Ad Code

Vita Consecrata-Postulat Stella Maris Malang-Hendrikus Dasrimin

ANTARA PASKAH DAN PEMENUHAN (Seri Vita Consecrata-VIII)

 



Dari Tabor ke Kalvari  

Peristiwa Yesus dimuliakan di atas gunung Tabor atau yang dikenal dengan peristiwa Transfigurasi (perubahan rupa Yesus), merupakan persiapan untuk peristiwa Kalvari yang tragis, namun tidak kalah mulianya. Petrus, Yakobus dan Yohanes memandang Tuhan Yesus bersama-sama dengan Musa dan Elia, yang menurut Penginjil Lukas, diajak berbicara oleh Yesus "tentang kepergiaan-Nya yang harus dilaksanakan di Yerusalem" (Luk 9:31). Oleh karena itu pandangan para Rasul tetap pada Yesus yang berpikir tentang Salib (bdk Luk 9: 43-45). Di situlah kasih keperawanan-Nya terhadap Bapa dan untuk semua umat manusia yang merupakan ungkapan tertinggi. Kemiskinannya akan mencapai pengosongan diri yang paripurna, ketaatan-Nya menjangkaui penyerahan hidup-Nya.
Para murid diajak untuk merenungkan Yesus yang ditinggikan di kayu Salib. Dalam keheningan dan kesendirian-Nya, "Firman terbit dari keheningan" secara profetis menegaskan transendensi mutlak Allah atas segala ciptaan. Dalam daging-Nya sendiri Ia mengalahkan dosa kita dan menarik setiap orang kepada diri-Nya, sambil mengurniakan kepada semua hidup baru Kebangkitan (Yoh 00:32; 19:34, 37). Dalam permenungan akan Kristus yang disalibkanlah semua panggilan menimba inspirasinya. Dari permenungan ini, bersama-sama dengan karunia perdana Roh Kudus, berasal mulalah semua anugerah, dan khususnya kurnia hidup bakti.
Sesudah Maria, Bunda Yesus,Yohaneslah yang menerima kurnia itu. Yohanes adalah murid yang dikasihi Yesus, saksi yang bersama Maria berdiri di kaki salib (Yoh 19: 26-27). Keputusannya untuk ditakdiskan diri sepenuhnya merupakan buah dari kasih ilahi yang meliputinya, menopangnya dan memenuhi hatinya. Yohanes bersama Maria, termasuk yang pertama dalam deretan panjang mereka yang sejak awal Gereja hingga akhirnya disentu oleh cinta kasih Allah dan merasa terpanggil untuk mengikuti Anak Domba, yang telah dikurbankan dan sekarang tetap hidup, ke manapun Ia pergi (bdk. Wahyu 14: 1-5).

Dimensi Paskah Hidup Bakti

Dalam berbagai corak hidup yang sepanjang sejarah diilhami oleh Roh Kudus para anggota hidup bakti menemukan semakin mereka berdiri di kaki salib Kristus, semakin langsng dan mendalam pula mereka mengalami kebenaran Allah yang adalah kasih. Justru pada Salib itulah Dia, yang pada wafat-Nya nampak bagi pandangan manusia sebagai yang dianiaya dan tanpa keindahan, sehingga mereka yang menunggui menutup muka (bdk. 53: 2-3), sepenuhnya mengungkapkan keindahan dan kekuatan cinta kasih Allah.
St. Augustinus mengatakan: "Sungguh indalah Allah, Sabda bersama Allah...Ia indah di surga, indah di dunia; indah di dalam rahim, indah dalam pelukan orangtua-Nya, indah dalam mukjizat-mukjizat-Nya, indah dalam penderitaan-Nya; indah bila mengundang untuk hidup, indah karena ia tidak merasa khawatir tentang kematian, indah dalam memberikan hidupnya dan indah dalam mengenakannya lagi; ia indah di kayu Salib, indah di dalam kubur, indah di surga. Dengarkanlah madah itu dengan penuh pengertian dan jangan biarkan kelemahan daging mengalihkan perhatian anda dari kemegahan keindahan-Nya...".
Hidup bakti mencerminkan kemegahan cinta kasih itu, karena dengan kesetiaan terhadap misteri Salib, ia mengakui dan percaya akan cinta kasih dari Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dengan cara ini hidup bakti membantu Gereja untuk tetap sadar bahwa Salib merupakan kelimpahan cinta kasih Allah yang dicurahkan atas dunia ini, dan bahwa Salib itu merupakan tanda agung kehadiran Kristus yang menyelamatkan, terutama di tengah-tengah kesulitan dan cobaan. Ini adalah kesaksian yang diberikan tiada hentinya dan dengan keberanian yang sangat mengagumkan diberukan oleh banyak anggota hidup bakti, padahal banyak di antara mereka tinggal dalam situasi sulit, bahkan menderita penganiayaan dan menjadi martir. Kesetiaan mereka terhadap cinta kasih yang satu itu ditampilkan dan diteguhkan dalam kerendahan hati yang tersembunyi, dalam penerimaan penderitaan demi menyelesaikan dalam daging mereka sendiri "apa yang kurang pada penderitaan Kristus" (Kol 1:24), dalam pengorbanan dengan diam dan penyerahan diri kepada kehendak Allah yang kudus, dan dalam kesetiaan yang hening, juga dalam kekuatan dan kewibawaan mereka pribadi mengalami kemunduran. Kesetiaan kepada Allah juga mengilhami pengabdian kepada sesama, dan pengabdian itu oleh para anggota hidup bakti dihayati bukannya tanpa pengorbanan melalui doa yang terus-menerus bagi keperluan sesama mereka, melalui pelayanan yang  murah hati, terhadap mereka yang miskin dan sedang sakit, melalui Kebersamaan menanggung kesulitan orang lain dan berpartisipasi dalam kepedulian dan cobaan-cobaan Gereja.

Saksi-saksi Kristus di dunia  

Misteri Paskah juga merupakan sumber sifat misionaris Gereja, yang tercermin dalam seluruh kehidupan Gereja. Hal ini secara istimewa diungkapkan dalam hidup bakti. Melampaui karisma-karisma khusus tarekat-tarekat yang dibaktikan kepada perutusan di tengah bangsa-bangsa (missio ad gentes) atau yang terlibat dalam kegiatan kerasulan biasa, dapat dikatakan bahwa keasadaran akan misi merupakan jantung setiap bentuk hidup bakti. Sejauh para anggota hidup bakti menghayati hidup yang seutuhnya dipersembahkan kepada Bapa (lih Luk 2:49; Yoh 4:34), ditopang oleh Kristus (Yoh 15:16; Gal 1: 15-16) dan dijiwai oleh Roh (lih Luk 24:49; Kis 1: 8; 2: 4), mereka bekerja sama secara efektif dalam misi Tuhan Yesus (Yoh 20:21) dan berkontribusi dalam cara yang sangat mendalam untuk pembaruan dunia.
Tugas misionaris pertama para anggota hidup bakti adalah untuk diri mereka sendiri, dan mereka memenuhi itu dengan membuka hati mereka untuk bisikan Roh Kristus. Kesaksian mereka membantu seluruh Gereja untuk mengingat bahwa hal yang paling penting adalah untuk melayani Tuhan secara bebas, berkat rahmat Kristus yang dikurniakan kepada umat beriman melalui karunia Roh. Dengan demikian mereka mewartakan kepada dunia, perdamaian yang berasal dari Bapa, dedikasi yang nampak pada kesaksian Putera, dan sukacita yang merupakan buah dari Roh Kudus. Bukan mewartakan diri sendiri.
Anggota hidup bakti akan menjadi misionaris terutama dengan terus memperdalam kesadaran mereka bahwa mereka telah dipanggil dan dipilih oleh Allah. Maka hendaknya mereka harus mengarahkan dan mempersembahkan seluruh hidup dan apa yang mereka memiliki kepada Allah, dan membebaskan diri dari hambatan-hambatan yang bisa menghalangi totalitas jawaban mereka. Dengan cara ini mereka akan menjadi tanda Kristus yang sejati di dunia. Pola hidup mereka pun hendaknya menunjukkan dengan jelas cita-cita yang diikrarkan dan dengan demikian tampil sebagai tanda hidup Allah serta sebagai pewartaan Injil yang menyentuh hati, kendatipun sering secara diam-diam.
Gereja harus selalu berusaha untuk menampakan kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam budaya kontemporer, yang sering sangat sekuler dan belum peka terhadap bahasa perlambangan. Dalam hal ini Gereja berhak untuk mengharapkan kontribusi yang relevan dari para anggota hidup bakti, yang dipanggil untuk di setiap situasi memberi kesaksian yang jelas bahwa mereka milik Kristus.
Karena busana religius menandakan pentakdisan, kemiskinan dan keanggotaan dalam keluarga religius yang khusus, saya (Paus Yoh. Paulus II) bergabung dengan Bapa Sinode menganjurkan dengan sangat kepada para religius, baik pria maupun wanita, agar mereka mengenakan busana religius mereka yang dengan pantas disesuaikan dengan kondisi-kondisi waktu dan tempat. Bila ada alasan karena tugas kerasulan mereka, maka harus disesuaikan dengan norma-norma tarekat mereka, berpakaian sederhana dan sesuai dengan tatakrama budaya setempat, yang cocok sesuai dengan martabat mereka sehingga pentakdisan mereka dapat dikenal.

Dimensi Eskatologis Hidup Bakti

Di tengah maraknya manusia yang lebih mengejar kepuasan duniawi yang seringkali membawa resiko akhir-akhir ini, kiranya semakin mendesak dan menuntut perhartian kita untuk melihat kembali tentang sifat eskatologis dari hidup bakti.
"Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada" (Mat 06:21). Harta yang istimewa yakni Kerajaan Allah, menimbulkan keinginan, antisipasi, komitmen dan kesaksian. Pada awal mula Gereja, penantian kedatangan Tihan dihayati secara sangat intensif. Sesudah sekian abad lamanya, Gereja tidak berhenti mendorong sikap harapan: Gereja terus mengajak umat beriman untuk mendambakan keselamatan yang menantikan pewahyuannya, "sebab dunia ini akan berlalu" ( 1 Kor 7:31; bdk 1 Pet 1: 3-6) .
Dalam perspektif itulah dapat dimengerti lebih jelas peranan hidup bakti sebagai lambang eskatologis (akhir zaman). Bahkan telah terus-menerus telah diajarkan bahwa hidup bakti adalah antisipasi Kerajaan Allah di masa mendatang. Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa pentakdisan secara lebih jelas “mewartakan kebangkitkan yang akan datang dan kemuliaan Kerajaan surgawi." Hal ini terutama dijalankan melalui kaul keperawanan, yang oleh tradisi selalu dipahami sebagai antisipasi dunia yang akan datang, yang sekarang sudah mulai mewujudkan transformasi manusia seutuhnya.
Mereka yang telah membaktikan diri kepada Kristus, hendaknya hidup dalam kerinduan akan bertemu dengan-Nya, agar menyatu dengan Dia selamanya. Oleh karena itu harapan penuh semangat dan keinginan untuk "diceburkan ke dalam Api Cinta Kasih, yang berkobar dalam mereka dan tidak lain adalah Roh Kudus", harapan dan keinginan, yang ditopang oleh karunia Tuhan yang dilimpahkan pada mereka yang merindukan hal-hal yang berada di atas (bdk Kol 3: 1).
Orang yang menjalani hidup bakti, tenggelam dalam perkara-perkara Tuhan, ingat bahwa "di sini kita tidak memiliki kota yang abadi" (Ibr 13:14), sebab "kewargaan kita berada di surga" (Phil 03:20). Satu hal yang diperlukan adalah mencari "Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya" (Mat 06:33), dengan doa tiada hentinya memohon kedatangan Tuhan.

Penantian Aktif: Komitmen dan Sikap Berjaga

"Datanglah, Tuhan Yesus!" (Rev 22:20). Penantian itu sama sekali tidak pasif: meskipun mengarah pada Kerajaan Allah di masa mendatang, diwujudkan dalam karya dan perutusan, supaya kerajaan itu hadir di sini dan sekarang melalui semangat Sabda Bahagia, yang mampu membangkitkan dalam masyarakat aspirasi-aspirasi yang efektif akan keadilan, damai, solidaritas dan pengampunan.
Hal ini jelas ditunjukkan oleh sejarah hidup bakti, yang selalu berbuah melimpah bagi dunia ini. Dengan karisma-karisma mereka, para anggota hidup bakti menjadi tanda-tanda Roh Kudus yang menunjuk ke arah masa depan baru yang diterangi oleh iman dan harapan Kristiani. Harapan eskatologis menjadi misi, supaya Kerajaan Allah makin penuh terwujudkan di sini dan sekarang. Doa "Datanglah, Tuhan Yesus!" disertai dengan doa lain: "Datanglah Kerajaan-Mu!" (Mat 06:10).
Mereka yang berjaga-jaga menantikan pemenuhan janji-janji Kristus, mampu membawa harapan untuk saudara-saudara mereka yang sering putus asa dan pesimis tentang masa depan. Mereka mempunyai harapan yang berdasarkan janji Allah yang terkandung dalam sabda yang diwahyukan: sejarah kemanusiaan bergerak menuju "langit yang baru dan bumi yang baru" (Wahyu 21: 1). Di situ Tuhan "akan menghapus tiap air mata dari mata mereka, dan takkan ada maut lagi, takkan ada pula ratap tangis atau rasa sakit, sebab perkara-perkara yang lebih dulu sudah lampau"(Wahyu 21: 4).
Hidup bakti melayani penampakan definitif kemuliaan ilahi, bila semua manusia akan menyaksikan keselamatan dari Allah (lih Luk 3: 6; 40:5). Umat Kristen Timur menekankan dimensi ini, bila memandang para rahib sebagai malaikat-malaikat Allah di dunia yang memberitakan pembaruan dunia dalam Kristus. Di Barat, hidup monastik merupakan perayaan kenangan dan penantian: kenangan akan karya-karya mengagumkan yang dikerjakan oleh Allah, dan penantian pemenuhan mutakhir harapan kita. Hidup monastik dan hiduo kontemplatif terus menerus mengingatkan bahwa keunggulan Allah atas segalanya memberikan arti penuh dan sukacita bagi kehidupan manusia, karena manusia diciptakan demi Allah, dan hatinya tetap gelisah selama belum beristirahat di dalam Dia.
                                       
Santa Perawan Maria: Pola Pentakdisan dan Kemuridan

Sejak dikandung tanpa dosa, Maria secara paripurna memantulkan keindahan ilahi. “Yang amat indah”, itulah gelar yang digunakan oleh Gereja untuk menyapanya dalam doa. "Hubungan dengan Maria yang paling suci, yang bagi setiap orang beriman bertumpu pada persatuannya dengan Kristus, bahkan lebih jelas lagi diungkapkan dalam hidup mereka yang ditakdiskan keada Allah... Kehadiran Maria sangat penting baik untuk kehidupan rohani setiap anggota hidup bakti, maupun bagi soliditas, persatuan dan kemajuan seluruh umat".
Santa Maria sebenarnya adalah teladan luhur pentakdisan yang sempurna, karena dia sepenuhnya milik Allah dan seutuhnya berbakti kepada-Nya. Dia dipilih oleh Tuhan, yang ingin mewujudkan dalam dirinya misteri Inkarnasi. Dengan demikian ia mengingatkan para anggota hidup bakti, bahwa inisiatif Allah adalah yang paling utama. Pada saat yang sama, setelah menyatakan persetujuannya kepada Sabda ilahi yang menjadi daging, Maria menjadi  model penerimaan rahmat oleh manusia.
Dengan hidup bersama Yesus dan Yusuf selama tahun-tahun tersembunyi di Nazaret, dan hadir di samping Putranya, pada saat-saat penting dari kehidupan-Nya di muka umum, Santa Perawan mengajarkan, bagaimana menjadi murid Kristus tanpa syarat dan mengabdi dengan tekun. Pada diri Maria, "bait Roh Kudus," memancarlah dengan cemerlang segala kemegahan ciptaan baru. Hidup bakti memandang Maria sebagai pola yang luhur bagi pentakdisan kepada Bapa, persatuan dengan Putera dan keterbukaan terhadap Roh Kudus, seraya menyadari bahwa menerima "hidup keperawanan dan kerendahan hati" Kristus berarti juga meneladan cara hidup Maria.
Dalam diri Santa Perawan Maria, para anggota hidup bakti juga menemukan ibu yang sama sangat istimewa. Memang, keibuan baru yang dianugerakan pada Maria di gunung Kalvari adalah kurnia bagi semua orang Kristen, tetapi masih mempunyai nilai yang khas lagi bagi mereka yang menguduskan hidup mereka seutuhnya kepada Kristus. "Lihat, itulah ibumu!" (Yoh 19:27): kata-kata Yesus kepada murid 'yang dikasihi-Nya' (Yoh 19:26) mempunyai relevansi khas bagi hidup bakti. Para anggota-Nya seperti Yohanes, dipanggil untuk menampung Santa Perawan Maria dalam rumah mereka (Yoh 19:27), sambil mengasihi dan meneladannya secara radikal seperti layak panggilan mereka, dan sebagai imbalan mengalami cinta kasih keibuannya yang khas.
Santa Perawan Maria berbagi dengan mereka cinta kasih yang memungkinkan mereka mempersembahkan hidup mereka tiap hari bagi Kristus, dan bekerjasama dengan-Nya dalam penyelamatan dunia. Oleh karena itu hubungan berbakti kepada Maria adalah jalan raya menuju kesetiaan terhadap panggilan, dan bantuan yang paling efektif untuk terus maju menapaki panggilan itu dan menghayati sepenuhnya.