Dari
Tabor ke Kalvari
Peristiwa Yesus dimuliakan di atas gunung Tabor atau yang dikenal
dengan peristiwa Transfigurasi (perubahan rupa Yesus), merupakan persiapan
untuk peristiwa Kalvari yang tragis, namun tidak kalah mulianya. Petrus, Yakobus dan Yohanes memandang Tuhan Yesus
bersama-sama dengan Musa dan Elia, yang menurut Penginjil Lukas, diajak
berbicara oleh Yesus "tentang kepergiaan-Nya yang harus dilaksanakan di
Yerusalem" (Luk 9:31). Oleh karena itu pandangan
para Rasul tetap pada Yesus yang berpikir tentang Salib (bdk Luk 9:
43-45). Di situlah kasih keperawanan-Nya terhadap Bapa dan untuk semua umat manusia yang merupakan ungkapan
tertinggi. Kemiskinannya akan mencapai
pengosongan diri yang paripurna, ketaatan-Nya menjangkaui penyerahan hidup-Nya.
Para murid diajak untuk merenungkan Yesus yang ditinggikan di
kayu Salib. Dalam keheningan dan kesendirian-Nya, "Firman terbit dari
keheningan" secara profetis menegaskan transendensi mutlak Allah atas
segala ciptaan. Dalam daging-Nya sendiri Ia mengalahkan dosa kita dan menarik
setiap orang kepada diri-Nya, sambil mengurniakan kepada semua hidup baru
Kebangkitan (Yoh 00:32; 19:34, 37). Dalam
permenungan akan Kristus yang disalibkanlah semua panggilan menimba inspirasinya.
Dari permenungan ini, bersama-sama dengan karunia
perdana Roh Kudus, berasal mulalah semua anugerah, dan khususnya kurnia hidup
bakti.
Sesudah Maria, Bunda Yesus,Yohaneslah yang menerima kurnia
itu. Yohanes adalah murid yang dikasihi Yesus, saksi yang bersama Maria berdiri
di kaki salib (Yoh 19: 26-27). Keputusannya
untuk ditakdiskan diri sepenuhnya merupakan buah dari kasih ilahi yang meliputinya,
menopangnya dan memenuhi hatinya. Yohanes bersama
Maria, termasuk yang pertama dalam deretan panjang mereka yang sejak awal
Gereja hingga akhirnya disentu oleh cinta kasih Allah dan merasa terpanggil
untuk mengikuti Anak Domba, yang telah dikurbankan dan sekarang tetap hidup, ke
manapun Ia pergi (bdk. Wahyu 14: 1-5).
Dimensi
Paskah Hidup Bakti
Dalam berbagai corak hidup yang sepanjang sejarah diilhami
oleh Roh Kudus para anggota hidup bakti menemukan semakin mereka berdiri di
kaki salib Kristus, semakin langsng dan mendalam pula mereka mengalami
kebenaran Allah yang adalah kasih. Justru pada
Salib itulah Dia, yang pada wafat-Nya nampak bagi pandangan manusia sebagai
yang dianiaya dan tanpa keindahan, sehingga mereka yang menunggui menutup muka (bdk.
53: 2-3), sepenuhnya mengungkapkan keindahan dan kekuatan cinta kasih
Allah.
St. Augustinus mengatakan: "Sungguh indalah Allah, Sabda bersama Allah...Ia indah di surga,
indah di dunia; indah di dalam rahim, indah dalam pelukan orangtua-Nya, indah dalam
mukjizat-mukjizat-Nya, indah dalam penderitaan-Nya; indah bila mengundang untuk
hidup, indah karena ia tidak merasa khawatir tentang kematian, indah dalam
memberikan hidupnya dan indah dalam mengenakannya lagi; ia indah di kayu Salib,
indah di dalam kubur, indah di surga. Dengarkanlah madah itu dengan penuh
pengertian dan jangan biarkan kelemahan daging mengalihkan perhatian anda dari
kemegahan keindahan-Nya...".
Hidup bakti mencerminkan kemegahan cinta kasih itu, karena
dengan kesetiaan terhadap misteri Salib, ia mengakui dan percaya akan cinta kasih
dari Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dengan cara ini
hidup bakti membantu Gereja untuk tetap sadar bahwa Salib merupakan
kelimpahan cinta kasih Allah yang dicurahkan atas dunia ini, dan bahwa Salib
itu merupakan tanda agung kehadiran Kristus yang menyelamatkan, terutama di
tengah-tengah kesulitan dan cobaan. Ini adalah
kesaksian yang diberikan tiada hentinya dan dengan keberanian yang sangat
mengagumkan diberukan oleh banyak anggota hidup bakti, padahal banyak di antara
mereka tinggal dalam situasi sulit, bahkan menderita penganiayaan dan menjadi
martir. Kesetiaan mereka terhadap cinta kasih
yang satu itu ditampilkan dan diteguhkan dalam kerendahan hati yang
tersembunyi, dalam penerimaan penderitaan demi menyelesaikan dalam daging
mereka sendiri "apa yang kurang pada penderitaan Kristus" (Kol
1:24), dalam pengorbanan dengan diam dan penyerahan diri kepada kehendak Allah
yang kudus, dan dalam kesetiaan yang hening, juga dalam kekuatan dan kewibawaan
mereka pribadi mengalami kemunduran. Kesetiaan kepada Allah juga mengilhami
pengabdian kepada sesama, dan pengabdian itu oleh para anggota hidup bakti
dihayati bukannya tanpa pengorbanan melalui doa yang terus-menerus bagi
keperluan sesama mereka, melalui pelayanan yang
murah hati, terhadap mereka yang miskin dan sedang sakit, melalui Kebersamaan
menanggung kesulitan orang lain dan berpartisipasi dalam kepedulian dan cobaan-cobaan
Gereja.
Saksi-saksi
Kristus di dunia
Misteri Paskah juga merupakan sumber sifat misionaris
Gereja, yang tercermin dalam seluruh kehidupan Gereja. Hal ini secara istimewa diungkapkan dalam hidup bakti.
Melampaui karisma-karisma khusus tarekat-tarekat yang
dibaktikan kepada perutusan di tengah bangsa-bangsa (missio ad gentes) atau
yang terlibat dalam kegiatan kerasulan biasa, dapat dikatakan bahwa keasadaran
akan misi merupakan jantung setiap bentuk hidup bakti. Sejauh para anggota hidup bakti menghayati hidup yang
seutuhnya dipersembahkan kepada Bapa (lih Luk 2:49; Yoh 4:34), ditopang
oleh Kristus (Yoh 15:16; Gal 1: 15-16) dan dijiwai oleh Roh (lih Luk
24:49; Kis 1: 8; 2: 4), mereka bekerja sama secara efektif dalam misi
Tuhan Yesus (Yoh 20:21) dan berkontribusi dalam cara yang sangat
mendalam untuk pembaruan dunia.
Tugas misionaris pertama para anggota hidup bakti adalah
untuk diri mereka sendiri, dan mereka memenuhi itu dengan membuka hati mereka
untuk bisikan Roh Kristus. Kesaksian mereka
membantu seluruh Gereja untuk mengingat bahwa hal yang paling penting adalah untuk
melayani Tuhan secara bebas, berkat rahmat Kristus yang dikurniakan kepada umat
beriman melalui karunia Roh. Dengan demikian
mereka mewartakan kepada dunia, perdamaian yang berasal dari Bapa, dedikasi
yang nampak pada kesaksian Putera, dan sukacita yang merupakan buah dari Roh
Kudus. Bukan mewartakan diri sendiri.
Anggota hidup bakti akan menjadi misionaris terutama dengan
terus memperdalam kesadaran mereka bahwa mereka telah dipanggil dan dipilih
oleh Allah. Maka hendaknya mereka harus mengarahkan dan mempersembahkan seluruh
hidup dan apa yang mereka memiliki kepada Allah, dan membebaskan diri dari
hambatan-hambatan yang bisa menghalangi totalitas jawaban mereka. Dengan cara ini mereka akan menjadi tanda Kristus yang
sejati di dunia. Pola hidup mereka pun hendaknya menunjukkan dengan
jelas cita-cita yang diikrarkan dan dengan demikian tampil sebagai tanda hidup
Allah serta sebagai pewartaan Injil yang menyentuh hati, kendatipun sering
secara diam-diam.
Gereja harus selalu berusaha untuk menampakan kehadirannya
dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam budaya kontemporer, yang sering
sangat sekuler dan belum peka terhadap bahasa perlambangan. Dalam hal ini Gereja berhak untuk mengharapkan kontribusi
yang relevan dari para anggota hidup bakti, yang dipanggil untuk di setiap
situasi memberi kesaksian yang jelas bahwa mereka milik Kristus.
Karena busana religius menandakan pentakdisan, kemiskinan dan
keanggotaan dalam keluarga religius yang khusus, saya (Paus Yoh. Paulus II)
bergabung dengan Bapa Sinode menganjurkan dengan sangat kepada para religius,
baik pria maupun wanita, agar mereka mengenakan busana religius mereka yang
dengan pantas disesuaikan dengan kondisi-kondisi waktu dan tempat. Bila ada
alasan karena tugas kerasulan mereka, maka harus disesuaikan dengan norma-norma
tarekat mereka, berpakaian sederhana dan sesuai dengan tatakrama budaya
setempat, yang cocok sesuai dengan martabat mereka sehingga pentakdisan mereka
dapat dikenal.
Dimensi
Eskatologis Hidup Bakti
Di tengah maraknya manusia yang lebih mengejar kepuasan
duniawi yang seringkali membawa resiko akhir-akhir ini, kiranya semakin
mendesak dan menuntut perhartian kita untuk melihat kembali tentang sifat eskatologis
dari hidup bakti.
"Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu
berada" (Mat 06:21). Harta yang
istimewa yakni Kerajaan Allah, menimbulkan keinginan, antisipasi, komitmen dan kesaksian.
Pada awal mula Gereja, penantian kedatangan Tihan
dihayati secara sangat intensif. Sesudah sekian abad lamanya, Gereja tidak
berhenti mendorong sikap harapan: Gereja terus mengajak umat beriman untuk
mendambakan keselamatan yang menantikan pewahyuannya, "sebab dunia ini
akan berlalu" ( 1 Kor 7:31; bdk 1 Pet 1: 3-6) .
Dalam perspektif itulah dapat dimengerti lebih jelas peranan
hidup bakti sebagai lambang eskatologis (akhir zaman). Bahkan telah
terus-menerus telah diajarkan bahwa hidup bakti adalah antisipasi Kerajaan
Allah di masa mendatang. Konsili Vatikan II mengajarkan
bahwa pentakdisan secara lebih jelas “mewartakan kebangkitkan yang akan datang
dan kemuliaan Kerajaan surgawi." Hal ini terutama dijalankan melalui kaul
keperawanan, yang oleh tradisi selalu dipahami sebagai antisipasi dunia
yang akan datang, yang sekarang sudah mulai mewujudkan transformasi manusia
seutuhnya.
Mereka yang telah membaktikan diri kepada Kristus, hendaknya hidup
dalam kerinduan akan bertemu dengan-Nya, agar menyatu dengan Dia selamanya.
Oleh karena itu harapan penuh semangat dan keinginan
untuk "diceburkan ke dalam Api Cinta Kasih, yang berkobar dalam mereka dan
tidak lain adalah Roh Kudus", harapan dan keinginan, yang ditopang oleh
karunia Tuhan yang dilimpahkan pada mereka yang merindukan hal-hal yang berada
di atas (bdk Kol 3: 1).
Orang yang menjalani hidup bakti, tenggelam dalam
perkara-perkara Tuhan, ingat bahwa "di sini kita tidak memiliki kota yang abadi"
(Ibr 13:14), sebab "kewargaan kita berada di surga" (Phil
03:20). Satu hal yang diperlukan adalah mencari
"Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya" (Mat 06:33), dengan doa tiada
hentinya memohon kedatangan Tuhan.
Penantian
Aktif: Komitmen dan Sikap Berjaga
"Datanglah, Tuhan Yesus!" (Rev 22:20). Penantian
itu sama sekali tidak pasif: meskipun mengarah pada Kerajaan Allah di masa
mendatang, diwujudkan dalam karya dan perutusan, supaya kerajaan itu hadir di
sini dan sekarang melalui semangat Sabda Bahagia, yang mampu membangkitkan
dalam masyarakat aspirasi-aspirasi yang efektif akan keadilan, damai,
solidaritas dan pengampunan.
Hal ini jelas ditunjukkan oleh sejarah hidup bakti, yang selalu
berbuah melimpah bagi dunia ini. Dengan karisma-karisma
mereka, para anggota hidup bakti menjadi tanda-tanda Roh Kudus yang menunjuk ke
arah masa depan baru yang diterangi oleh iman dan harapan Kristiani. Harapan eskatologis menjadi misi, supaya Kerajaan
Allah makin penuh terwujudkan di sini dan sekarang. Doa "Datanglah, Tuhan Yesus!" disertai dengan doa lain: "Datanglah Kerajaan-Mu!"
(Mat 06:10).
Mereka yang berjaga-jaga menantikan pemenuhan janji-janji
Kristus, mampu membawa harapan untuk saudara-saudara mereka yang sering putus
asa dan pesimis tentang masa depan. Mereka
mempunyai harapan yang berdasarkan janji Allah yang terkandung dalam sabda yang
diwahyukan: sejarah kemanusiaan bergerak menuju "langit yang baru dan bumi
yang baru" (Wahyu 21: 1). Di situ Tuhan "akan menghapus tiap
air mata dari mata mereka, dan takkan ada maut lagi, takkan ada pula ratap
tangis atau rasa sakit, sebab perkara-perkara yang lebih dulu sudah lampau"(Wahyu
21: 4).
Hidup bakti melayani penampakan definitif kemuliaan ilahi,
bila semua manusia akan menyaksikan keselamatan dari Allah (lih Luk 3:
6; 40:5). Umat Kristen Timur menekankan dimensi
ini, bila memandang para rahib sebagai malaikat-malaikat Allah di dunia
yang memberitakan pembaruan dunia dalam Kristus. Di Barat, hidup monastik merupakan perayaan kenangan dan
penantian: kenangan akan karya-karya
mengagumkan yang dikerjakan oleh Allah, dan penantian
pemenuhan mutakhir harapan kita. Hidup monastik dan hiduo kontemplatif terus menerus mengingatkan bahwa keunggulan Allah
atas segalanya memberikan arti penuh dan sukacita bagi kehidupan manusia,
karena manusia diciptakan demi Allah, dan hatinya tetap gelisah selama belum
beristirahat di dalam Dia.
Santa
Perawan Maria: Pola Pentakdisan dan Kemuridan
Sejak dikandung tanpa dosa, Maria secara paripurna
memantulkan keindahan ilahi. “Yang amat indah”, itulah gelar yang digunakan
oleh Gereja untuk menyapanya dalam doa. "Hubungan dengan Maria yang paling
suci, yang bagi setiap orang beriman bertumpu pada persatuannya dengan Kristus,
bahkan lebih jelas lagi diungkapkan dalam hidup mereka yang ditakdiskan keada
Allah... Kehadiran Maria sangat penting baik untuk kehidupan rohani setiap
anggota hidup bakti, maupun bagi soliditas, persatuan dan kemajuan seluruh
umat".
Santa Maria sebenarnya adalah teladan luhur pentakdisan yang
sempurna, karena dia sepenuhnya milik Allah dan seutuhnya berbakti kepada-Nya.
Dia dipilih oleh Tuhan, yang ingin mewujudkan dalam
dirinya misteri Inkarnasi. Dengan demikian ia mengingatkan para anggota hidup
bakti, bahwa inisiatif Allah adalah yang
paling utama. Pada saat yang sama, setelah menyatakan persetujuannya kepada
Sabda ilahi yang menjadi daging, Maria menjadi model penerimaan rahmat oleh manusia.
Dengan hidup bersama Yesus dan Yusuf selama tahun-tahun
tersembunyi di Nazaret, dan hadir di samping Putranya, pada saat-saat penting
dari kehidupan-Nya di muka umum, Santa Perawan mengajarkan, bagaimana menjadi
murid Kristus tanpa syarat dan mengabdi dengan tekun. Pada diri Maria,
"bait Roh Kudus," memancarlah dengan cemerlang segala kemegahan
ciptaan baru. Hidup bakti memandang Maria
sebagai pola yang luhur bagi pentakdisan kepada Bapa, persatuan dengan Putera dan
keterbukaan terhadap Roh Kudus, seraya menyadari bahwa menerima "hidup keperawanan
dan kerendahan hati" Kristus berarti juga meneladan cara hidup Maria.
Dalam diri Santa Perawan Maria, para anggota hidup bakti juga
menemukan ibu yang sama sangat istimewa. Memang,
keibuan baru yang dianugerakan pada Maria di gunung Kalvari adalah kurnia bagi
semua orang Kristen, tetapi masih mempunyai nilai yang khas lagi bagi mereka
yang menguduskan hidup mereka seutuhnya kepada Kristus. "Lihat, itulah
ibumu!" (Yoh 19:27): kata-kata Yesus
kepada murid 'yang dikasihi-Nya' (Yoh 19:26) mempunyai relevansi khas
bagi hidup bakti. Para anggota-Nya seperti Yohanes, dipanggil untuk menampung
Santa Perawan Maria dalam rumah mereka (Yoh 19:27), sambil mengasihi dan
meneladannya secara radikal seperti layak panggilan mereka, dan sebagai imbalan
mengalami cinta kasih keibuannya yang khas.
Santa Perawan Maria berbagi dengan mereka cinta kasih yang
memungkinkan mereka mempersembahkan hidup mereka tiap hari bagi Kristus, dan
bekerjasama dengan-Nya dalam penyelamatan dunia. Oleh karena itu hubungan berbakti kepada Maria adalah jalan raya
menuju kesetiaan terhadap panggilan, dan bantuan yang paling efektif untuk terus
maju menapaki panggilan itu dan menghayati sepenuhnya.
Social Plugin