar konteks budaya– dan juga dengan usahanya yang kadang terlalu berpusat pada pengolahan karya, beresiko tidak mampu melihat keinginan terdalam dari orang-orang muda. Hal ini menciptakan suatu kekosongan yang menyebabkan sulitnya estafet generasi dan kakunya dialog antar angkatan.

Sehubungan dengan itu perlulah kita mempertanyakan secara serius kepada diri kita sendiri tentang sistem formasi yang ada. Memang di tahun-tahun ini kita telah melakukan perubahan-perubahan yang positif dan pada arah yang benar, namun semua itu dilakukan tidak secara berkesinambungan sehingga tidak sempat sampai pada suatu modifikasi struktur yang penting dan yang merupakan tulang punggung formasi. Meski telah dilakukan banyak usaha dan pencurahan perhatian yang tekun kepada sistem formasi, namun tampaknya tidak berhasil untuk menyentuh hati dan mencapai perubahan yang sesungguhnya. Ada kesan bahwa metode formasi yang ada hanya bersifat informatif dan bukannya konstitutif. Hasilnya adalah orang-orang yang tetap rapuh keyakinan eksistensialnya dan juga imannya. Hal ini membawa pada ketidakstabilan psikologis dan spiritual, yang kemudian berujung pada ketidakmampuan untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada misi dan ketidakberanian berdialog dengan budaya dalam konteks sosial maupun gereja.

13.  Perubahan yang baru-baru ini terjadi dari banyak lembaga telah memperburuk masalah seputar pembauran dengan berbagai budaya. Satu situasi yang sulit bagi beberapa lembaga adalah, di satu sisi, puluhan anggotanya yang berusia lanjut sangat terikat pada ‘kenyamanan’ budaya tradisi klasik dari lembaga; di sini lain, banyaknya anggota-anggota muda –yang datang dari berbagai budaya– dengan semangat yang besar, merasa tersisihkan dan tidak dapat menerima peran sebagai bawahan. Keinginan yang besar untuk memikul tanggung jawab untuk dapat keluar dari situasi ‘ketundukan’ ini, dapat menyebabkan munculnya bentuk-bentuk pengambilan keputusan yang dipaksakan oleh beberapa kelompok. Dari kejadian seperti itu muncul penderitaan-penderitaan dan ketersisihan, perasaan tidak dipahami dan perasaan tertekan yang dapat menimbulkan krisis dalam proses tak terhindarkan dari inkulturasi Injil.

Tegangan inkulturasi ini lebih memperjelas adanya jarak yang semakin lebar antara pola pikir klasik dalam bentuk-bentuk standar di hidup bakti dengan pola pikir yang berbeda yang didalamnya terdapat konteks-konteks gereja dan budaya dan yang diharapkan ada saat ini. Gaya ‘kebarat-baratan’ dan ‘keeropa-eropaan’ yang tampaknya sejalan dengan proses besar globalisasi harus kita singkiran dari dalam hidup bakti. Makin lama makin jelas bahwa yang terpenting bukanlah mempertahankan bentuk-bentuk, melainkan kesediaan untuk melakukan pertimbangan secara berkesinambungan tentang hidup bakti sebagai kenangan injili dari suatu pertobatan terus menerus yang terpancar dari dorongan hati dan pilihan-pilihan konkrit.



Dalam usaha untuk mencapai pertumbuhan harmonis dari dimensi rohani dan manusiawi ini, perlu adanya perhatian khusus dalam antropologi budaya-budaya yang berbeda dan kepekaan dari generasi baru yang mengacu pada kekhususan dari konteks-konteks hidup yang baru. Hanya dengan usaha melihat kembali dan berusaha memahami dengan mendalam tanda-tanda yang mencerminkan keadaan hati sebenarnya dari para generasi baru, dapat dihindari bahaya akan munculnya ketaatan yang dangkal menurut kecenderungan masa kini yang hanya puas dengan pencarian tanda-tanda eksternal untuk menunjukkan suatu kematangan identitas. Jadi, perlulah adanya pemeriksaan mendalam dari motif-motif panggilan dengan menaruh perhatian khusus pada pelbagai wajah budaya dan benua[19].

15.  Meskipun semua lembaga memiliki Ratio formationis (sistem formasi), namun penerapan dari rute-rute formasi terus berubah dan berkurang terutama dalam lembaga-lembaga feminin dimana kepentingan karya lebih sering dinomorsatukan daripada proses formasi yang subur, sistematis dan teratur. Karya dan tuntutan kerja yang makin mendesak dalam keseharian komunitas memiliki resiko terciptanya regresi atau kemunduran yang merugikan berkenaan dengan semua proses yang telah dijalani setelah konsili.

Dari sudut pandang ini, kita seharusnya menghindari, baik studi-studi teologis yang tidak berkesinambungan maupun studi-studi yang hanya mementingkan titel profesional, demi keseimbangan formasi dalam hidup bakti. Akibatnya memang ada resiko masing-masing lembaga yang tampak seperti membangun dunianya sendiri terpisah dari dunia luar dan tertutup dari segala bentuk interaksi. Dalam waktu dekat, haruslah kita memiliki generasi kaum religius muda yang tidak hanya berbekal titel akademis namun juga terbentuk sesuai identitas dan nilai-nilai hidup yang seturut jejak Kristus.

16.  Banyak lembaga tidak memiliki sumber daya manusia yang memiliki persiapan memadai untuk menjalankan tugas formasi. Ini adalah sebuah kekurangan yang terjadi di mana-mana, terutama pada lembaga-lembaga kecil yang melebarkan eksistensinya ke benua-benua lain. Kita harus ingat bahwa dalam proses formasi tidak boleh ada terlalu banyak improvisasi, karena proses itu menuntut suatu persiapan jangka panjang dan terus menerus. Tanpa adanya formasi yang andal bagi para formator, tidak mungkin saudara-saudari yang dipercayai untuk melakukan tugas ini, mampu melakukan pendampingan yang nyata dan menjanjikan untuk generasi yang lebih muda. Agar proses formasi menjadi lebih efektif, harus didasarkan pada pedagogi yang sangat spesifik dan personal, yang tidak terbatas pada rancangan nilai-nilai, spiritualitas, waktu, gaya dan bentuk yang sama untuk semua orang. Kita sedang menghadapi tantangan personalisasi, seperti model awal formasi yang menuntut adanya hubungan langsung antara guru dan murid, berjalan berdampingan dengan penuh rasa percaya dan penuh pengharapan.

Dalam konteks ini ditekankan kembali perlunya memberi perhatian penuh pada pemilihan formator. Misi utama mereka adalah menyampaikan «keindahan mengikuti Kristus dan nilai karisma untuk melaksanakan itu»[20] pada orang-orang yang dipercayakan pada mereka. Yang terutama diharapkan dari para formator adalah agar mereka menjadi «orang-orang yang akrab sekali dengan jalan mencari Allah»[21].

Para kaum muda sering secara prematur diikutsertakan ke dalam kegiatan-kegiatan yang berintensitas dan memiliki tuntutan tinggi. Hal ini menyebabkan sulitnya mengikuti sebuah proses formasi yang serius. Tidaklah mungkin menyerahkan proses formasi hanya kepada orang yang bertanggung jawab menangani kaum muda, seperti seolah-olah itu adalah masalahnya sendiri. Dibutuhkan adanya kerja sama dan keikutsertaan yang harmonis dan membangun dari seluruh komunitas, tempat «panduan awal memasuki jerih payah dan kegembiraan hidup berkomunitas»[22]. Di dalam kebersamaan dan persaudaraanlah kita belajar untuk menerima orang lain sebagai anugrah Allah, menerima segala sifat positif bersama dengan perbedaan-perbedaan dan kekurangan-kekurangan yang ada. Dalam persaudaraanlah kita belajar berbagi berkat yang kita terima demi pertumbuhan semua orang. Dalam persaudaraan jugalah kita belajar tentang dimensi misi kongregasi[23].

Sehubungan dengan formasi berkelanjutan, ada resiko sangat besar untuk banyak bicara dan sedikit kerja nyata. Tidak cukuplah hanya dengan mengadakan kursus-kursus yang memaparkan informasi teoris teologis dan membahas tema-tema tentang spiritualitas, namun sangatlah mendesak kebutuhan untuk membangun suatu budaya formasi yang terus menerus  (formasi permanen). Budaya ini harus dibentuk tidak hanya dari penjabaran konsep-konsep teori, melainkan juga dari kemampuan untuk mengevaluasi dan merivisi penerapan konkritnya dalam komunitas. Selain itu, janganlah kita mengaburkan makna dari formasi permanen ini menjadi suatu kesempatan berefleksi melalui suatu bentuk rekreasi rohani dengan mengunjungi tempat-tempat awal lahirnya tarekat. Ada juga kecenderungan menggabungkan peristiwa formasi dengan peringatan-peringatan khusus (seperti perayaan-perayaan pesta tarekat, peringatan atau ulang tahun kaul -25 atau 50 tahun-), seakan-akan formasi bukanlah suatu tuntutan yang bersifat mendalam atas dinamika kesetiaan pada berbagai tahap kehidupan[24].

Makin lama makin dirasakan pentingnya memasukkan dalam formasi berkelanjutan suatu pengenalan serius tentang kepemimpinan dalam komgregasi. Tugas ini makin dirasakan penting dalam hidup berkomunitas, sebab kita sering terlalu mengandalkan improvisasi sehingga formasi berkelanjutan dilaksanakan dengan cara yang tidak tepat dan tidak memuaskan.

Yang Berhubungan dengan Kemanusiawian

Hubungan timbal balik laki-laki-perempuan

17.  Dalam bentuk-bentuk kehidupan yang ada, struktur organisasi dan pemerintahan, dalam gaya bahasa dan gambaran umum, kita adalah pewaris dari sebuah mentalitas yang menonjolkan perbedaan yang mendasar antara laki-laki dengan perempuan, yang merugikan kesetaraan martabat mereka. Berbagai macam prasangka sepihak yang terdapat dalam masyarakat dan juga gereja, menghalangi kemampuan untuk mengenali karunia-karunia dari sifat kewanitaan[25] dan sumbangan otentik yang dapat diberikan oleh kaum perempuan. Kaum perempuan khususnya dalam hidup bakti mengalami diskriminasi dan dianggap remeh, mereka disingkirkan dari kehidupan, kerasulan dan misi dalam gereja[26]. Dengan adanya pembaharuan post-konsili, telah muncul dan disebarluaskan peningkatan apresiasi terhadap peran kaum perempuan. Abad ke-20 yang lalu telah ditetapkan sebagai “abad kaum perempuan”, yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kewanitaan dalam budaya modern, seperti diakui oleh Santo Paus Yohanes XXIII sebagai satu dari «tanda-tanda jaman»[27] yang paling jelas.

Namun sejak dulu hingga sekarang kepekaan baru ini masih mengalami penolakan dalam komunitas gereja dan kadang juga di antara kaum perempuan religius sendiri. Baru-baru ini, ajaran gereja yang membahas tema ini, khususnya dari Paus Paulus VI, Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI, telah mendorong kaum perempuan untuk menyadari martabatnya.

Saat ini banyak kaum religius perempuan yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran positif yang membantu proses pertumbuhan dari sebuah visi biblis dari kemanusiawian dalam masyarakat yang ditandai stereotip maskulin dalam skema-skema mental dan dalam organisasi sosial-politik-religius. Kaum religius perempuan mendekatkan diri dengan aksi-aksi solidaritas pada penderitaan kaum perempuan yang mengalami ketidakadilan dan yang disingkirkan dari berbagai konteks dunia. Sangat berhargalah kontribusi mereka dalam usaha membaca kembali wahyu kitab suci dengan pandangan perempuan untuk menemukan cakrawala dan cara baru dalam menghidupi karisma feminitas[28] secara kreatif. Tujuan dari karya yang melibatkan kecerdasan dengan diterangi oleh iman dan semangat gerejani ini adalah meningkatkan relasi persaudaraan terutama diantara kaum perempuan dalam gereja, untuk mencapai suatu model antropologis yang berkelanjutan.

18.  Meskipun kita telah menempuh langkah-langkah yang perlu, kita tetap harus mengakui bahwa belum tercapai suatu sintesis yang seimbang dan pemurnian skema serta model-model yang telah diwariskan sejak dulu. Masih banyak halangan yang sulit dihilangkan dalam struktur-struktur dan masih banyak juga ketidakpercayaan dalam gereja dan dalam prosedur-prosedur hidup bakti dalam penyediaan «peluang bagi kaum perempuan untuk berperan serta di berbagai bidang dan pada segala tingkatan, termasuk proses-proses pengambilan keputusan, terutama dalam perkara-perkara yang menyangkut kaum perempuan itu sendiri»[29]. Panggilan-panggilan muda sekarang ini memiliki kesadaran feminis yang menonjol secara alami, yang sayangnya tidak selalu diakui dan diterima sebagai suatu kelebihan. Kritik-kritik akibat ketidaksetujuan muncul tidak hanya dari kaum religius perempuan yang lain, namun juga dari kaum laki-laki dalam gereja yang tetap bertahan pada pola pikir machismo (kelaki-lakian) dan kleris. Kita masih sangat jauh dari tercapainya amanat pembebasan yang Kristus ajarkan, bahwa gereja seharusnya «mewartakan amanat itu secara kenabian, dengan memajukan cara-cara berpikir dan bertindak yang sesuai dengan maksud Tuhan»[30]. Seperti telah ditegaskan oleh Santo Paus Yohanes Paulus II dan yang sering diulangi oleh Paus Fransiskus: «para wanita hidup bakti tepatlah memperjuangkan pengakuan yang lebih jelas terhadap jatidiri, kecakapan, misi dan tanggung jawab mereka, baik dalam kesadaran Gereja maupun dalam hidup sehari-hari»[31].

Dalam lingkup hidup bakti kurang adanya suatu kedewasaan yang sungguh dalam hubungan timbal balik antara kaum laki-laki dengan perempuan: saat ini sudah sangatlah mendesak kebutuhan akan suatu pedagogi yang tepat bagi kaum muda untuk dapat mencapai keseimbangan antara jatidiri dan alteritas (=relasi intersubyektif antara aku dengan orang lain); juga membantu kaum yang berusia lebih tua dalam memahami sisi positif dari hubungan timbal balik yang sopan dan damai. Dapatlah kita berbicara tentang ketidakselarasan kognitif antara kaum religius yang berusia tua dengan yang muda. Bagi beberapa orang, hubungan feminin-maskulin itu sangatlah tabu bahkan sampai ditakuti, sebaliknya bagi yang lain hubungan itu ditandai dengan keterbukaan, spontanitas dan alamiah.

Aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah kelemahan ad intra dari lembaga-lembaga dalam proses integrasi antropologi-budaya dan dalam proses hubungan timbal balik yang saling melengkapi antara elemen-elemen dan antara kepekaan feminin dengan maskulin. Santo Paus Yohanes Paulus II telah menyatakan sah keinginan para kaum religius perempuan untuk memiliki «peluang untuk berperan serta di berbagai bidang dan pada segala tingkatan»[32], namun kenyataannya, secara praktis posisi kita masih sangat jauh dari tujuan. Bahkan ada resiko kemunduran yang parah dalam Gereja, seperti yang dikatakan Paus Fransiskus: «Janganlah kita mengecilkan komitmen kaum perempuan dalam Gereja; sebaliknya, kita harus berusaha memajukan peran aktif mereka dalam komunitas gerejani. Apabila Gereja kehilangan kaum perempuan dengan segala dimensinya yang utuh dan nyata, Gereja beresiko menjadi mandul»[33].

Pelayanan Kepemimpinan          

19.  Dalam hidup bakti, pelayanan kepemimpinan juga tidak terlepas dari crisis dalam pelaksanaannya. Kesan pertama dari beberapa situasi menunjukkan adanya praktek pelaksanaan pemerintahan sentralisasi yang ‘top-down’, baik di tingkat lokal ataupun di tingkat yang lebih tinggi, yang menggantikan kebutuhan subsidiaritas. Bahkan di beberapa kasus terdapat pemimpin-pemimpin yang sangat keras karakter kepemimpinannya, hingga mengabaikan peran Dewan Penasihat, sangat percaya pada kemampuannya untuk bertindak dan merespon (secara mandiri). Dari situ terlihat miskinnya kolegialitas dalam praktek-praktek kepemimpinan, atau dalam kasus ini tidak adanya delegasi-delegasi yang tepat. Pemerintahan tidak dapat ditumpukan hanya pada satu orang saja, hal ini menghindari larangan-larangan dalam Hukum Kanonik[34]. Di beberapa lembaga masih banyak pemimpin yang tidak memperhitungkan keputusan-keputusan kapitel seperti yang seharusnya.

Di banyak kasus terdapat kebingungan antara tingkat umum, provinsi dan lokal karena tidak ada jaminan kemandirian dalam subsidiaritas di tiap tingkatan. Cara ini tentu tidak membantu munculnya rasa tanggung jawab yang memberi peluang kemandirian yang tepat. Terlihat juga gejala dari para pemimpin yang hanya mengkhawatirkan agar keadaan tetap seperti sebagaimana keadaan sebelumnya (status quo), mempertahankan «dari dulu selalu begitu». Ajakan Paus Fransiskus «untuk berani dan kreatif […] dengan memikirkan kembali tujuan, struktur, gaya dan metode»[35] berlaku juga untuk badan-badan dan praktek-praktek pemerintahan.

20.  Di hadapan permasalahan-permasalahan yang serius tersebut, tidaklah bijaksana bila pemimpin memilih untuk mewajibkan bawahan melakukan sesuatu seperti yang ia perintahkan karena jabatannya sebagai pemimpin, dengan menanggalkan usaha-usaha seperti meyakinkan dan mempersuasi dengan informasi yang benar dan jujur, dan dengan penjelasan atas keberatan-keberatan yang muncul. Tidak dapat pula diterima suatu bentuk praktek pemerintahan yang berdasarkan pada alasan koalisi, lebih buruk lagi bila didukung dengan prasangka-prasangka yang menghancurkan karisma umum dari lembaga dan berpengaruh negatif pada rasa ikut memiliki. Santo Yohanes Paulus II pernah mengingatkan suatu kebijaksanaan kuno dari tradisi monastik –«Tuhan sering memberi ilham yang lebih baik kepada yang paling muda» (Regula Benedicti, III, 3)– untuk latihan konkrit yang tepat dari semangat kebersamaan yang memajukan dan memastikan partisipasi efektif bagi semua[36].

Tidak ada pemimpin, bahkan seorang pendiri sekalipun, dapat menjadi satu-satunya penafsir karisma atau menganggap diri tidak harus tunduk pada aturan-aturan dari hukum umum Gereja. Tingkah laku seperti itu dapat menyebabkan munculnya kecurigaan, ketidakpercayaan terhadap unsur-unsur lain dalam Gereja[37], dalam keluarga religius atau dalam komunitas yang bersangkutan.

Di tahun-tahun ini –khususnya dalam lembaga-lembaga yang baru berdiri– ada kejadian-kejadian dan situasi yang menunjukkan suatu manipulasi kebebasan dan martabat manusia. Tidak hanya menurunkannya sampai pada tingkat ketergantungan total yang menyiksa hak dasar dan martabat manusia, namun juga berusaha membujuk dengan tipuan dan dalih kesetiaan pada karya Allah melalui karisma, agar tunduk sampai pada tingkatan moral terendah dan bahkan sampai keintiman seksual. Dan ketika kejadian ini terungkap tentu saja menimbulkan skandal yang besar.

21.  Perasaan memiliki kewajiban untuk meminta ijin terus menerus pada setiap kegiatan sehari-hari sebenarnya dapat dihindari dalam pelayanan kepemimpinan. Seorang pemimpin tidak seharusnya mendukung tindakan kekanak-kanakan yang dapat berlanjut kemudian menjadi tingkah tanpa rasa tanggung jawab. Hal ini sama sekali tidak membantu orang mencapai kedewasaan pribadi.

Sayangnya, situasi-situasi seperti ini sering terjadi lebih dari pada yang kita pikirkan, terutama dalam lembaga-lembaga feminin. Ini adalah satu dari banyak alasan lain yang tampaknya menyebabkan kaum religius meninggalkan jalan panggilannya, yang bagi beberapa dari mereka merupakan satu-satunya jawaban untuk dapat keluar dari situasi yang tidak tertahankan lagi.

Menyangkut permohonan berhenti seperti ini, haruslah dipertanyakan dengan serius bagaimana tanggung jawab dari seluruh komunitas dan secara khusus bagaimana tanggung jawab dari para pemimpin. Haruslah dikatakan dengan jelas bahwa kepemimpinan yang bersifat otoriter merusak kehidupan dan kesetiaan para kaum religius! Hukum kanonik menegaskan: «hidup persaudaraan yang menjadi ciri masing-masing lembaga […] ditentukan sedemikian rupa sehingga semua saling membantu untuk dapat memenuhi panggilan masing-masing»[38].

Oleh karena itu, mereka yang melayani tanpa kesabaran dalam mendengarkan dan penerimaan dengan pengertian, berada dalam kondisi kepemimpinan yang miskin secara moral dihadapan saudara dan saudarinya. Sebab «kepemimpinan dari para pemimpin religius harus berciri semangat pelayanan, menurut teladan Kristus yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani»[39]. Haruslah kita meneladani sikap yang dicontohkan oleh Yesus Hamba, yang membasuh kaki para murid agar mendapat bagian dalam hidup dan cintaNya[40].

Model-model Relasional

22.  Mengomentari kantung-kantung kulit baru yang dibicarakan Yesus dalam injil, dikatakan bahwa penggantian kantung kulit tidak terjadi secara otomatis namun menuntut komitmen, kemampuan dan kesediaan akan perubahan. Agar hal itu dapat terjadi, dituntut suatu kesediaan yang besar untuk menolak segala bentuk keistimewaan atau privilese. Haruslah diingat, tidak seorangpun, tidak pula para pemimpin, dapat dikecualikan dari penolakan terhadap skema-skema yang lama dan yang merugikan. Tidak ada perubahan dapat terjadi tanpa meninggalkan peraturan-peraturan yang sudah usang[41] agar terbukalah cakrawala dan kesempatan-kesempatan baru dalam pemerintahan, dalam hidup bersama, dalam pengaturan segala kepemilikan dan dalam misi. Tidaklah mungkin kita dapat bertahan dengan sikap yang lebih mengutamakan pemeliharaan, sebaliknya dibutuhkan suatu pembaharuan yang otentik baik dalam gaya maupun dalam sikap-sikap.

Indikasi dari adanya kebuntuan adalah sentralisasi yang tetap dan terus menerus sama dari para pengambil keputusan dan kurangnya pergantian sumber daya dalam pemerintahan baik di komunitas-komunitas maupun lembaga-lembaga.

Dengan kesungguhan injili, kita harus mengakui bahwa dalam beberapa kongregasi feminim terdapat kepemilikan jabatan seumur hidup. Orang-orang yang sama tetap tinggal dalam pemerintahan, dengan sekadar mengganti posisi atau jabatan dengan jangka waktu yang luar biasa lama. Ada baiknya melengkapi peraturan-peraturan secara spesifik untuk mengurangi efek dari durasi jangka menengah dan jangka panjang dari praktek pemilihan kembali seseorang untuk mengambil tanggung jawab sebagai anggota pemerintahan yang berikutnya. Dengan kata lain, peraturan-peraturan yang mencegah kepemilikan jabatan lebih lama dari jangka waktu yang diatur oleh kanon, dengan mencegah dibuatnya formula-formula yang membingungkan dan ambigu.

23.  Poin lain yang tidak boleh kita tutup-tutupi adalah dalam dasawarsa ini telah meningkat kecenderungan klerikalisasi dalam hidup bakti, yang salah satu gejalanya adalah jumlah lembaga-lembaga religius awam yang menurun dengan drastis[42]. Gejala lainnya adalah para kaum imam religius hampir mendedikasikan pelayanannya secara eksklusif pada keuskupan dan kurang pada kehidupan berkomunitas, sehingga hidup persaudaraannya menjadi lemah.

Refleksi teologis dan eklesiologis tentang figur dan fungsi dari kaum imam religius tetap terbuka, terutama ketika mereka menerima untuk melakukan pelayanan pastoral.

Ada pula gejala yang seharusnya ditolak, yaitu ketika uskup menerima kaum imam religius dalam keuskupannya tanpa adanya penegasan dan pemeriksaan-pemeriksaan yang diperlukan. Sebaliknya, kita juga harus menjaga jangan sampai terlalu mudah lembaga-lembaga religius menerima seminaris diosesan yang dikeluarkan dari seminari keuskupan atau dari lembaga lain tanpa melakukan pemeriksaan sebaik-baiknya[43]. Sangatlah penting memperhatikan ketiga poin yang telah disebutkan di atas dengan tujuan mencegah terciptanya masalah-masalah yang lebih besar bagi pribadi-pribadi dan komunitas-komunitas.

24.  Ketaatan dan pelayanan kepemimpinan terus menjadi topik yang sangat sensitif. Hal ini juga disebabkan adanya perubahan mendasar dan tiba-tiba dari latar belakang budaya dan mentalitas saat ini, yang menyebabkan kebingungan bagi banyak pihak. Dalam konteks kehidupan kita sekarang ini, tidak lagi memungkinkan penggunaan gaya bahasa pembesar dan bawahan. Konteks piramida dan otoriter yang dulu berfungsi sekarang ini tidak diinginkan lagi, karena tidak sesuai dengan semangat kebersamaan dalam mencintai dan merasa diri sebagai bagian Gereja. Kita harus selalu ingat bahwa ketaatan yang sesungguhnya bersumber dari ketaatan kita kepada Allah, hal ini berlaku baik bagi para pemimpin maupun bagi mereka yang menerima ketaatan. Demikian pula mustahil untuk mengabaikan teladan ketaatan Yesus dengan teriakan cintaNya di kayu salib “AllahKu, ya AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:36) dan juga keheningan cinta Bapa.

Paus Fransiskus mengajukan suatu undangan yang mendesak «kepada segala komunitas di seluruh dunia [untuk] meminta secara khusus kesaksian persaudaraan yang memancar dan berdaya pikat. Biarkan setiap orang mengagumi bagaimana Anda saling mendukung dan mendampingi satu sama lain»[44].

Jadi, ketaatan yang sesungguhnya bukan mengesampingkan, namun justru menuntut pelibatan keyakinan pribadi yang telah diperiksa dan dinilai dengan matang, meski keyakinan tersebut tidak sejalan dengan apa yang pemimpin minta. Dan bila kaum religius menjalankan ketaatan dengan rela demi kebersamaan meski ia memiliki pendapat lain yang lebih baik, dia menjalankan suatu ketaatan penuh kasih[45].

Ada suatu kesan yang tersebar luas, bahwa dalam relasi pembesar-bawahan tidak terdapat cukup dasar injili tentang persaudaraan. Lembaga lebih dipentingkan dari pada pribadi-pribadi yang ada di dalamnya. Menurut pengalaman yang dimiliki Kongregasi ini, bukanlah kebetulan bila yang satu dari penyebab-penyebab utama keluarnya kaum religius dari hidup bakti yang paling menonjol adalah: visi iman yang menjadi miskin, konflik-konflik dalam hidup persaudaraan dan hidup persaudaraan yang kekurangan nilai-nilai kemanusiaan.

Kanon (kan. 618-619; bdk. PC 15) menggambarkan dengan baik bagaimana seharusnya para pemimpin membimbing komunitasnya, dengan memperjelas apa yang ditegaskan dalam Perfectae caritatis: «Para pemimpin hendaknya menjalankan kuasa yang diterima dari Tuhan lewat pelayanan […] memimpin bawahan-bawahannya itu selaku putera-putera Allah, serta mengusahakan ketaatan sukarela mereka dengan menghargai pribadi manusiawi mereka […] berusaha membentuk komunitas persaudaraan dalam Kristus, di mana Tuhan dicari dan dicintai melebihi segala sesuatu»[46].

25.  Hubungan antara Pemimpin-Pendiri dalam lembaga-lembaga yang baru didirikan layak mendapat bimbingan dan sorotan khusus. Kita bersyukur pada Roh Kudus atas banyak karisma yang menghidupkan gereja, namun tidak boleh kita menutup-nutupi adanya hubungan yang ambigu akibat konsep ketaatan yang sempit, yang bila dibiarkan nantinya dapat membahayakan lembaga itu sendiri. Dalam beberapa kasus hal ini tidak mampu mendorong terciptanya inisiatif untuk bekerja sama «dengan ketaatan aktif dan penuh tanggung jawab»[47], sebaliknya mengakibatkan munculnya kepatuhan yang kekanak-kanakan dan ketergantungan dalam segala hal. Dengan demikian martabat manusia direndahkan bahkan tidak lagi dihormati.

Dalam kejadian yang terbilang baru ini, kadang masih sulit untuk membedakan antara ‘area intern’ dan ‘area ekstern’ sehingga sulit pula untuk dapat menghargainya secara tepat[48]. Adanya jaminan dalam kemampuan untuk membedakan kedua hal tersebut dapat menghindari campur tangan yang tidak seharusnya yang mengakibatkan ketidakbebasan interior, keterikatan psikologis bahkan sampai pada dominasi hati nurani. Dalam kasus ini, seperti juga kasus-kasus yang lain, diusahakan agar tidak mengarahkan anggota untuk memiliki sifat ketergantungan yang berlebihan, yang cenderung memiliki bentuk plagiat (menjiplak) dan yang berada dalam batas kekerasan psikis. Dalam lingkup persoalan ini, perlu dibuat pemisahan yang jelas antara figur Pemimpin dan Pendiri.

26.  Hidup komunitas yang disamaratakan, yang tidak memberi ruang pada otentisitas, tanggung jawab pribadi dan relasi persaudaraan yang hangat, memiliki konsekuensi kebersamaan yang kaku dan terbatas dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bentuk relasi yang miskin ini terlihat jelas dalam cara komunitas menghidupi persekutuan injili dalam hal kepemilikan harta bersama yang mengubah bentuk relasi persaudaraan. Paus Fransiskus memperingatkan kita: «Krisis finansial dewasa ini bisa membuat kita mengabaikan fakta bahwa hal itu berakar pada krisis manusia yang mendalam: penyangkalan atas keluhuran pribadi manusia!»[49].

Sepanjang sejarah, hidup bakti telah terbukti mampu secara profetis melawan ancaman dari kekuatan ekonomi yang beresiko merendahkan martabat manusia, terlebih para kaum miskin. Dalam situasi global dari krisis finansial seperti yang sering disinggung oleh Paus Fransiskus, kaum religius dipanggil untuk menjadi aktor-aktor yang setia dan kreatif untuk hidup sesuai dengan tuntutan kenabian dalam hidup bersama di komunitas maupun solidaritas dengan dunia luar, terlebih kepada kaum miskin dan lemah.

Ekonomi kita telah berpindah dari ekonomi domestik menjadi proses administrasi dan manajemen yang di luar kendali yang menampakkan kerapuhan dan lebih-lebih ketidaksiapan kita. Kita harus segera memfokuskan diri kembali pada transparansi dalam materi ekonomi dan finansial sebagai langkah pertama untuk memulihkan makna injili yang mula-mula dalam kepemilikan harta bersama di komunitas dan komunikasi terbuka dengan saudara-saudara yang hidup bersama kita.

27.  Dalam komunitas, pembagian harta benda hendaknya dilakukan sesuai keadilan dan rasa tanggung jawab. Dibeberapa kasus, ditemukan rezim yang mengkhianati dasar-dasar penting dari hidup persaudaraan, sedangkan «pemimpin dipanggil untuk meningkatkan martabat manusia»[50]. Tidaklah mungkin kita dapat menerima gaya manajemen di mana otonomi ekonomi beberapa orang disesuaikan dengan orang lain. Hal ini merusak rasa memiliki yang timbal balik dan jaminan kesetaraan meski melihat keberagaman peran dan pelayanan.

Pengaturan gaya hidup individu dari kaum religius tidak terlepas dari penilaian yang serius dan bijaksana terhadap kemiskinan lembaga, sebagai penilaian, tindakan dan kesaksian yang signifikan dalam Gereja dan di antara umat Allah.

28.  Dengan pertimbangan: manusia lebih penting dari benda dan budi pekerti lebih penting dari hal-hal yang bersifat ekonomis, kaum religius harus menjadikan kriteria solidaritas dan kepemilikan bersama sebagai jiwa dari tindakan mereka dan menghindari menejemen sumber daya yang eksklusif di tangan beberapa oknum.

Menejemen dari sebuah lembaga bukanlah seperti sebuah sirkuit yang tertutup, sebab dengan demikian tidak mencerminkan sosok gerejani. Harta benda dari lembaga-lembaga adalah harta benda dari Gereja serta ikut ambil bagian dalam mencapai tujuan yang sama secara injili yaitu peningkatan martabat manusia, pengembangan misi, karya amal dan solidaritas dengan umat Allah: terutama kedekatan dan perhatian terhadap kaum miskin, sebagai komitmen bersama. Hal ini dapat memberikan vitalitas baru pada lembaga.

Bentuk solidaritas yang dihidupi dalam tiap institut dan dalam tiap bentuk kehidupan persaudaraan harus kita perlebar ke lembaga-lembaga yang lain. Dalam Surat Apostolik kepada seluruh kaum religius, Paus Fransiskus mengundang kepada «kebersamaan diantara para anggota dari berbagai lembaga»[51]. Mengapa kita tidak berpikir juga tentang persatuan efektif di bidang ekonomi, khususnya dengan lembaga-lembaga yang sedang mengalami situasi sulit dengan berbagi sumber daya yang kita miliki?[52]. Ini akan menjadi kesaksian yang indah dari kesatuan dalam hidup bakti, suatu tanda kenabian dalam masyarakat kita yang ada dalam situasi «yang didominasi oleh bentuk-bentuk tirani baru, kadang berbentuk virtual, yang secara sepihak dan semena-mena memaksakan hukum-hukum dan aturan-aturannya sendiri»[53], sebuah tirani kekuasaan dan kepemilikan yang «tidak mengenal batas»[54].


III. MEMPERSIAPKAN KANTUNG KULIT YANG BARU


29.  Yesus berkali-kali mengingatkan murid-muridNya untuk waspada terhadap kecenderungan berbalik dari kebaruan pewartaan Injil kepada kebiasaan-kebiasaan yang lama akibat dari sikap kerja yang sekedar melakukan pengulangan-pengulangan. Seperti perumpamaan anggur baru yang harus disimpan dalam kantung-kantung kulit baru, kita dipanggil untuk membiarkan diri dibimbing oleh logika Sabda Bahagia. Khotbah di bukit adalah magna charta dari perjalanan masing-masing murid Yesus: «Kamu telah mendengar yang difirmankan… tetapi Aku berkata kepadamu» (bdk. Mat. 5:21,27,33,38,43). Apabila ini adalah petunjuk bagi kita untuk bergerak, maka Tuhanpun mengingatkan kita untuk waspada terhadap segala bahaya kebocoran legalistik: Berjaga-jagalah terhadap… (Mrk. 8:15, Mat. 16:11, Luk. 12:15).

Kata-kata dan tindakan Yesus ini mendesak kita menuju pada proses yang tidak memiliki akhir dari keterbukaan terhadap kebaruan Kerajaan Allah. Langkah pertama dari keterbukaan ini adalah pertimbangan dan penolakan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai inti dari kesetiaan kepada Allah yang terwujud dalam kesediaan untuk melayani: namun tidaklah demikian di antara kamu (bdk. Mrk. 10:43).

Hidup Yesus Kristus merupakan kisah dari sebuah praktek baru, dimana hidup baru para murid berakar. Mereka dipanggil untuk menjadi sensitif terhadap logika-logika dan prioritas-prioritas baru seperti yang dinasihatkan Injil.

Kesetiaan dalam Roh 

30.  Analisis dari tantangan-tantangan yang masih terbuka seperti yang dibahas dalam bagian pertama dokumen ini harus menghantar kita menuju ambang pintu injili, untuk mampu mengenali titik-titik permasalahan sehingga kita dapat membuka jalan baru yang penuh pengharapan bagi semua. Sebagai perbandingan, dapat kita aplikasikan apa yang disarankan Paus Fransiskus: «Pelayanan pastoral dari sudut pandang perutusan menuntut tindakan meninggalkan sikap puas diri dengan mengatakan, “kami selalu melakukannya dengan cara ini.” Saya mengajak setiap orang untuk berani dan kreatif dalam tugas ini dengan memikirkan kembali tujuan, struktur, gaya dan metode evangelisasi dalam komunitas mereka masing-masing»[55]. Yang dimaksudkan adalah menemukan cara-cara baru untuk memberi kesaksian karismatis dan injili yang otentik dari hidup bakti, mempertimbangkan dan kemudian melaksanakan proses-proses yang dibutuhkan untuk membersihkan dan menyembuhkan diri dari ragi keburukan dan kejahatan (bdk. 1 Kor. 5:8). Dalam proses yang mendebarkan dan menantang ini, ketegangan dan penderitaan yang tidak terelakkan bisa jadi merupakan sebuah tanda-tanda dari perkembangan. Pada kenyataannya kita telah berada di ambang pintu sintesis-sintesis baru yang lahir dari keluhan-keluhan dalam diri yang tak terucapkan (bdk. Rom. 8:23, 26) dan latihan penuh kesabaran dalam kesetiaan yang kreatif[56].

31.  Undangan Paus Fransiskus untuk menghidupi Injil dalam keseharian dengan kegembiraan dan tanpa kemunafikan ini merangsang kita untuk melakukan penyederhanaan sehingga kita dapat menemukan iman dari orang-orang sederhana dan keberanian dari para orang kudus. Keaslian penginjilan (Mrk. 10:43) dimana hidup bakti ingin menjadi kenabian yang menjelma, terjadi melalui tingkah laku dan pilihan-pilihan yang konkrit: terdahulu dalam pelayanan (Mrk. 10:43-45) dan perhatian yang berkesinambungan kepada kaum miskin dan solidaritas kepada kaum kecil dan lemah (luk. 9:48); peningkatan martabat manusia dalam berbagai situasi hidup dan penderitaan (Mat. 25:40); subsidiaritas sebagai suatu cara untuk mencapai kepercayaan timbal balik dan kerja sama yang bebas dan tulus dari dan dengan semua orang.

32.  Untuk dapat menanggapi panggilan dari Roh Kudus dan dari tuntutan jaman, pentinglah kita ingat bahwa «hidup bakti itu berada pada inti Gereja sendiri sebagai unsur yang banyak menentukan misinya, karena “menampilkan sifat batiniah panggilan Kristiani”, serta “daya-upaya segenap Gereja sebagai mempelai menuju persatuan dengan sang Mempelai satu-satunya”»[57]. Tanda-tanda alami yang dimiliki hidup bakti dalam perjalanan sejarah umat Allah menempatkannya secara istimewa sebagai profil nubuat injili. Profil nubuat injili ini merupakan tanda dan buah dari karisma alaminya yang membuat hidup bakti mampu menciptakan sesuatu yang baru dan orisinil. Untuk dapat mencapai hal itu, hidup bakti harus waspada selalu dan siap sedia terhadap tanda-tanda yang diberikan Roh Kudus, sampai mendengarkan bunyi angin (1 Raj. 19:12). Hanya dengan sikap ini kita mampu mengenali jejak-jejak misteri (bdk. Yoh. 3:8) dari berkat Allah, hingga lahirlah kembali harapan akan kesuburan Sabda (bdk. Yoh. 4:35).

33.  Jati diri dan semua yang tercakup di dalamnya, bukanlah sekedar sebuah informasi yang bersifat tetap dan teoris, melainkan merupakan sebuah proses perkembangan bersama. Kesenjangan antargenerasi, interkulturalisme, keberagaman budaya dan hubungan yang ada di dalamnya, bagi institut-institut hidup bakti dapat menjadi tantangan dalam melakukan dialog komunitas yang akrab dan menurut cinta kasih Kristus. Sebab hanya dengan cara itulah semua anggota dapat merasa terlibat dan bertanggung jawab dalam proyek komunitas «sehingga semua saling membantu untuk dapat memenuhi panggilan masing-masing»[58].

Untuk dapat menjawab tantangan tersebut dibutuhkan sebuah modifikasi dalam struktur sedemikian rupa sehingga dapat menjadi bagi semua orang, dukungan terhadap pembaharuan kepercayaan yang menumbuhkan kesetiaan yang dinamis dan dalam persaudaraan.

Bentuk-bentuk Formasi dan Formasi bagi para Formator

34.  Dalam tahun-tahun ini telah terjadi transformasi besar dan mendalam dalam lingkup formasi yang menyangkut metode-metode, bahasa, dinamika, nilai-nilai, tujuan dan tahap-tahap. Sangatlah tepat apa yang telah disinggung ulang oleh Paus Fransiskus: «Kita harus terus memikirkan ‘umat Allah’ […] Kita tidak seharusnya membentuk administrator ataupun manajer, melainkan bapa, saudara, kawan seperjalanan»[59], dan menambahkan pula: «formasi adalah sebuah karya seni, bukan karya kepolisian»[60].
Hampir semua lembaga hidup bakti telah menanggapi tuntutan-tuntutan formasi yang baru dengan melakukan penyesuaian Ratio formationis-nya, yang pada kenyataannya, masih terdapat kesenjangan dalam hal gaya bahasa, kualitas dan ilmu mistagogi. Meskipun merupakan dokumen yang baru dibuat, ‘kumpulan resep-resep’ ini membutuhkan revisi sebab sering merupakan salinan dari kumpulan ‘resep-resep’ yang lain. Sebab masalah formasi awal dan formasi berkelanjutan merupakan aspek mendasar yang menjamin masa depan hidup bakti.
35.  Formasi berkelanjutan secara khusus membutuhkan perhatian secara spesifik, seperti yang telah digarisbawahi Bapa Suci dalam dialog dengan para Pemimpin umum:

a. Formasi berkelanjutan harus mengarah pada identitas gerejani dari hidup bakti dan bukan sekedar mengikuti perkembangan teologi-teologi baru, peraturan-peraturan gereja ataupun studi-studi baru tentang sejarah dan karisma tarekat. Hidup bakti harus memperteguh atau bahkan mencari dan terus mencari posisinya dalam gereja demi pelayanan kepada semua manusia. Sering kali usaha ini terjadi bersamaan dengan ‘pertobatan kedua’ yang muncul pada saat-saat penting dalam hidup, seperti pada usia setengah baya, pada situasi krisis seperti mundurnya seseorang dari aktivitas akibat penyakit atau usia lanjut[61].

b. Kita semua yakin bahwa proses formasi harus berjalan seumur hidup. Namun kita juga harus mengakui bahwa budaya formasi berkelanjutan ini belumlah terbentuk. Hal ini merupakan akibat dari mentalitas yang parsial dan sempit terhadap formasi berkelanjutan, sehingga kita kurang peka dan kurang mau terlibat di dalamnya. Dalam hal praktek pedagogis kita belum menemukan, baik dalam tingkat individu maupun komunitas, suatu program yang konkrit yang dapat menjadi arah pertumbuhan dalam kesetiaan kreatif dengan gema yang baik dan bertahan lama dalam kehidupan nyata.

c. Secara khusus, masih sangatlah sulit kita pahami bahwa proses formasi menjadi berkelanjutan hanya jika terjadi dan dilaksanakan dalam kehidupan dan realitas kita sehari-hari. Masih ada interpretasi sosiologis yang lemah bahwa formasi berkelanjutan merupakan sebuah tuntutan aktualisasi atau situasional dari pembaharuan rohani dan bukannya sebuah sikap yang berkesinambungan dalam mendengarkan dan berbagi panggilan, masalah-masalah dan pandangan akan masa depan. Masing-masing dari kita dipanggil untuk membiarkan diri disentuh, dididik, diprovokasi, diterangi oleh hidup dan sejarah, oleh apa yang kita wartakan dan rayakan, oleh keberadaan kaum miskin dan tersisih, oleh keberadaan mereka yang dekat maupun yang jauh.

d.Demikian juga kita harus memperjelas peran dari formasi awal. Kita tidak dapat lagi merasa puas dengan sekedar membentuk orang-orang yang penurut seturut kebiasaan-kebiasaan dan tradisi yang baik dari kelompok, melainkan formasi harus dapat membuat orang-orang muda menjadi ‘docibilis’. Itu artinya membentuk hati yang bebas untuk belajar dari peristiwa setiap hari dan sepanjang hidup seturut cara hidup Kristus, demi melayani semua orang.

e. Mengacu kepada tema ini, secara khusus dibutuhkan adanya refleksi tentang dimensi struktural dan institusional dari formasi permanen. Seperti setelah konsili Trente, lahirlah seminaris-seminaris dan novis-novis untuk formasi awal, sekarang kitapun dipanggil untuk mewujudkan bentuk-bentuk yang tepat dan struktur-sturktur yang dapat mendukung perjalanan tiap kaum religius menuju suatu penyesuaian yang progresif kepada perasaan-perasaan Putera (bdk. Flp 2:5). Hal ini akan merupakan suatu tanda kelembagaan yang sangat jelas.

36.  Para pemimpin diharapkan untuk selalu dekat kepada kaum religius dalam segala permasalahan yang mereka hadapi dalam perjalanan, baik secara indivudu maupun komunitas. Tugas khusus para pemimpin adalah menemani mereka yang sedang menjalani proses formasi dalam berbagai bentuk dan situasi, dengan dialog yang tulus dan membangun. Masalah-masalah yang muncul mendesak terwujudnya suatu hidup persaudaraan yang di dalamnya terdapat elemen-elemen kemanusiaan dan injili yang seimbang, sehingga masing-masing individu merasa ikut bertanggung jawab dan sekaligus diakui sebagai elemen yang sangat penting dalam membangun persaudaraan. Pada kenyataannya, hidup persaudaraan adalah tempat yang sangat penting untuk formasi berkelanjutan.

37.  Dalam formasi untuk para formator, pentinglah mempersiapkan ahli-ahli dalam bidang-bidang multikultural. «Struktur-struktur yang baik dapat membantu, namun itu saja tidaklah cukup»[62]. Formasi bagi para calon religius dengan struktur antarprovinsi atau internasional menuntut terlibatnya formator-formator yang memiliki keyakinan bahwa «kristianitas tidak hanya memiliki satu ungkapan budaya, melainkan lebih tepatnya, “sementara tetap setia pada dirinya, dalam sikap percaya yang kokoh pada pewartaan Injil serta tradisi Gereja, Kristianitas juga memantulkan pelbagai wajah kebudayaan-kebudayaan dan bangsa-bangsa, di tengah mana dirinya diterima dan mengakar”»[63]. Hal ini memerlukan adanya kemampuan dan juga kerendahan hati untuk tidak memaksakan suatu bentuk budaya tertentu saja, melainkan menumbuh kembangkan semua budaya dengan benih Injil dan tradisi karismatis tarekat, serta dengan wapada menghindari «pengeramatan yang tidak perlu atas budaya kita sendiri»[64].

Sinergi dari pengetahuan-pengetahuan dan kemampuan yang baru dapat membantu proses bimbingan formasi khususnya dalam bidang multikultural, dengan tujuan mengatasi bentuk-bentuk asimilasi atau homogenisasi yang dapat saja muncul kembali di masa depan –dalam proses formasi maupun setelahnya– sehingga melahirkan masalah dalam rasa keanggotaan dari tarekat dan ketetapan hati dalam panggilan mengikuti jejak Kristus.

Menuju Sebuah Keterkaitan yang Injili

Hubungan timbal balik dan proses multikultural

38.  Merenungkan hidup bakti feminim berarti memeriksa secara nyata keadaan tarekat-tarekat dan kaum religius perempuan sebagai individu dan juga sebagai komunitas, dengan memperhatikan juga keadaan saat ini yang rumit. Kita harus mengakui bahwa di tahun-tahun ini, secara khusus setelah dipublikasikannya Mulieris dignitatem (1988), Ajaran Gereja telah meminta dan mengiringi dengan cara pandang yang penuh rasa hormat terhadap proses-proses budaya dan gerejani yang menyangkut tema jati diri kaum perempuan, dan yang mempengaruhi secara jelas (atau kadang juga tidak terlihat) kehidupan bersama dalam tarekat-tarekat.

Secara khusus, keberagaman budaya menuntut suatu ‘langkah ganda’, di satu sisi kita harus dapat berpegang teguh pada suatu budaya yang merupakan dasar jati diri dan di lain pihak kita harus dapat melampaui batas-batas tersebut dengan semakin melebarkan sayap injili. Karena kaulnya, kaum religius memilih untuk hidup dalam sebuah mediasi antara keterikatannya dengan suatu budaya spesifik dan harapannya akan hidup bakti yang sedapat mungkin memperlebar cara pandang dan mempertajam kepekaannya. Menjelajahi peran mediasi ini sangatlah penting, namun tanpa mengistimewakan satu bentuk budaya tertentu.

Dari sudut pandang ini kita dapat melihat perlunya memikirkan kembali teologi hidup bakti dan elemen-elemen yang membentuknya, menerima tuntutan-tuntutan yang muncul dari ranah kaum perempuan dan menggabungkannya dengan ranah kaum laki-laki. Namun perbedaan-perbedaan yang spesifik tidak seharusnya menyingkirkan keberadaanya dari nilai-nilai kemanusiaan yang umum. Penggunaan pendekatan-pendekatan dalam berbagai bidang studi, tidak hanya teologi namun juga ilmu-ilmu tentang manusia dari berbagai sudut pandang, akan sangat membantu.

39.  Proses internasionalisasi yang terjadi sangat aktual dan cepat, khususnya dalam tarekat-tarekat feminim, membutuhkan perhatian yang segera dan spesifik, sebab tidak jarang dalam proses tersebut digunakan pemecahan masalah yang bersifat sementara dan juga terjadi perubahan-perubahan yang tidak bijaksana. Kita harus mengakui bahwa perluasan geografis yang terjadi tidak berjalan seimbang dengan revisi gaya hidup dan struktur yang tepat, juga kerangka mental serta pengetahuan tentang budaya yang memungkinkan terjadinya inkulturasi dan integrasi yang sebenarnya. Secara khusus, adanya pembaharuan yang tidak bijaksana tersebut mempengaruhi juga pengembangan potensi kaum perempuan dalam gereja dan masyarakat seperti yang telah ditunjukkan oleh ajaran dewan kepausan. Kurangnya kesadaran, atau lebih buruk lagi, peniadaan isu-isu feminim, berakibat pada kemunduran dan bahkan merusak generasi baru kaum perempuan. Banyak kaum perempuan yang mempercayakan diri kepada tarekat untuk memulai hidup bakti dan dibentuk untuk mengikuti jejak Kristus, justru diwajibkan untuk menerima begitu saja bentuk-bentuk tingkah laku yang sudang usang, terutama yang berkaitan dengan peran ‘kehambaan’ dan bukannya pelayanan yang berdasar kemerdekaan injili.

40.  Proses internasionalisasi ini seharusnya dilakukan oleh semua tarekat (baik maskulin maupun feminim) yang menjadi tempat berkegiatan yang didasari keramahan antara satu dengan yang lain, sehingga kepekaan dan keberagaman budaya dapat memperoleh kekuatan dan makna di tempat-tempat yang belum mengenalnya, dan ini merupakan tanda kenabian yang sangat besar. Sifat keramahan satu dengan yang lain tersebut dapat dibangun melalui dialog yang sehat antara budaya-budaya yang ada, sehingga kita semua dapat semakin mengimani Injil namun tanpa menanggalkan kekhasan masing-masing. Tujuan keberadaan hidup bakti dalam keberagaman budaya bukanlah mempertahankan kekakuannya, melainkan mempertahankan pertobatan terus menerus sesuai dengan Injil di pusat perkembangan realitas manusia dalam hubungannya dengan berbagai konteks budaya.

Kadang sudut pandang antropologi-spiritual tentang jati diri feminim yang lemah dan belum berinkulturasi dapat memadamkan dan melukai vitalitas dari anggota taraekat hidup bakti. Masih ada banyak hal yang harus dikerjakan untuk membangun model umum dari jati diri feminim  kaum religius. Untuk itu, perlu dikukuhkan struktur-struktur relasi persaudaraan maupun konfrontasi antara pimpinan dengan para saudari. Tidak seorangpun saudari yang boleh diturunkan derajadnya menjadi seorang hamba, seperti yang sayangnya masih sering ditemui sampai saat ini. Keadaan ini dapat menimbulkan sifat kekanak-kanakan yang berbahaya dan menghambat kedewasaan individu tersebut dalam segala aspek.

Harus diperhatikan agar jarak relasi antara mereka yang melayani dalam pemerintahan (dalam berbagai tingkat) atau mereka yang bertugas dalam administrasi harta benda (dalam berbagai tingkat) dengan saudari-saudari yang ada dalam pemeliharaan mereka tidak menjadi sebuah sumber penderitaan akibat kesenjangan ataupun bentuk kepemimpinan yang otoriter. Hal ini terjadi ketika para pemimpin mengembangkan kedewasaan dan kemampuan perencanaan mereka, sementara saudari-saudari yang lain tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri, bahkan sampai kepada bentuk-bentuk yang paling dasar dari pengambilan keputusan dan pembangunan karakter secara individu maupun komunitas.

Pelayanan kepemimpinan: bentuk-bentuk relasi

41.  Dalam sudut pandang yang lebih luas tentang hidup bakti pra-konsili, kita telah menanggalkan bentuk sentralisasi peran pemerintahan menjadi sentralisasi pada dinamika persaudaraan. Karena itu, pemerintahan haruslah merupakan sebuah bentuk pelayanan demi persatuan: suatu pelayanan yang berbentuk berjalan bersama para saudara dan saudari menuju kesetiaan yang disadari dan yang bertanggung jawab.

Sebenarnya, konflik atau ketegangan yang terjadi antar saudara atau saudari dan kesediaan untuk mendengarkan pribadi lain merupakan bentuk pelayanan yang esensial dari bentuk kepemimpinan yang sesuai dengan Injil. Penggunaan teknik-teknik manajemen maupun aplikasi pendekatan-pendekatan rohani dan paternalistik yang dianggap sebagai ekspresi dari ‘kehendak Allah’ sebenarnya bukanlah yang utama. Yang lebih  penting adalah memenuhi panggilan dalam pelayanan yang membutuhkan keberanian untuk berkonfrontasi dengan segala tuntutan orang lain, permasalahan sehari-hari dan nilai-nilai yang dihidupi sendiri dan bersama dengan komunitas.

42.  Tantangan yang ada dalam hubungan pemimpin-bawahan adalah pembagian tanggung jawab dalam sebuah proyek bersama, dengan melampaui sikap sekedar taat demi mempertahankan situasi yang ada atau demi menanggapi kebutuhan yang mendesak dalam bidang manajemen ekonomi, namun tidak sesuai dengan semangat Injil.

Patut juga kita pertimbangkan contoh-contoh yang Kongregasi kami terima berhubungan dengan permohonan persetujuan Konstitusi (penulisan kembali maupun revisi) agar sesuai dengan terminologi yuridis pada saat ini, terutama menyangkut istilah-istilah pemimpin dan bawahan. Sebelumnya, dekrit konsili Perfectae caritatis juga telah mengundang ke arah tersebut dengan berkata: «Hendaknya penataan hidup, doa dan karya di mana-mana, terutama di daerah-daerah misi, sungguh sesuai dengan keadaan fisik dan psikis para anggota jaman sekarang, begitu pula –seperti dituntut oleh corak masing-masing tarekat– selarang dengan kebutuhan-kebutuhan kerasulan, tuntutan-tuntutan kebudayaan, situasi sosial ekonomi»[65].

43.  Pelayanan kepemimpinan harus kita dorong hingga dapat sampai pada kemampuan berkolaborasi dan memiliki visi umum yang berdasar pada semangat persaudaraan. Kongregasi ini, senada dengan alur konsili, mempublikasikan instruksi Pelayanan kepemimpinan dan ketaatan. Faciem tuam, Domine requiram, sebab kami mengakui bahwa «tema ini membutuhkan suatu refleksi yang sangat mendalam, terutama karena telah adanya perubahan-perubahan dalam tarekat-tarekat dan komunitas-komunitas di tahun-tahun belakangan ini; dan juga atas penerangan dari dokumen-dokumen ajaran gereja yang paling baru dalam pembaharuan hidup bakti»[66].

Namun sangatlah memprihatinkan sebab hingga saat ini –lebih dari 50 tahun setelah konsili–, tetap dapat kita temui bentuk-bentuk dan praktek pemerintahan yang menjauh dari semangat pelayanan atau bahkan bertentangan, hingga berubah menjadi bentuk otoriter.

44.  Hak istimewa yang sah dari para pemimpin[67] dalam beberapa kasus, dapat disalahartikan menjadi suatu kekuasaan pribadi yang membuat dirinya menjadi aktor utama. Paus Fransiskus memperingatkan: «Mari kita pikirkan, betapa besar kerusakan yang dapat diakibatkan oleh manusia-manusia pengejar karir, pendaki jabatan dalam gereja; mereka yang seharusnya melayani malahan menggunakan saudara-saudarinya sebagai trampolin demi kepentingan dan ambisi pribadi. Mereka mengakibatkan kerusakan yang sangat besar bagi Gereja»[68]. Tidak hanya itu, mereka yang memiliki tugas pelayanan pemerintahan harus menjaga diri «untuk tidak jatuh dalam godaan swasembada individu, yaitu percaya diri mampu melakukan segalanya sendiri dan bahwa semua hal tergantung padanya»[69].

45.  Pemimpin yang berkarakteristik referensi diri tidak sesuai dengan logika Injil yang menuntut adanya rasa tanggung jawab antar saudara, dan merusak kepastian iman yang seharusnya membimbing mereka[70]. Terbukalah juga sebuah lingkaran setan yang merusak visi iman dan persyaratan yang tegas untuk dapat mengakui peran dari para pemimpin. Pengakuan ini tidak hanya terbatas pada menerima pribadi mereka yang bertugas, namun lebih dari itu pengakuan harus sampai pada kepercayaan dan penyerahan diri secara timbal balik dan apa adanya.

Bentuk otoriter yang diterapkan dalam situasi konflik dan perdebatan dapat menimbulkan lingkaran kesalahpahaman dan melukai orang lain, yang di luar kasus-kasus tertentu, dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakpercayaan dalam tarekat, dan memberatkan jamianan masa depan tarekat tersebut. Mereka yang dipanggil dalam pelayanan kepemimpinan ini –dalam segala situasi– harus memiliki rasa tanggung jawab yang besar, terlebih terhadap saudara-saudarinya. «Hal ini mungkin terjadi bila ada kepercayaan dalam tanggung jawab terhadap saudara-saudari, “membangkitkan ketaatan sukarela yang menghormati manusia sebagai individu”, melalui dialog, dukungan yang diberikan atas dasar “semangat iman dan kasih, untuk meneladan Kristus yang taat”, dan bukan demi motivasi-motivasi yang lain»[71].

46.  «Para pemimpin yang diangkat untuk waktu tertentu jangan tetap memegang jabatan pimpinan lebih lama tanpa tenggang waktu»[72]. Peraturan dalam Hukum Kanonik masih berada dalam tahap asimilasi dan masih terlihat adanya perbedaan-perbedaan dalam penerapannya oleh tarekat-tarekat. Pada umumnya, perbedaan itu terjadi dalam situasi di mana perlu tindakan yang cepat dalam situasi tertentu dan juga karena kurangnya sumber daya manusia, terutama dalam komuntas-komuntas lokal. Tradisi-tradisi tarekat juga mempengaruhi terbentuknya mentalitas yang menjadi penghalang perubahan. Karena itulah peran pemimpin sebagai pelayan  berubah menjadi suatu posisi yang disalahgunakan. Dari sudut pandang ini, peraturan-peraturan dari dalam Hukum tarekat haruslah ditinjau ulang bila dipandang tidak sesuai, namun bila memiliki arah yang jelas, peraturan itu haruslah dihormati.

Hasil evaluasi dari mengapa ada kecenderungan perpanjangan masa jabatan para pemimpin, menunjukkan adanya kekuatiran terhadap kesinambungan dalam prosedur karya-karya lebih daripada perhatian terhadap aktivitas rohani-kerasulan dari komunitas-komunitas. Selain itu, dari hasil evaluasi komunitas-komunitas terlihat bahwa kehadiran saudara-saudari dari generasi saat ini menuntut adanya estafet generasi. Mundurnya waktu pergantian kepemimpinan dapat dimengerti sebagai kekurangpercayaan terhadap kemampuan dan kesempatan dari generasi muda, bahkan dapat menciptakan kekosongan yang di masa depan akan sulit untuk diisi.

47.  Tidak ada seorangpun yang dapat melupakan apa yang dikatakan Bapa Paus Fransiskus mengenai hal tersebut di atas: «Dalam hidup bakti, kita hidup dalam sebuah perjumpaan antara orang-orang muda dengan orang-orang tua, dalam relasi observasi dan nubuat. Janganlah kita melihatnya sebagai sebuah kenyataan yang bertolak belakang. […] Adalah hal yang baik bagi orang-orang tua mengkomunikasikan kebijaksanaannya pada orang-orang muda; dan adalah hal yang baik bagi orang-orang muda menerima warisan pengalaman dan kebijaksanaan ini, menyimpannya baik-baik, namun bukan seperti dalam sebuah museum melainkan menggunakannya untuk menghadapi tantangan-tantangan yang kita hadapi dalam hidup, demi kebaikan keluarga religius itu sendiri dan juga seluruh gereja»[73].



Pelayanan kepemimpinan: Kapitel-Kapitel dan Dewan

48.  Dalam usaha yang terus-menerus untuk mencari, menegaskan dan melakukan pembaharuan ini, ada hal khusus yang sangat penting untuk diperhatikan «Kapitel-Kapitel (atau siding-sidang serupa), entah khusus atau umum, saat Tarekat-tarekat dipanggil untuk memilih para Pemimpin menurut noram-norma yang digariskan dalam Konstitusi mereka, dan untuk mengenali dalam terang Roh Kudus cara-cara yang terbaik untuk melestarikan dan menyesuaikan karisma mereka serta warisan rohani mereka dengan situasi-situasi sejarah dan budaya yang berubah-ubah»[74]. Selain itu, Kapitel «hendaknya terbentuk sedemikian rupa hingga mewakili seluruh lembaga, menjadi tanda sejati kesatuannya dalam cintakasih»[75].

Pertimbangan dalam pemilihan wakil-wakil untuk Kapitel harus diambil dari sudut pandang yang otentik, yaitu kesatuan dalam cintakasih. Peraturan-peraturan dan prosedur atau metode untuk memilih saudara-saudari untuk mengikuti Kapitel –khususnya Kapitel Umum– juga harus memperhatikan perubahan konteks budaya dan generasi yang ada dalam tarekat-tarekat hidup bakti dan serikat-serikat hidup apostolik saat ini. Sangatlah tepat bila komposisi peserta dalam Kapitel mengekspresikan dimensi multikultural secara benar dan seimbang.

49.  Ketika peraturan-peraturan dan prosedur yang ada tidak lagi sesuai dan usang, muncullah permasalahan ketidakseimbangan wakil-wakil dalam Kapitel, homogenitas budaya atau cakupan generasi yang sempit. Untuk menghindari penyimpangan seperti itu, perlulah memulai secara bertahap pengikutsertaan saudara-saudari yang berasal dari berbagai daerah budaya. Ini berarti memberikan kepercayaan kepada mereka yang oleh lingkungan dianggap masih terlalu muda, atau hanya –warga sipil dan berasal dari budaya lain–, agar mendapat kesempatan memikul tanggung jawab berat dan juga demi berkembangnya kemampuan mereka. Metode-metode yang ada harus bersifat lebih fleksibel agar dapat menjamin adanya perwakilan yang lebih representatif dan berwawasan luas demi tercapainya masa depan yang kita inginkan dan layak dihidupi.

Hal ini tidak berarti sekedar melakukan secara benar dan memiliki ketaatan yang cerdas terhadap pilihan-pilihan metodologis yang ada, melainkan «memberikan cahaya pada Kehendak Kristus terhadap perjalanan komunitas» –Peraturan Taize– dengan semangat pencarian yang telah dimurnikan menjadi satu harapan yang sama yaitu mencari rencana Allah.

50.  Keterbukaan kepada Roh Kudus harus menjadi karakteristik dari tiap Kapitularis dalam mengambil keputusan di setiap pertemuan; tidak meremehkan perbedaan pendapat dari orang lain sebab meskipun memiliki sudut pandang yang beragam, semua memiliki tujuan yang sama yaitu mencari kebenaran. Dengan cara ini, perjuangan dan kemungkinan untuk mencapai kebulatan suara bukanlah sebuah tujuan yang mustahil diraih, sebaliknya merupakan buah dari usaha mendengarkan dan kesediaan untuk taat pada Roh Kudus.
Menyerahkan proses pertimbangan pada sudut pandang pribadi dari para kapitularis, atau dengan kata lain menganggap seolah-olah Kapitel merupakan pekerjaan individual, merupakan suatu tindakan yang tidak bijaksana. Yang seharusnya dilakukan adalah «mengikuti terus menerus jejak-jejak Roh Kudus» yang berarti «mendengarkan apa yang Allah katakan kepada kita melalui situasi-situasi yang kita alami» dalam tarekat. Proses pertimbangan «tidak berhenti hanya pada penjelasan gambaran situasi yang menjadi masalah […] namun lebih dari itu, harus berusaha melihat apa yang ada di belakang tiap wajah dan kejadian, mencoba melihat kesempatan dan kemungkinan yang ada dari setiap situasi»[76]. Sebaiknya kita ingat bahwa Kapitel Umum adalah wadah ketaatan kita kepada Roh Kudus secara individu dan bersama-sama; kemampuan untuk mendengarkan dengan taat ini dimohonkan dengan menaklukkan akal budi, hati dan berlutut dalam doa. Dalam sikap pertobatan seperti itu, tiap kapitularis dalam saat pengambilan keputusan, bertindak dengan kesadaran penuh dan dalam terang Roh Kudus, mengambil keputusan demi kebaikan tarekat dalam Gereja. Sikap ketaatan doa ini terpadu sepanjang sejarah Kapitel-Kapitel Umum yang bukan tanpa alasan dimulai sejak hari Pentakosta.

51.  Dalam peristiwa Kapitel dipilihlah Pemimpin Umum. Dalam beberapa tahun belakangan ini terlihat adanya kecenderungan untuk menggunakan postulasi. Hal-hal yang berkaitan dengan postulasi ini diatur dalam Kitab Hukum Kanonik, kanon 180-183. Orientasi kepada postulasi ini terjadi pada kasus-kasus dimana terdapat beberapa halangan pada pemilihan kanonis untuk orang yang sama atau dalam kasus-kasus dimana diperlukan penganuliran syarat-syarat personal yang harus dimiliki untuk fungsi tersebut, seperti yang telah ditentukan hukum umum atau khusus, seperti umur, jumlah tahun profesi[77], atau dua jabatan atau lebih yang tidak dapat sejalan[78]. Kasus yang paling sering terjadi adalah halangan untuk memilih kembali (atau mengesahkan) Pemimpin Umum setelah selesainya jangka waktu yang telah ditentukan oleh Konstitusi. Kasus seperti ini memiliki banyak konotasi yang rumit dalam berbagai konteks (tarekat), situasi-situasi personal (para kandidat yang telah memiliki jabatan) dan, bukanlah merupakan hal yang paling akhir, ketidakpastian mengenai diterima atau tidaknya permintaan postulasi kepada Badan yang kompeten. Beberapa indikasi perlu diperjelas.

Pemberian postulasi begitu saja bukanlah sebuah dasar pemikiran terbaik untuk sebuah pertimbangan pemilihan sebab secara a priori tidak memperhitungkan kemungkinan adanya alternatif lain. Supaya memiliki kekuatan hukum dibutuhkan «sekurang-kurangnya dua pertiga dari suara»[79]. Ketentuan kanonis ini bertujuan untuk mendorong dilakukannya pertimbangan-pertimbangan yang matang sebelum melangkah menuju postulasi. Rasa ikut bertanggung jawab yang dipraktekkan secara kolegial akan membawa juga pada rasa tanggung jawab untuk mengeksplorasi solusi-solusi alternatif. Di beberapa tarekat telah dimulai suatu metode konsultasi awal yang bersifat informal. Pada pemberian bimbingan harus dihindari terciptanya prasangka umum, sebaliknya postulasi merupakan suatu langkah yang mudah untuk diambil.

52.  Pemimpin tertinggi biasanya dipilih dalam kapitel umum[80], selain itu juga dilakukan pemilihan Dewan yang merupakan badan yang bekerja sama dengan pemimpin tertinggi dalam pemerintahan sebuah tarekat. Kepada setiap penasihat dituntut adanya «partisipasi personal dan kepercayaan dalam hidup komunitas dan perutusan»[81] tarekat, «suatu bentuk partisipasi yang memperkenankan latihan dialog dan penegasan»[82] dengan semangat ketulusan[83] dan kesetiaan, «guna memastikan kehadiran Allah yang menyinari dan menuntun»[84].

Apabila segala halangan dan kesalahpahaman yang tak terhindarkan tidak diatasi dengan tepat waktu dapat menjadi penghalang terwujudnya niat baik untuk saling memahami dan kemampuan konvergensi dalam tubuh Dewan. Badan kerjasama dalam pemerintahan melayani demi kebaikan bersama dalam tarekat dan berkomitmen untuk menjaga totalitas fungsinya, namun tanpa mengabaikan sarana-sarana bimbingan (rohani, profesional dan formasi khusus) yang menawarkan suatu pertimbangan jangka panjang. Dewan juga sebenarnya tidak boleh hanya mengurus pencitraan diri, melainkan yang terpenting dan yang utama adalah menjaga kredibilitasnya sebagai badan kerja sama pemerintahan tarekat.

53.  Geografi baru dari keberadaan hidup bakti dalam Gereja menggambarkan keseimbangan budaya yang baru dalam kehidupan dan dalam pemerintahan tarekat[85]. Komposisi internasional dari Kapitel biasanya menunjukkan juga konfigurasi multikultural dari Dewan. Pengalaman dari banyak tarekat hidup bakti dan serikat hidup apostolik telah sedikit demi sedikit mendewasakan mereka dari tradisi yang telah berlaku sedemikian lama. Tarekat-tarekat yang baru berdiri saat ini sedang berada dalam fase pembelajaran untuk dapat «memperlihatkan; menghadirkan dalam kesatuan Katolik keperluan-keperluan pelbagai bangsa dan kebudayaan»[86]. Hal ini menyangkut tuntutan proses yang «memerlukan pemurnian dan pertumbuhan»[87].

Proses internasionalisasi yang baru saja berlangsung ini merupakan ruang kerja yang masih terbuka untuk masa depan yang penuh tantangan terutama dalam bidang formasi bagi orang-orang yang memegang tanggung jawab, khususnya bagi mereka yang mendapat peran sebagai dewan penasihat. Perubahan generasi dan budaya tidak seharusnya membuka kesempatan pada situasi-situasi yang dapat menghalangi dinamika internal dari proses pertimbangan dewan yang kemudian berdampak juga pada pemerintahan dari tarekat.

Berikut ini adalah beberapa contoh situasi-situasi yang bermasalah: adanya calon yang dianggap cocok, namun memiliki persiapan yang kurang atau diajukan secara prematur (belum saatnya); kaum religius yang terpilih dari hasil kesepakatan karena alasan pembagian budaya dan bukan karena pengakuan atas pengalaman dan atau kemampuannya sebagai individu; dan akhirnya, pilihan yang dijatuhkan karena tidak adanya alternatif lain.

54.  Pengikutsertaan para saudara-saudari dari budaya dan generasi yang berbeda tentu saja tidak mengubah fungsi tradisional dari dewan penasihat, namun mempengaruhi persepsi terhadap peran dan modalitas dari interaksi di dalam dan di luar dewan penasihat. Kontribusi dari sudut-sudut pandang lain (analisis/evaluasi dari permasalahan yang ada) memperluas horison pemahaman dari kenyataan-kenyataan yang dihadapi tarekat: lebih dari mereka yang berada pada periferi dari pada yang berada di pusat. Berbagai macam budaya dan pergantian generasi –yang pada dasarnya sudah merupakan gabungan yang rumit– seharusnya dapat menjadi dorongan baru untuk menghadapi masa depan dari tarekat.

Permulaan peran tanggung jawab mengukir sebuah pengalaman. Apabila pengalaman adalah sebuah proses belajar dalam kehidupan sehari-hari, maka kita harus mendukung proses belajar ini dengan suatu bentuk formasi yang khusus. Pada kasus yang bertolak belakang, pengalaman tidak dimanfaatkan sepenuhnya dalam meningkatkan efisiensi peran dan integrasinya dalam dinamika Dewan penasihat. Dalam situasi ini perlu menemukan dan memikirkan kembali pedoman-pedoman yang telah dimatangkan seiring perjalanan tradisi pemerintahan dari tarekat-tarekat hidup bakti dan serikat-serikat hidup apostolik, mencoba merubah keadaan saat ini demi mempersiapkan masa depan. Masa yang akan datang tidak seharusnya membuat cara pandang menjadi sempit: profesionalisme baru (ilmu dan kemampuan) dapat memberi kontribusi untuk memperluas horison kita, dan yang terpenting tidak membuat kita tinggal diam di batasan antara masa kini dan masa depan, memiliki pandangan yang pendek dan tertutup, yang pada jangka waktu yang lebih lama dapat melumpuhkan kemampuan untuk berjalan bersama.


KESIMPULAN

55.  Dalam beberapa puluh tahun ini, para kaum hidup bakti telah bekerja di ladang Tuhan dengan komitmen, kemurahan hati dan keberanian. Sekarang telah tiba saatnya musim panen anggur dan anggur yang baru. Mari dengan kegembiraan kita peras buah anggur dan dengan tekun menyimpannya ke dalam kantung-kantung kulit yang cocok, hingga proses fermentasi yang mematangkannya seiring waktu dapat mengendap dan menghasilkan stabilitas. Anggur baru dan kantung-kantung kulit baru, bersama dengan kesediaan kita, memerlukan kerja sama juga dari pihak kita sesuai dengan karisma dan keadaan sosial serta keadaan gereja, di bawah bimbingan Roh Kudus dan para pemimpin gereja. Telah tiba saatnya menjaga dengan kreativitas segala kebaruan yang ada agar terpelihara rasa asli dari kesuburan yang diberkati Allah.

Anggur baru menuntut kemampuan untuk melampaui segala bentuk warisan dari masa lampau dan menghargai kebaruan yang dibangkitkan Roh Kudus, menerimanya dengan rasa syukur serta menjaganya hingga berfermentasi secara sempurna, dan melampaui segala yang bersifat provisional. Demikian juga dengan baju yang baru yang dikatakan Yesus dalam halaman Injil yang sama, telah dijahit melalui berbagai tahap aktualisasi yang berbeda-beda, dan telah tibalah saatnya untuk mengenakannya dengan kegembiraan di tengah-tengah kaum beriman.

56.  Anggur, kantung kulit dan baju yang baru menunjukkan suatu periode kedewasaan dan integritas untuk tidak menggunakan kombinasi-kombinasi yang tidak bijaksana ataupun komitmen-komitmen taktis: untuk tidak mencampur yang lama dengan yang baru, sebab masing-masing adalah milik dari suatu periode tertentu, yang adalah buah seni dari zaman yang berbeda dan yang harus dipelihara keasliannya.

Semoga sang Pemilik kebun anggur, yang telah menyuburkan hasil karya tangan kita dan yang telah membimbing kita melalui jalan aktualisasi, menganugerahi kita kemampuan untuk menjaga kebaruan yang telah dipercayakan kepada kita ini dengan cara-cara yang tepat, kesabaran dan kewaspadaan, tanpa rasa takut dan dengan dorongan semangat injil yang selalu baru.

57.  Maria, Wanita anggur baru, jagalah keinginan kami untuk maju terus dalam ketaatan kepada kebaruan dari Roh Kudus, mampu mengenali tanda-tanda kehadiran-Nya dalam anggur baru, buah hasil panen dari musim-musim yang baru.

Buatlah kami taat pada rahmat dan bekerja keras menyiapkan kantung-kantung kulit yang mampu menampung sari buah anggur tanpa ada yang terbuang percuma. Kuatkanlah langkah-langkah kaki kami dalam misteri salib sebagaimana dikehendaki Roh Kudus dalam setiap ciptaan baru.

Ajarlah kami melakukan apa yang dikatakan oleh Kristus Puteramu (bdk. Yoh. 2:5) untuk duduk di meja perjamuan-Nya setiap hari; sebab Dialah sang Anggur Baru yang karena-Nya kami bersyukur serta menerima dan membagikan segala berkat.

Pupuklah harapan dalam diri kami, sementara kami menantikan hari di mana kami akan menikmati buah baru daru pokok anggur bersama Kristus, dalam Kerajaan Bapa (bdk. Mat. 26:29).



Bapa Suci telah menyetujui publikasi dari Orientasi ini
 dalam Audiensi tanggal 3 Januari 2017.

Kota Vatikan, 6 Januari 2017,
Pesta Penampakan Tuhan Yesus

João Braz Card. De Aviz
Prefek

José Rodríguez Carballo, O.F.M.
Sekretaris Uskup Agung

*) diterjemahkan oleh: Sr Caroline Nugroho MC




[1] Fransisko, Seruan Apostolik Evangelii gaudium, (24 November 2013), 154.
[2] Ibid, 20.
[3] Ibid, 231.
[4] Ibid, 58.
[5] KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharuan hidup religius Perfectae caritatis, 1.
[6] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang gereja Lumen gentium, 43-47.
[7] KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharian hidup religius Perfectae caritatis, 2.
[8] KHK, kan. 578.
[9] YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Vita consecrata (25 Maret 1996), 37.
[10] KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharuan hidup religius Perfectae caritatis, 3.
[11] YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik post-sinode Vita consecrata, (25 Maret 1996), 20.
[12] Ibid, 21.
[13] Ibid, 100.
[14] Ibid, 55.
[15] Ibid, 54.
[16] FRANSISKUS, Surat Apostolik kepada semua kaum religius dalam Tahun Hidup Bakti (21 November 2014).
[17] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharuan dalam hidup religius Perfectae caritatis, 2-4.
[18] FRANSISKUS, Khotbah Santa Marta, 5 September 2014.         
[19] Bdk. KONGREGASI UNTUK TAREKAT HIDUP BAKTI DAN SERIKAT HIDUP APOSTOLIK, Bertolak Segar dalam Kristus, komitmen hidup bakti yang dibaharui di milenium ketiga (19 Mei 2002), 19.
[20] YOHANES PAULUS II, Anjuran Apostolik Post-Konsili Vita consecrata, (25 Maret 1996), 66.
[21] Idem.
[22] Ibid, 67.
[23] Bdk. Idem.
[24] Bdk. Ibid, 70-71.
[25] Bdk. Ibid, 58.
[26] Bdk. Ibid, 57.
[27] YOHANES XXIII, Surat Ensiklik Pacem in terris tentang perdamaian di antara bangsa-bangsa (11 April 1963), 22.
[28] YOHANES PAULUS II, Surat Apostolik Mulieris dignitatem (15 Agustus 1988), 66.
[29] YOHANES PAULUS II, Seruan apostolik post-konsili, Vita Consecrata (25 Maret 1996), 58.
[30] Ibid, 57.
[31] Idem.
[32] Ibid, 58.
[33] FRANSISKUS, Pidato dalam kesempatan pertemuan dengan Episkopat Brasil, Rio de Janeiro (27 Juli 2013)
[34] Bdk. KHK, kan. 636
[35] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii gaudium (24 Novembre 2013), 33.
[36] Bdk. YOHANES PAULUS II, Surat Apostolik, Novo millennio ineunte (6 Januari 2001), 45; Kongregasi untuk Hidup Bakti, Instruksi Bertolak Segar dalam Kristus. Komitmen hidup bakti yang dibaharui di milenium ketiga (19 Mei 2002), 14.
[37] Bdk. Kongregasi untuk Hidup Bakti, Instruksi Pelayanan kepemimpinan dan ketaatan. Facem tuam, Domine, requiram, (11 Mei 2008), 13f.
[38] KHK, kan. 602; bdk. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharuan hidup religius Perfectae caritatis, 15.
[39] Bdk. Kongregasi untuk hidup bakti, Instruksi Pelayanan kepemimpinan dan ketaatan. Faciem tuam, Domine, requiram (11 Mei 2008), 14b.
[40] Bdk. Ibid, 12.
[41] KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharuan hidup religius Perfectae Caritatis, 3.
[42] Bdk. Kongregasi untuk Hidup Bakti, Jati diri dan misi dari saudara religius dalam gereja, LEV, Città del Vaticano 2013.
[43] Bdk. Kongregasi untuk Klerus, Anugrah panggilan imam. Ratio fundamentalis institutionis sacerdotalis (8 Desember 2016).
[44] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii gaudium, (24 November 2013), 99.
[45] Bdk. FARINSISKUS dari ASSISI, Nasihat-nasihat rohani, III.6.
[46] KHK, kan. 618-619; bdk. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharuan dalam hidup religius Perfectae caritatis, 14.
[47] KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharuan dalam hidup religius Perfectae caritatis, 14.
[48] Tolong memberi perhatian khusus mengenai hal ini berdasarkan kan. 630.
[49] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii gaudium, (24 November 2013), 55.
[50] Kongregasi untuk Hidup Bakti, Instruksi Pelayanan kepemimpinan dan ketaatan. Faciem tuam, Domine, requiram (11 Mei 2008), 13b.
[51] FRANSISKUS, Surat Apostolik kepada seluruh kaum religius dalam rangka Tahun Hidup Bakti (21 November 2014), II, 3.
[52] Bdk. Kongregasi untuk Hidup Bakti, Surat Sirkular Garis-garis petunjuk untuk menejemen harta benda dalam lembaga hidup bakti dan serikat hidup apostolik (2 Agustus 2014), 2.3.
[53] Bdk. FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii gaudium, (24 November 2013), 56.
[54] Idem.
[55] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii gaudium (24 November 2013), 33.
[56] Bdk. YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik  post-konsili Vita consecrata, (25 Maret 1996), 37.
[57] Ibid, 3.
[58] KHK, kan. 602
[59] FRANSISKUS, “Despertad al mundo, Wawancara Paus Fransiskus dengan para Pemimpin Umum”. La Civiltà Cattolica 165 (2014?I) 11.
[60] Ibid, 10.
[61] Bdk. YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik post-konsili Vita consecrata, (25 Maret 1996), 70.
[62] BENEDIKTUS XVI, Surat Ensiklik Spe Salvi (30 November 2007), 25
[63] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 116.
[64] Ibid. 117.
[65] KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang pembaharuan dalam hidup religius Perfectae caritatis,3.
[66] Kongregasi untuk Hidup Bakti, Instruksi Pelayanan kepemimpinan dan ketaatan. Faciem tuam, Domine requiram (11 Mei 2008), 3.
[67] Bdk. KHK, kan. 618.
[68] FRANSISKUS, Pidato di hapadan Peserta Sidang Umum dari Serikat Internasional Para Pemimpin Umum (Roma, 8 Mei 2013), 2.
[69] Kongregasi untuk Hidup Bakti, Instruksi Pelayanan dalam pemerintahan dan ketaatan. Faciem tuam, Domine, requiram, (11 Mei 2008), 25a.
[70] Bdk. PAULUS VI, Seruan Apostolik Evangelica testificatio (29 Juni 1971), 25.
[71] Kongregasi untuk Hidup Bakti, Instruksi Pelayanan dalam pemerintahan dan ketaatan. Faciem tuam, Domine, requiram, (11 Mei 2008), 14b.
[72] KHK, kan 624 §2.
[73] FRANSISKUS, Homili dalam Pesta Yesus dipersembahkan di Bait Allah, Peringatan hari Hidup Bakti Sedunia ke-18, Roma (2 Februari 2014).
[74] YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik post-konsili Vita consecrata, (25 Maret 1996), 42.
[75] KHK, kan 631 §1.
[76] FRANSISKUS, Pidato dalam acara Konvensi gerejawi Keuskupan Roma (16 Juni 2016).
[77] Bdk. KHK, kan 623.
[78] Bdk. KHK, kan 152.
[79] Bdk. KHK, kan 181 §1.
[80] Bdk. KHK, kan. 625 §1.
[81] Kongregasi untuk Hidup Bakti, Instruksi Bertolak segar dalam Kristus: Komitmen hidup bakti yang dibaharui di millennium ketiga (19 Mei 2002), 14.
[82] Idem.
[83] Bdk. KHK, kan. 127 §3.
[84] Kongregasi untuk Hidup Bakti, Instruksi Bertolak segar dalam Kristus: Komitmen hidup bakti yang dibaharui di millennium ketiga (19 Mei 2002), 14.
[85] Bdk. Ibid, 17.
[86] YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik post-konsili Vita consecrata, (25 Maret 1996), 47.
[87] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 69.