Ad Code

Vita Consecrata-Postulat Stella Maris Malang-Hendrikus Dasrimin

NASEHAT-NASEHAT INJILI: TANTANGAN DAN UPAYA MENGHADAPINYA (Seri Vita Consecrata-IX)

 



I. NASEHAT-NASEHAT INJILI: KARUNIA TRITUNGGAL MAHAKUDUS

Nasehat-nasehat injili pertama-tama merupakan karunia Tritunggal Mahakudus. Dengan kata lain hidup bakti mewartakan apa yang oleh Bapa, dengan perantaraan Putera dan dalam Roh Kudus, dilaksanakan dalam cinta kasih-Nya, kebaikan-Nya dan keindahan-Nya. Sebenarnya, "status religius mengungkapkan transendensi Kerajaan Allah yang melampaui segala hal duniawi dan menampakan betapa pentingnya Kerajaan itu. Selain itu juga memperlihatkan kepada semua orang keagungan maha besar, kekuatan Kristus yang meraja dan daya Roh Kudus yang tak terbatas".
Tugas pertama hidup bakti adalah menampilkan karya-karya agung yang dianugerahkan oleh Allah,  kepada mereka yang lemah tetapi dipanggilnya. Mereka menjadi saksi akan karya-karya itu bukan pertama-tama dengan banyak berkata-kata, melainkan melalui bahasa yang menyentuh hati, yakni hidup yang telah berubah yang mampu menimbulkan rasa kagum dalam masyarakat. Orang-orang takjub menyaksikan mereka menanggapi dengan mewartakan mukjizat-mukjizat rahmat yang diadakan oleh Tuhan pada mereka yang dikasihi-Nya.  Hidup bakti menjadi suat meterai kelihatan yang dikenakan pada sejarah oleh Tritunggal Mahakudus, sehingga orang dapat merasakan dengan rindu daya tarik keindahan ilahi.

a. Pantulan Hidup  Triniter dalam Nasehat-nasehat Injili
Makna terdalam dari nasehat-nasehat injili terungkap bila dipandang dalam hubungan dengan Tritunggal Mahakudus, sumber kekudusan. Nasehat-nasehat itu mengungkapkan cinta kasih Putera terhadap Bapa dalam kesatuan Roh Kudus. Dengan menghayati nasehat-nasehat injili, anggota hidup bakti secara intensif menghayati dimensi Triniter dan Kristologis, yang menandai keseluruhan kehidupan Kristen.
Kemurnian, sebagai manifestasi dedikasi kepada Tuhan dengan hati yang tak terbagi (bdk.1 Kor 7: 32-34), adalah cerminan dari cinta kasih yang tiada batasnya yang menyatukan ketiga Pribadi Ilahi di kedalaman misteri hidup Tritunggal. Dari Trinitas, cinta kasih yang ditampilkan oleh Sang Sabda yang menjelma bahkan hingga menyerahkan hidup-Nya, cinta kasih “yang dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus" (Rm 5:5), yang mengundang respons dari kasih total kepada Allah sesama.
Kemiskinan menyatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya harta karun manusia yang sejati. Ketika kemiskinan dijalani sesuai dengan teladan Kristus yang, "meskipun kaya ... menjadi miskin" (2 Korintus 8: 9), kemiskinan mengungkapankan penyerahan diri secara total, yang berlangsung antara ketiga Pribadi ilahi. Karunia ini melimpah ke dalam alam ciptaan dan diwahyukan sepenuhnya dalam penjelmaan Sabda dan wafat-Nya untuk menebus umat manusia.
Ketaatan, yang dihayati dengan meneladan Kristus, yang makanannya adalah melakukan kehendak Bapa (bdk. Yoh 4:34), menunjukkan keindahan yang membebaskan, dari suatu ketergantungan bukan budak melainkan anak, yang ditandai oleh rasa tanggung jawab yang mendalam dan dijiwai oleh kepercayaan timbal balik dan dalam kurun sejarah mencerminkan keselarasan penuh kasih antara ketiga pribadi ilahi.
Maka hidup bakti dipanggil untuk tiada hentinya mendalami anugeah nasehat-nasehat injili dengan cinta kasih yang semakin sejati dan kuat  dalam dimensi Triniter-nya: cinta kasih akan Kristus, yang makin mendekatkan manusia kepada-Nya; Cinta kasih akan Roh Kudus, yang membuka hati kita pada ilham-Nya; Cinta kasih kepada Bapa, tujuan pertama dan tujuan tertinggi dari hidup bakti.
Bahkan kehidupan persaudaraan, bila anggota-anggota hidup bakti berusaha hidup “sehati sejiwa” dalam Kristus (Kis. 4:32), sebagai saksi nyata akan Tritunggal. Hidup bersama itu mewartakan  Bapa, yang menginginkan untuk membuat semua umat manusia menjadi satu keluarga. Hidup itu mewartakan Sabda yang Menjelma, yang menghimpun semua orang yang telah ditebus menjadi satu, dengan menunjukkan jalan melalui teladan-Nya, doa-Nya, amanat-Nya, dan terutama wafat-Nya, yang merupakan sumber rekonsiliasi bagi umat manusia yang tercerai-berai. Hidup persaudaraan mewartakan Roh Kudus sebagai prinsip kesatuan dalam  Gereja, dimana Dia tanpa hentinya meningkatkan keluarga-keluarga rohani dan komunitas persaudaraan.

b. Dikuduskan Seperti Kristus untuk Kerajaan Allah
Hidup bakti berkat bimbingan Roh Kudus berarti mengikuti Kristus secara lebih dekat dan terus-menerus mewujudkan dalam Gereja, cara hidup, yang ditempuh oleh Yesus, yang Ditakdiskan melampaui segalanya dan diutus oleh Bapa demi kerajaan-Nya dan yang dianjurkan-Nya kepada para murid-Nya (bdk. Mat 4: 18-22; Mrk 1: 16-20; Luk 5: 10-11; Yoh 15:16). Dalam terang pentakdisan Yesus, kita dapat melihat dalam prakarsa Bapa, sumber segala kekudusan, asal mula hidup bakti yang paling mendasar. Yesus adalah Dia yang "diurapi Allah dengan Roh Kudus dan dengan kuasa" (Kis 10:38), dan yang "dikuduskan Bapa dan utus ke dunia" ( Yoh 10:36). Sesudah menerima pentakdisannya oleh Bapa, Putera pada gilirannya menguduskan dirinya kepada Bapa demi keselamatan umat manusia (bdk. Yoh 17:19). Hidupnya dalam kemurnian, ketaatan dan kemiskinannya, mengungkapkan bahwa Ia sebagai Putera menerima sepenuhnya rencana Bapa (bdk. Yoh 10:30; 14:11). Persembahan-Nya yang sempurna memberikan aspek pentakdisan atas segala peristiwa hidup-Nya di dunia.
Yesus adalah teladan ketaatan yang turun dari surga bukan untuk melakukan kehendaknya sendiri melainkan kehendak Dia yang mengutus-Nya (bdk. Yoh 6:38; Ibr 10: 5, 7). Dia menempatkan jalan hidup-Nya dan bertindak di tangan Bapa (bdk. Luk 2:49). Dalam ketaatan-Nya sebagai Putera, Ia menempatkan diri sebagai seorang pelayan: Dia "mengosongkan dirinya sendiri, mengambil wujud seorang hamba ... dan menjadi taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib" (Flp 2: 7-8).
Dalam sikap kepatuhan kepada Bapa, Kristus menghayati hidupnya sebagai seorang yang murni (keperawanan, selibat), sementara Ia meneguhkan dan membela martabat dan kesucian hidup perkawinan. Dengan demikian Ia mengungkapkan keunggulan agung dan kesuburan rohani keperawanan yang misterius.
Sikap-Nya menerima sepenuhnya rencana Bapa, nampak pula dalam sikap-Nya yang tidak menekat pada harta-benda duniawi: “Meskipun Dia kaya, namun demi kamu, Dia menjadi miskin, sehingga dengan kemiskinan-Nya kamu bisa menjadi kaya" (2 Korintus 8: 9). Betapa mendalam kemiskinan-Nya ditampilkan dalam sikap-Nya yang mempersembahkan secara sempurna segala milik-Nya kepada Bapa.
Hidup bakti sungguh merupakan kenangan hidup akan cara hidup dan bertindak Yesus sebagai Sabda yang menjelma dalam hubungan-Nya dengan Bapa dan dengan sesama manusia. Hidup itu merupakan tradisi hidup yang menurunkan hidup maupun amanat Sang Juruselamat.

II. TANTANGAN UTAMA YANG DIHADAPI HIDUP BAKTI

Tugas kenabian dari hidup bakti digerakan oleh tiga tantangan utama yang berhubungan langsung dengan nasehat-nasehat Injil (kemurnian, kemiskinan dan ketaatan), yang mendorong Gereja, khususnya para anggota hidup bakti untuk memperjelas dan bersaksi tenang relevansi antropologi yang mendalam. Keputusan untuk mematuhi nasehat-nasehat injili, sama sekali tidak mencakup pemiskinan nilai-nilai manusiawi sejati, melainkan membawa ke arah transformasi nilai-nilai itu. Nasehat-nasehat Injil tidak boleh dipandang sebagai penolakan nilai-nilai seksualitas, keinginan yang wajar untuk memiliki harta jasmani atau mengambil keputusan-keputusan bagi diri sendiri.
Pengikraran kemurnia, kemiskinan dan ketaatan adalah peringatan untuk tidak meremehkan luka-luka dosa asal; lagi pula sementara menegaskan nilai hal-hal tercipta pengikraran itu merelatifkan mereka dengan menunjuk kepada Allah sebagai harta yang mutlak. Jadi, sementara mereka yang mengikuti nasehat-nasehat Injil mencari kekudusan untuk diri mereka sendiri, dapat dikatakan bahwa mereka mengusulkan"terapi" rohani bagi umat manusia, karena mereka menolak penyembahan berhala terhadap apa pun yang diciptakan dan dengan cara tertentu mereka menampilkan Allah yang hidup. Hidup bakti khususnya pada masa-masa sulit, adalah berkat bagi kehidupan manusia dan untuk kehidupan Gereja.

a. Tantangan Kemurnian
Tantangan pertama datang dari budaya hedonistik yang memisahkan seksualitas dari semua norma-norma moral yang obyektif, dan sering memperlakukannya sebagai kesenangan atau kenikmatan belaka serta dengan keterlibatan sarana komunikasi sosial, membenarkan semacam penyembahan berhala terhadap naluri seksual. Semua pasti mengetahui konsekuensi dari hal ini, yakni segala macam pelanggaran yang mengakibatkan penderitaan psikis dan moril baik sebagai orang-perorangan maupun keluarga-keluarga. Tanggapan  hidup bakti terutama terletak pada penghayatan kemurnian sempurna penuh kegembiraan, sebagai kesaksian tentang kekuatan cinta kasih  Allah, yang nampak pada kelemahan kondisi manusiawi.
Anggota hidup bakti membuktikan bahwa apa yang selama ini dianggap mustahi, berkat rahmat Tuhan menjadi mungkin dan benar-benar membebaskan. Memang di dalam Kristus mungkinlah mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan menempatkan Dia di atas tiap cinta kasih lainnya, dan dengan demikian mencintai setiap makhluk dengan kebebasan Allah! Kesaksian ini perlu ditawarkan kepada semua orang - kaum muda, pasangan yang bertunanagan, suami dan istri dan keluarga Kristen - untuk menunjukkan bahwa kekuatan cinta kasih Allah dapat melaksanakan hal-hal besar justru dalam konteks cinta kasih manusiawi. Ini adalah saksi yang juga memenuhi kebutuhan yang berkembang untuk kejujuran batin dalam hubungan-hubungan manusiawi.
Hidup bakti harus hadir untuk memberikan teladan bagi masyarakat dunia zama sekarang, tentang teladan-teladan kemurnian yang penghayatannya menampakan keseimbangan, penguasaan diri, semangat berusaha dan kematangan psikologis dan afektif. Berkat kesaksian cinta kasih, semua orang mendapat pokok acuan yang tetap, yakni: cinta kasih murni yang oleh para anggota hidup bakti diperoleh dari kontemplasi cinta dalam Tritunggal Mahakudus yang diwahyukan kepada kita dalam Yesus Kristus. Justru karena mereka tenggelam dalam misteri ini, mereka merasa diri mampu mengasihi semua orang secara radikal dan cinta kasih itu memberi mereka kekuatan untuk mengendalikan dan menguasai diri, karena itu diperlukan supaya mereka jangan jatuh di bawa kekuasaan indera-indera dan naluri-naluti. Maka kemurnian dalam hidup bakti nampak sebagai pengalaman yang idtandai kegembiraan dan pembebasan. Diterangi oleh iman akan Tuhan yang bangkit mulia dan oleh masa depan langit baru dan bumi baru (bdk. Why 21: 1), ia memberi dorongan amat berharga dalam tugas pembinaan kemurnian yang perlu dihayati dalam status-status hidup lainnya.

b. Tantangan kemiskinan  
Tantangan lain pada zaman ini adalah materialisme yani kehausan akan harta milik, tanpa peduli dengan kebutuhan dan penderitaan yang dialami oleh sesama khusunya meraka yang lemah dan menderita, juga ketidakpedulian terhadap keseimbangan sumber daya alam. Makna utama kemiskinan injili adalah memberi kesaksian bahwa Allah itu adalah harta kekayaan manusia yang sejati. Maka terlepas dari pelayanan demi kaum miskin, kemiskinan injili dengan tegas menantang pemujaan uang, yang sekarang ini tampa disadari sedang “didewakan”. Selain itu kemiskinan injili dirasakan juga dikalangan mereka yang menyadari makin menipisnya sumber-sumber alam, dan menyerukan sikap hormat terhadap alam ciptaan serta pelestariannya dengan mengurangi penggunaannya, dengan cara hidup lebih sederhana dan mengendalikan diri dari kebutuhan yang tidak diperlukan. Oleh karena itu para anggota hidup bakti diminta untuk memberi kesaksian injili yang dibarui dalam wahana hidup persaudaraan yang terinspirasi oleh prinsip-prinsip kesederhanaan dan pelayanan sebagai contoh bagi mereka yang acuh tak acuh terhadap kebutuhan sesama. Saksi ini tentu saja disertai dengan sikap mengutamakan cinta kasih terhadap kaum miskin dan ditunjukkan khususnya dengan ikut mengalami kondisi-kondisi hidup mereka yang paling terlantar.
c. Tantangan kebebasan dalam ketaatan
Tantangan ketiga bersumber dari paham-paham kebebasan yang memisahkan nilai manusiawi yang fundamental dari hubungannya yang hakiki dengan kebenaran dan norma-norma moral. De fakto, usaha memajukkan kebebasan itu nilai yang sejati, erat berkaitan dengan sikap menghormati pribadi manusia. Tetapi kita pun bisa melihat konsekuensi banyak terjadi ketidakadilan dan bahkan kekerasan yang serba menyimpang, baik secara hidup perorangan maupun bangsa-bangsa, yang diakibatkan oleh penyalagunaan kebebasan. 
Tanggapan efektif terhadap situasi ini adalah ketaatan yang merupakan ciri hidup bakti. Dengan menampilkan ulang ketaatan Kristus terhadap Bapa, orang yang mengambil bagian dalam hidup bakti memberi kesaksian bahwa tidak ada kontradiksi antara ketaatan dan kebebasan. Melalui ketaatan hidup bakti bermaksud menunjukkan kesadaran mereka sebagai putera-puteri Bapa. Oleh karena itu mereka ingin memandang kehendak Bapa sebagai makanan mereka sejari-hari (bdk. Yoh 4:34), sebagai batu karang mereka, sukacita mereka, perisai dan benteng mereka (bdk. Mzm 18: 2). Dengan demikian mereka menunjukkan bahwa mereka tumbuh dalam kebenaran sepenuhnya tentang diri mereka sendiri, sambil tetap berhubungan dengan sumber eksistensi mereka dan karena itu menawarkan pesan penuh penghiburan ini: "Besarlah ketenteraman pada orang-orang yang mencintai Taurat-Mu, tidak ada batu sandungan bagi mereka" (Mzm 119: 165).

III. UPAYA MENGHADAPI TANTANGAN

a. Melaksanakan bersama-sama kehendak Bapa
Kesaksian pentakdisan itu beroleh makna yang khusus dalam hidup religius karena dimensi komunitas yang menandainya. Hidup persaudaraan merupakan tempat istimewa untuk mengenali dan menerima kehendak Allah, dan untuk bersama melangkah maju sehati-sejiwa. Ketaatan yang dijiwai oleh cinta kasih menyatukan para anggota tarekat dalam kesaksian yang sama dan misi yang sama, sementara tetap dihormati keragaman kurnia-kurnia dan berbagai kepribadian. Dalam hidup berkomunitas  yang diilhami oleh Roh Kudus, setiap individu terlibat dalam dialog yang bermanfaat dengan anggota lainnya untuk menemukan kehendak Bapa.
Maka di hadapan Gereja dan masyarakat hidup dalam komunitas merupakan tanda khusus ikatan, yang bersumber pada panggilan yang sama dan keinginan bersama- meskipun perbedaan ras dan asal, bahasa dan budaya - untuk taat kepada panggilan itu. Bertentangan dengan semangat perselisihan dan perpecahan, kewenangan dan ketaatan bersinar seperti tanda kebapaan yang unik yang berasal dari Allah, tanda persaudaraan yang lahir dari Roh Kudus, dari kebebasan batin mereka yang menaruh kepercayaan mereka pada Tuhan, meskipun keterbatasan manusiawi mereka yang mewakili-Nya.
Melalui ketaatan ini, yang oleh sejumlah orang dijadikan pedoman hidup, kebahagiaan yang dijanjikan oleh Yesus kepada "orang-orang yang mendengar firman Allah dan melaksanakannya" ( Luk 11:28) dialami dan diwartakan demi keselamatan semua orang. Selain itu, mereka yang taat memiliki jaminan bahwa mereka singguh mengambil bagian dalam misi, mengikuti Tuhan dan bukan mengejar keinginan mereka sendiri. Dengan cara ini kita dapat mengetahui bahwa kita dibimbing oleh Roh Tuhan, dan bahkan di tengah-tengah kesulitan besar pun, kita tetap ditopang dengan tangan-Nya yang andal (bdk. Kis 20: 22-23).

b. Sebuah komitmen tegas untuk kehidupan rohani
Hidup bakti harus dipelihara dari sumber spiritualitas yang sehat dan mendalam. Hal ini merupakan tuntutan utama yang tertera dalam hakikat hidup bakti. Sebab seperti setiap orang lain yang dibaptis, apalagi mereka yang mengirarkan nasehat-nasehat injili, wajib berusaha sekuat tenaga mencapai kesempurnaan cinta kasih.
Menuju kekudusan: inilah singkatnya program setiap hidup bakti, khususnya dalam perspektif pembaharuannya pada ambang milenium ketiga. Titik tolak dari program itu terletak pada meninggalkan segala sesuatu demi Kristus (bdk. Mat 4: 18-22, 19: 21,27; Luk 5:11), dengan lebih mengutamakan Dia di atas segala sesuatu, untuk sepenuhnya menghayati Misteri Paskah-Nya.
St. Paulus memahami ini dengan baik ketika dia mengatakan: "Memang saya menganggap segala sesuatu sebagai kerugian, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari semuanya...supaya aku mengenal Dia dalam kuasa kebangkitan-Nya" (Fil 3: 8,10). Itulah jalan yang sejak semula digariskan oleh para Rasul, sebagaimana digeguhkan oleh kesaksian dalam tradisi Kristen di Timur dan Barat: "Mereka yang sekarang mengikuti Yesus, meninggalkan segala sesuatu demi Dia, mengingatkan kita akan pada Rasul yang menanggapi ajakan-Nya merelakan segala sesuatu. Oleh karena itu telah menjadi tradisi berbicara tentang kehidupan religius sebagai Apostolica vivendi forma". Tradisi ini telah menekankan juga dalam hidup bakti aspek perjanjian khusus dengan Allah, bahkan aspek perjanjian kemempelaian dengan Kristus; St. Pauluslah gurunya karena teladannya (bdk. 1 Kor 7: 7) dan pengajarannya, yang disampaikan di bawah bimbingan Roh Kudus (bdk. 1 Kor 7:40).
Dapat dikatakan bahwa hidup rohani dalam arti hidup dalam Kristus atau hidup menurut Roh, menyajikan diri sebagai jalan meningkatnya kesetiaan; di situ anggota hidup bakti dibimbing oleh Roh dan oleh-Nya dijadikan serupa dengan Kristus, dan berada dalam persekutuan penuh, yakni persekutuan cinta kasih dan pengabdian dalam Gereja.
Semua untur itu, yang mengambil bentuk dalam berbagai wahana hidup bakti, menimbulkan spiritualitas tertentu yang khas, artinya suatu program konkret hubungan-hubungan dengan Allah dan dengan lingkungan anggota, ditandai dengan penekanan yang spiritual dan pilihan kerasulan yang khusus. Oleh karena itu, hidup rohani harus diutamakan dalam program keluarga-keluarga hidup bakti sedemikian rupa, sehingga tiap tarekat dan komunitas menjadi lingkup spiritualitas Injili yang sejati. Kesuburan kerasulan, kemurahan hati cinta kasih terhadap orang miskin, dan kemampuan untuk menarik panggilan-panggilan di kalangan generasi muda tergantung pada prioritas ini dan pertumbuhannya dalam komitmen pribadi dan komunal. Justru kualitas spiritual dari hidup baktilah yang dapat menginspirasi orang-orang zaman sekarang, yang memang haus akan nilai-nilai absolut. Dengan cara ini hidup bakti akan menjadi saksi yang mempesonakan.

c.  Mendengarkan firman Allah  
Firman Allah adalah sumber pertama dari semua spiritualitas Kristen. Sabda itu menumbuhkan hubungan pribadi dengan Allah yang hidup dan kehendak-Nya untuk menyelamatkan dan menguduskan umat manusia. Maka sejak awal mula Tarekat Hidup Bakti, dan secara khusus dalam monatisisme, apa yang disebut lectio divina sangat dijunjung tinggi. Sungguh seluruh Kitab Suci "berguna untuk mengajar" ( 2 Tim 3:16), dan merupakan "sumber hidup spiritual yang jernih dan kekal", kitab-kitab Perjanjian Baru sudah selayaknya beroleh penghormatan khusus, terutama keempat Injil, yang merupakan "jantung dari seluruh Kitab Suci". Oleh karena itu, sangat berguna bagi para anggota hidup bati merenungkan secara teratur teks-teks Injil dan kitab-kitab Perjanjian Baru, yang menggambarkan kata-kata maupun teladan-teladan Kristus dan Maria dan Apostolica vivendi forma (cara hidup rasuli). Pendiri dan foundresses terinspirasi oleh teks-teks ini dalam menerima panggilan mereka dan dalam membedakan karisma dan misi Institutes mereka.
Oleh karena itu merenungkan bersama tentang Kitab Suci, sangat penting. Renungan itu mengantar pada saling berbagi dengan gembira kekayaan yang digali dari sabda Allah. Memang akan sangat membantu jika praktik ini juga didorong di kalanagan para anggota lain dari Umat Allah, imam maupun awam.
Menurut tradisi spiritual Gereja, meditasi tentang firman Tuhan, dan tentang misteri-misteri Kristus khususnya membangkitkan semangat dalam kontemplasi dan entusiasme dalam karya kerasulan. Dari keakraban dengan firman Allah, mereka beroleh terang yang mereka perlukan bagi penegasan rohani pribadi maupun bersama dalam komunitas, yang mendorong mereka mencari jalan-jalan Tuhan dalam tanda-tanda zaman. Dengan cara ini mereka memperoleh semacam intuisi supernatural, yang memungkinkan mereka untuk menghindari penyesuaian dengan mentalitas dunia ini, melainkan justru diperbarui dalam budi mereka sendiri, untuk mengenali kehendak Allah mengenai apa yang baik, sempurna dan berkenan kepada-Nya (bdk. Rom 12: 2).

d. Dalam persekutuan dengan Kristus
Suatu upaya mutlak  perlu untuk memelihara secara efektif persekutuan dengan Kristus adalah  Liturgi Suci , dan terutama perayaan Ekaristi dan Ibadat Harian.
Pertama, Ekaristi "mengandung kekayaan spiritual Gereja, yaitu Kristus sendiri, Paskah kita dan roti hidup, yang karena Daging-Nya yang dihidupkan oleh Roh Kudus dan menjadi sumber kehidupan mengurniakan hidup” kepada umat manusia. Itulah jantung hidup Gereja, juga hidup bakti. Bagaimana mungkin mereka yang dipanggil untuk mengikrarkan nasehat-nasehat injili, memilih Yesus sebagai satu-satunya makna hidup mereka, tidak merindukan persekutuan yang makin mendalam dengan Dia, setiap hari ikut serta merayakan Sakramen yang menghadirkan Kristus, merayakan kurban yang menjadikan sungguh nyata anugerah cinta kasih-Nya di bukit Golgota, perjamuan yang memberi santapan dan menghidupi umat Allah yang berziarah?
Ekaristi pada hakekatnya berada di pusat hidup bakti, baik bagi individu maupun bagi komunitas-komunitas. Ekaristi adalah “viaticum” (bekal perjalanan) dan sumber sehari-hari bagi hidup rohani untuk anggota perorangan maupun komunitas. Melalui Ekaristi semua onggota hidup bakti dipanggil untuk menghayati Misteri Paskah Kristus, dengan menyatukan diri kepada-Nya, melalui persembahan hidup mereka sendiri kepada Bapa melalui Roh Kudus.  Sembah sujud yang sering diadakan dan agak lama di hadirat Kristus yang hadir dalam Ekaristi memungkinkan kita dengan cara tertentu menghayati ulang pengalaman Petrus ketika Kristus berubah rupa: “Betapa bahagianya kami di tempat ini”.
Di samping Ekaristi dan erat berkaitan dengannya, Ibadat Harian yang dirayakan dalam persekutuan dengan doa Gereja, secara bersama dalam komunitas maupun secara perorangan menurut hakekat masing-masing Tarekat, mengungkapkan panggilan yang khas bagi para anggota hidup bakti untuk mengangkat hati mereka dalam puji syukur dan doa bagi sesama.
Ekaristi juga berhubungan erat dengan komitmen untuk bertobat terus-menerus dan dengan pemurnian diri yang memang perlu yang dimatangkan oleh para anggota hidup bakti dalam Sakramen Rekonsiliasi. Karena seringkali berjumpa dengan kerahiman Allah, mereka menjernikan dan membaharui hati mereka, dan dengan mengakui dosa-dosa mereka dengan rebdah hati mereka mencapai sikap terbuka dalam hubungan mereka dengan Kristus. Pengalaman pengampunan sakramental yang menyenangkan, dalam perjalanan bersama dengan saudara-saudara se-tarekat, menimbulkan kerinduan besar dalam hati untuk belajar setia dan mendorong perkembangan kesetiaan.
Memanfaatkan penuh kepercaraan dan dengan rendah hati untuk bimbingan rohani merupakan bantuan besar pada perjalanan kesetiaan terhadap Injil, khususnya selama masa pembinaan dan pada saat-saat hidup tertentu lainnya. Melalui bimbingan itu orang ditolong untuk menanggapi sepenuh hati gerakan-gerakan Roh, dan untuk mengarahkan diri dengan tegas menuju kekudusan.
Akhirnya dianjurkan kepada semua anggota hidup bakti, untuk menurut tradisi-tradisi mereka sendiri, setiap hari membarui persatuan rohani mereka dengan Santa Perawan Maria, dengan bersama dia mengahayati misteri-misteri Puteranya, khususnya dengan berdoa Rosario.