Kitab Hukum Kanonik Gereja Latin yang terbit pada th 1917
menyeragamkan segala sesuatu, sehingga dalam Gereja (kebatrikan) Latin hidup
bakti/vita consecrata menjadi sama dengan hidup religius, hidup membiara. Hidup
religius lalu ada dua cabangnya yakni hidup religius kontemplatip
(monastik, kerahiban) yang dinilai sebagai “vita consecrata” yang paling utuh,
dan hidup membiara aktip, yang sebenarnya – bagi putri dan awam –
dianggap kurang memadai gagasan “vita consecrata”. Menurut Kitab Hukum Kanonik
itu pun Gereja terdiri atas dua lapisan, yaitu: rohaniwan yang nyatanya
menjadi sama dengan imam, dan awam. Rohaniwan dapat menjadi religius
(muncullah tarekat-tarekat klerikal) dan awam juga bisa menjadi religius
(tarekat awami, putri dan putra).
Tetapi sejak Konsili Vatikan II,
yang menelorkan juga Kitab Hukum Kanonik yang baru (1983) situasi menjadi lain
dan serba majemuk. Secara fungsional pembagian tradisional atas “rohaniwan” dan
“awam” dipertahankan. Tetapi pembagian tegak-lurus itu disilangi oleh sebuah
pembagian mendatar yang ditentukan oleh caranya kekristenan diwujudkan,
yaitu: awam, ialah orang beriman yang melibatkan diri dalam urusan dunia
ini guna “menguduskannya”, rohaniwan, ialah para petugas paripurna
Gereja (hanya: diakon, imam, uskup) dan mereka yang menganut “vita
consecrata”, hidup bakti. Dan golongan itu bisa saja mencakup baik
(sebagian) awam (menurut pembagian tegak-lurus) maupun rohaniwan (menurut
pembagian tegak lurus tersebut). Hidup bakti (vita consecrata) kembali menjadi
sebuah gejala serba majemuk.
Kecuali “hidup membiara”, dengan
cabang kontempatif dan aktif, diakui kembali secara resmi cara
hidup “pertapa” (eremit), yang dalam kekristenan timur tidak pernah hilang.
Artinya: Dengan kaul (selibat) Publik orang di luar suatu
organisi resmi (meskipun dapat saja membentuk sebuah kelompok, paguyuban),
wajib dengan persetujuan uskup setempat dibawah pengawasannya, menganut sebuah
aturan hidup khusus untuk dalam kesepian “Vacare Deo”, bersemadi dan hidup bagi
Allah semata-mata (hanya secara tak langsung menyangkut orang lain). Eremita
itu dapat saja laki-laki (entah awam entah rohaniwan) dan perempuan.
Kembali
muncul “virgines”, perawan yang secara publik mengikrarkan kaul keprawanan
(hanya mungkin bagi putri yang masih perawan), tetapi tinggal ditengah umat dan
disana menangani macam-macam kerja gerejani atau amal-kasih. Laki-laki dan
janda pun bisa saja menempuh gaya hidup macam itu, tetapi tidak disebut
“perawan” (yang mengandaikan keutuhan seksual), tetapi “continentes”
(bertarak). Gaya hidup itu sebenarnya di zaman Perjanjian Baru sudah mulai
tampil dan bisa terus mempertahankan diri sampai abad XX. Augustinus misalnya
sering berkhotbah bagi “para perawan” dan para “continentes” pada umatnya.
Kembali gaya hidup itu diakui sebagai suatu kemungkinan untuk secara resmi
mewujudkan kekristenan.
Suatu bentuk “hidup bakti” yang
selama abad XX tampil dan mendapat kedudukan resmi dalam (tata hukum) Gereja
Latin ialah apa yang diistilahkan sebagai “lembaga sekular”.
Anggota-anggota lembaga semacam itu tetap awam, yang sepenuh-penuhnya
melibatkan diri dalam urusan dunia (nilai-nilai sekular yang positip) dengan
maksud memberi wujud “sekular” kepada Kerajaan Allah yang dalam bentuk
sementara dan fragmentaris memang sudah hadir di dunia dan dalam sejarah. Guna
melibatkan diri sepenuh-penuhnya dalam urusan sekular demi Allah
anggota-anggota lembaga sekular mengikrarkan tiga kaul privat (isinya apa yang
disebut “nasehat Injil”) dan membentuk suatu organisasi yang longgar sekali,
tetapi tidak (harus) hidup berkomunitas.
Akhirnya termasuk ke dalam hidup
bakti apa yang diistilahkan sebagai “serikat apostolik” atau serikat
kerasulan. Serikat-serikat macam itu sebenarnya lembaga sekular bagi rohaniwan,
petugas paripurna Gereja. Mereka pun mengikrarkan kaul privat yang berisikan
ketiga nasehat Injil, membentuk organisasi longgar untuk saling membantu.
Maksudnya, supaya lebih radikal dapat melibatkan diri kedalam karya pastoral
yang bermacam-macam. Mereka sebenarnya tetap “imam praja” (saeculares),
meskipun bukan imam diosesan yang menangani “urusan dunia”, yaitu nilai-nilai
religius (iman) manusia selama dalam sejarah di dunia. Dengan arti sedemikian
nilai-nilai yang diusahakan serikat apostolik boleh disebut “duniawi”,
saeculares, bukan nilai surgawi, eskatologis.
Hidup Religius
Adapun hidup religius merupakan
salah satu bentuk hidup bakti yang mesti memenuhi beberapa syarat baik syarat
yang bercirikan hukum maupun syarat yang terlebih bercirikan “rohani”, katakan
saja “mistik”.
Menurut hukum kanonik Gereja Latin hidup bakti yang berupa hidup
religius mesti ditempuh dalam rangka sebuah lembaga, societas, sebuah
organisasi (berbeda dengan pertapa, continentes, perawan); mesti ada kaul
publik, jadi: di depan umum dan secara publik diterima oleh (pejabat)
Gereja dan jumlahnya mesti tiga dan berisikan apa yang disebutkan sebagai “ketiga
nasehat Injil”. Selanjutnya masih harus ada hidup berkomunitas, jadi
bukan seorang diri atau hanya dalam rangka suatu organisasi menyeluruh.
Dari segi “rohani”, mistiknya, mesti ada sebuah “consecratio
publica”, artinya: para anggota lembaga religius di depan umum (suatu
upacara liturgis) dikhususkan, disendirikan, baik orangnya maupun hidupnya,
bagi Allah semata-mata, seolah-olah dipindahkan ke pihak Allah yang kudus,
menjadi milik Allah. Dari segi orang yang dengan cara demikian membiarkan
dirinya dikuduskan, halnya boleh – secara analog – disebutkan sebagai “kurban”,
yang berarti: melalui sebuah upacara simbolik orang meyerahkan sesuatu kepada
Allah menjadi miliknya semata-mata. Oleh karena hidup kaum religius menjadi
hidup publik, maka mereka dengan cara hidupnya memberikan kesaksian tentang
Kerajaan Allah di akhir zaman, waktu Allah menjadi satu-satunya yang
menentukan (memerintah). Dengan demikian gaya hidup kaum religius itu secara
real mengantisipasikan nilai-nilai eskatologis. Oleh karena secara publik para
religius mengikat diri secara eksklusif kepada Allah sebagaimana menjadi nyata
dalam Yesus Kristus, mereka di dunia memperlihatkan ikatan (nikah) eksklusip
antara Kristus dengan Gereja-Nya.
Gaya hidup
religius, justru oleh karena “publik” memberikan kesaksian tentang ikatan
antara Kristus dan Gereja-Nya, yang di akhir zaman akan meliputi semua anggota
Gereja-Nya. Akhirnya masih ada ciri lain yang disebutkan “fuga mundi” atau
“seperatio mundi” (= melarikan
diri/memisahkan dari dunia). Dengan seluruh gaya hidupnya, justru oleh karena publik, kelihatan, di depan
umum, kaum religius menyatakan bahwa meski pun di dunîa, namun bukan “dari
dunia”, tidak termasuk ke dalam “dunia”. Sebab di dunia ada macam-macam nilai
(positip) yang turut menentukan manusia serta hidupnya, termasuk orang beriman.
Secara legitim sebagai orang beriman mereka mengusahakan macam-macam nilai
dunia demi nilai dunia itu sendiri dan nilai-nilai itu tidak difungsionalkan
untuk sesuatu yang lain. Dan melalui nilai-nilai duniawi itu – dalam pandangan
kaum beriman – Kerajaan Allah sebagai realitas duniawi menjadi terwujud. Tetapi
kaum religius (seharusnya) tidak melibatkan diri dalam nilai-nilai duniawi, melainkan
demi nilai-nilai lain yakni
nilai-nilai eskatologis. Kerajaan Allah di akhir zaman, yang berupa
tanda diantisipasikan dalam nilai-nilai positif di dunia ini.
Resume dari: http://ofm.or.id/khalwat-tahunan/a-bahan-khalwat/ii-hidup-bakti-hidup-religius/
Social Plugin