Martabat Dan Peranan Wanita Anggota Hidup Bakti
Gereja menampilkan berbagai kekayaan
rohani sebagai berkat sejati karunia-karunia Allah atas pria dan wanita tanpa
diskriminasi dengan memperhatikan kesamaan martabat mereka. Para wanita anggota
hidup bakti secara khas dipanggil menjadi tanda-tanda cintakasih mesra Allah
terhadap umat manusia dan menjadi saksi-saksi khusus tentang misteri Gereja,
Perawan, Mempelai dan Bunda. Mereka hadir dan menyuarakan pandangan perempuan
yang berguna bagi hidup Gereja dan misinya mewartakan Injil.
Banyak pernyataan mengenai posisi wanita di berbagai sektor masyarakat dan
Gereja yang membantu kaum pria sehingga dapat membantu menyingkirkan perspektif
yang berat sebelah yang tidak sepenuhnya mengakui martabat dan sumbangannya
bagi kegiatan pastoral serta misioner Gereja. Pembinaan wanita anggota hidup
bakti perlu disesuaikan dengan keperluan modern dan menyediakan waktu
secukupnya serta peluang yang cocok bagi pendidikan sistematis dalam berbagai
bidang dari bidang teologis-pastoral hingga bidang profesional.
Sejarah spiritualitas Gereja banyak
berhutang budi kepada Santa-Santa seperti Santa Teresia dari Avilla (Teresa
dari Yesus) dan Santa Katarina dari Sienna yang digelari Pujangga Gereja dan sekian
banyak wanita mistik lainya atas usaha mereka menjajagi Misteri Allah dan
analisis mereka terhadap tindakan Allah dalam umat beriman. Gereja banyak
bergantung dari para wanita anggota hidup bakti mengenai usaha-usaha baru dalam
memupuk ajaran dan moralitas Kristiani, hidup keluarga dan masyarakat
menyangkut martabat wanita serta sikap hormat terhadap hidup manusiawi tanpa
diskriminasi, kekerasan, penghisapan dan dominasi kaum pria.
Para Rubiah dalam Klausura
Hidup monastik dan klausura pantas mendapat perhatian khusus karena jemaat
Kristiani sangat menjunjung tinggi corak hidup kontemplatif yang menandakan
persatuan eksklusif Gereja sebagai Mempelai dengan Tuhannya, yang dikasihinya
di atas segala sesuatu. Hidup para rubiah dalam klausura secara istimewa
dibaktikan kepada doa, askese dan kemajuan yang tekun dalam hidup rohani,
“tidak lain ialah perjalanan menuju Yerusalem surgawi dan antisipasi Gereja
pada akhir jaman, yang pantang berubah dalam memiliki Allah dan berkontemplasi
tentang Allah. Mereka menanggapi keperluan Gereja dalam terang panggilan dan
misi yaitu menyatu dengan Tuhan.
Para rubiah dalam klausura, ruang
yang tertutup, untuk menghayati hidup mereka ikut serta dengan Kristus yang
mengosongkan diri, melalui kemiskinan radikal tanpa dihalangi ruang, sekat, dan
lepas bebas dari sekian banyak keuntungan ciptaan. Persembahan hidup mereka
bersama Yesus demi keselamatan dunia memampukan mereka masuk secara lebih penuh
dalam misteri Ekaristi. Persembahan mereka meliputi unsur pengurbanan, silih
atas dosa-dosa, sebagai Pujian Syukur kepada Bapa, dan ikut serta dalam doa
syukur Sang Putera yang terkasih.
Klausura berakar dalam aspirasi
rohani yang mendalam dari cara menghayati Paska Kristus selain sebagai praktek
askese yang sangat bernilai. Dari pengalaman “kematian atas dosa”, klausura
menjadi kelimpahan hidup yang mengungkapkan pewartaan penuh kegembiraan dan
antisipasi kenabian yang ditawarkan kepada tiap orang dan seluruh umat manusia
untuk hidup semata-mata dalam Kristus Yesus (bdk. Roma 6:11).
Klausura mengingatkan akan ruang
dalam hati, dimana tiap orang dipanggil untuk bersatu dengan Tuhan. Klausura
menjadi tempat persekutuan rohani dengan Allah dan sesama sekaligus sebagai
anugerah dan jawaban cintakasih sukarela. Klausura yang membatasi ruang dan
kontak-kontak duniawi berperan meningkatkan proses pembatinan nilai-nilai
Injili (bdk. Yoh 13:34; Mat 5:3,8).
Komunitas-komunitas klausura dalam
kesederhanaan hidup ibarat kota-kota di atas gunung atau pelita-pelita di atas
kaki dian (Mat 5:14-15) menampakkan tujuan perjalanan Gereja. Mereka yang
berada di jantung hati Gereja, memberi semangat penuh dalam kegiatan sekaligus
meluangkan waktu untuk kontemplasi, menuju pemulihan segala sesuatu dalam Kristus
di masa mendatang bila Kristus akan tampil “dalam kemuliaan bersama Mempelainya
(Kol 3:1-4)”. Kristus akan menyerahkan “Kerajaan Allah Bapa sesudah
menghancurkan tiap pemerintahan dan tiap kewenangan serta kuasa...supaya Allah
menjadi semuanya dalam segalanya (1 Kor 15:24.28).” Paus Yoh Paulus II menyatakan hidup kontemplatif bernilai
melebihi pekerjaan mana pun, membuahkan efektivitas apostolis dan misioner yang
luar biasa dan sebagai wahana cintakasih yang murni.
Para Bruder Religius
Tarekat-tarekat yang karena maksud pendiri
mereka atau karena tradisi yang sah memiliki sifat dan tujuan yang tidak
mencakup pelaksanaan tahbisan disebut Tarekat Awam (Laicus). Sinode Gereja
menyebut Tarekat Awam ini sebagai Tarekat Religius Para Bruder.
Bruder
(dari bahasa
Belanda
broeder yang berarti 'saudara lelaki') adalah nama panggilan bagi
seorang rohaniwan Katolik awam (tidak
ditahbiskan) yang menjalani kaul kemiskinan, selibat dan ketaatan. Seorang
bruder biasanya tinggal dalam suatu komunitas dan bekerja dalam pelayanan
sebagai guru, seniman, teknisi, dll sesuai
dengan talenta dan bakatnya.
Meski Karya mereka bisa juga dikerjakan
awam, tetapi para bruder melaksanakan karyanya sebagai anggota hidup bakti
dengan semangat penyerahan diri seutuhnya kepada Kristus dan Gereja sesuai
kharisma mereka. Gereja sangat menghargai corak hidup yang para anggotanya para
bruder religius karena telah menyumbangkan jasa di dalam dan di luar
komunitasnya serta ikut menjalankan misi pewartaan Injil dengan kesaksian
hidupnya sehari-hari. Para bruder terlibat dalam pelayanan-pelayanan gerejawi
dan memerlukan pembinaan yang sesuai dan integral: manusiawi, rohani, teologis,
pastoral dan kejuruan.
Sebagaimana para suster, demikian pula para bruder bukan
anggota hierarki. Yang membedakannya dengan awam dan imam adalah fungsi, jabatan dan corak
hidup. “Di antara para anggota umat Allah
terdapat perbedaan, entah karena
jabatan, sebab ada beberapa yang menjalankan pelayanan suci demi
kesejahteraan saudara-saudara mereka, entah karena corak dan tata-tertib
kehidupan, sebab cukup banyaklah yang dalam status hidup bakti menuju kesucian” (LG 13). Sedangkan,
“semua orang Kristen lain yang tidak termasuk golongan imam atau status
religius” lazim disebut “awam” (LG 31). Perbedaan antara awam dan imam itu soal
fungsi atau jabatan, sedangkan perbedaan dengan biarawan-biarawati menyangkut
“corak kehidupan”. Hidup membiara tidak ditentukan oleh fungsi atau pekerjaan,
melainkan oleh corak atau cara kehidupan, khususnya kehidupan yang di dalamnya
orang “dengan kaul-kaul atau ikatan suci lainnya mewajibkan diri untuk hidup
menurut tiga nasihat Injil”, yaitu selibat atau keperawanan, kemiskinan, dan
ketaatan (LG 44).
Bruder Bisa Ditabiskan?
Gereja
tidak menghalangi anggota Tarekat Bruder religius menerima tahbisan bagi
pelayanan sakramen dan menduduki Jabatan Pimpinan Umum untuk anggota
komunitasnya bila disetujui Kapitel Umum. Gereja tetap menghargai Tarekat
Bruder Religius tetap setia pada misi dan panggilan mereka sesuai sifat khas
Tarekat sendiri. Hal ini memang dimungkinkan seperti yang tertulis dalam Perfectae Caritatis art.10, Konsili suci
menyatakan “Hidup religius yang beranggotakan awam, untuk pria maupun wanita,
merupakan status pengalaman nasehat-nasehat Injil yang sudah lengkap. Maka
Konsili suci sangat menghargainya, karena begitu berjasa bagi tugas pastoral
Gereja melalui pendidikan kaum muda, perawatan orang-orang sakit dan
pelayanan-pelayanan lainnya. Konsili meneguhkan para anggotanya dalam panggilan
mereka, serta mendorong mereka untuk menyesuaikan hidup mereka dengan
tuntutan-tuntutan zaman sekarang. Konsili
suci menyatakan tidak keberatan, bila dalam tarekat-tarekat para bruder, dengan
lestarinya corak keawamannya, atas penetapan kapitel umum, ada beberapa anggota
yang menerima Tahbisan suci, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelayanan
imamat dalam rumah-rumahnya”.
Salah
satu contoh, sekitar tahun 1970-an, ada beberapa Bruder FIC (Congregatio Fratres Immaculatae
Conceptionis Beatae Mariae Virginis; Kongregasi
Para Bruder Santa Perawan Yang Dikadung Tak Bernoda) di Belanda
dan Chile yang ditahbiskan (tentu saja setelah mempersiapkan diri semestinya)
menjadi imam demi karya pelayanan sesuai dengan tuntutan setempat (bdk. Majalah ROHANI no.08 tahun ke-49
Agustus 2002).
Tarekat Campur dan Bentuk Baru Hidup Injili
Tarekat Campur adalah tarekat yang menurut rencana asli Pendiri sebagai
persaudaraan yang mana semua anggotanya baik para imam maupun bukan imam
dipandang sederajat antara mereka sendiri. Hak-hak dan kewajiban mereka sama
dalam Tarekat, kecuali hak-hak dan kewajiban yang berdasarkan tahbisan.
Bentuk baru hidup Injili yang
diilhami dari Roh Kudus terdiri dari kelompok-kelompok campuran pria dan
wanita, imam-imam dan anggota-anggota awam, pasangan suami istri dan
orang-orang yang hidup selibat yang semuanya menganut corak hidup yang khusus.
Komitmen mereka terhadap hidup injili mendorong mereka hidup berkomunitas,
menghayati kemiskinan dan doa. Baik imam maupun awam berpartisipasi dalam
tugas-tugas kepemimpinan seturut berbagai tanggungjawab yang dipercayakan
kepada mereka dan kerasulan yang berfokuskan tuntutan evangelisasi baru. Akan
tetapi dalam penegasan rohani pasangan suami istri dan awam yang berkomunitas
tidak dapat digolongkan pada kategori
khas hidup bakti.
Social Plugin